Menuju konten utama

FIFA Dituntut Terkait Pekerja Imigran di Qatar

FIFA dituduh menindas hak para pekerja imigran di Qatar menjelang perhelatan Piala Dunia 2022 mendatang. Memperlakukan pekerja di bawah tekanan selama 18 bulan, FIFA kemudian dituntut hukum.

FIFA Dituntut Terkait Pekerja Imigran di Qatar
(Ilustras) Seorang petugas memandang lapangan dalam kunjungan delegasi gabungan dari FIFA dan Komite Penyelenggara Lokal (LOC) Piala Dunia FIFA Rusia 2018 di stadion Luzhniki yang sedang dalam pembangunan kembali di Moskow, Rusia, Rabu (7/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Maxim Zmeyev.

tirto.id - FIFA mendapat tuntutan hukum di pengadilan Swiss atas dugaan keterlibatannya dalam penganiayaan pekerja imigran di Qatar menjelang Piala Dunia 2022, seperti dikutip The Huffington Post, Selasa (11/10/2016) petang waktu setempat.

Sejak FIFA memilih untuk menggelar Piala Dunia di Qatar pada Desember 2010 lalu, jumlah pekerja imigran melonjak hingga 1.7 juta, terlebih setelah negara itu memulai konstruksi pembangunan stadium dan infrastruktur terkait. Namun, baru-baru ini dilaporkan bahwa beberapa dari para pekerja mengalami tindakan tidak menyenangkan. Akibatnya, federasi sepakbola internasional itu menuai kritikan tajam.

Kecaman pada FIFA itu salah satunya datang dari Konfederasi Serikat Buruh Belanda (FNV). Pasalnya, pekerja imigran asal Bangladesh Nadim Sharaful Alam diharuskan membayar 4000 dolar AS kepada perekrut kerja. Tak berhenti di situ, paspor milik Alam pun diambil saat pertama tiba di Qatar dan dipaksa bekerja selama 18 bulan di bawah tekanan. Perlakuan terhadap Alam membuat FNV mengajukan tuntutan hukum pada FIFA.

Peristiwa yang menimpa Alam itu sehubungan dengan sistem tenaga kerja di Qatar yang disebut sistem Kafala. Sistem ini menuai banyak kritik karena dianggap seperti perbudakan.

Pengacara FNV dan Alam menyebut FIFA salah dengan menjadikan Qatar sebagai tuan rumah. Ia menambahkan, seharusnya FIFA memastikan bahwa Qatar merupakan negara yang menjamin hak dasar pekerja, juga pekerja imigran, yang pekerjaannya berhubungan dengan Piala Dunia 2022. “FIFA seharusnya menuntut penghapusan sistem Kafala,” tegasnya lebih lanjut.

Tuntutan terhadap FIFA yakni meliputi, tanggung jawab karena telah memilih Qatar sebagai tuan rumah dan karena tidak menuntut Qatar untuk mengubah sistem tenaga kerjanya.

Pada Minggu (9/10/2016) malam, pengacara telah memberikan Presiden FIFA Gianni Infantino, waktu selama tiga minggu untuk mengakui tindakannya yang telah melanggar hak Alam sebagai pekerja, dan membayar ganti rugi sebesar 5,390 franc Swiss. Meskipun ganti rugi yang diminta Alam tergolong sedikit, jika tuntutan ini dikabulkan, hal itu dapat membuka pintu bagi ribuan pekerja imigran untuk juga membuat klaim yang sama.

Menanggapi tuntutan ini, FIFA mengungkapkan bahwa hal ini bukan tanggung jawab mereka. Meski begitu, pihaknya akan tetap mengupayakan Piala Dunia di Qatar dengan memastikan pemerintah negara tersebut menyediakan kondisi yang menunjang bagi pekerja stadium Piala Dunia.

Di awal 2016, FIFA meluncurkan laporan yang menyatakan bahwa pihaknya tidak bertanggung jawab atas sistem tenaga kerja di Qatar. Meski demikian, FIFA berharap Piala Dunia dapat memberikan perubahan di negara itu. FIFA juga menyebutkan bahwa tanggung jawabnya hanya perihal stadium Piala Dunia saja.

Sementara itu, juru bicara pemerintah Qatar belum memberikan pernyataan apa pun. Sebelumnya, pihak Qatar membantah telah mengeksploitasi pekerjanya dan mengatakan kini pihaknya sedang mereformasi sistem tenaga kerja.

Tetapi, tuntutan hukum mengatakan Piala Dunia telah mempercepat pembangunan di Qatar. Mengacu pada dibangunnya jalur metro baru, jalan raya baru dan proyek-proyek jembatan di kota Lusail, yang akan menjadi tempat perhelatan final Piala Dunia 2022. “Piala Dunia menjadi motivasi di balik pembangunan infrastruktur yang cepat ini. Semuanya dijadwalkan rampung sebelum turnamen berlangsung, tepat pada saat turis datang.”

Baca juga artikel terkait FIFA atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari