tirto.id - Memasuki liburan musim panas, kawasan pesisir Kota Qingdao, Provinsi Shandong di timur daratan Cina kembali dibanjiri oleh pengunjung berkostum serba tertutup.
Perempuan mengenakan baju renang berlengan panjang dengan penutup kepala—sekilas mengingatkan pada tokoh kartun Catwoman.
Disebut facekini—nama yang diplesetkan dari bikini—garmen ini dipakai untuk melindungi wajah pemakainya dari terik sinar matahari.
Bentuk facekini menyerupai balaclava—sarung kepala yang hanya dilubangi pada bagian mata, hidung, dan mulut—yang biasa dipakai pemain ski, pembalap, pekerja lapangan di situs konstruksi, atau bahkan diasosiasikan dengan perampok atau penjahat di film-film.
Ketika facekini dikenakan di tepi pantai, dipadukan dengan baju renang warna-warni yang modelnya beragam, tentu ini menjadi satu fenomena tersendiri.
Disambut sinis di luar negeri
Meski terkesan nyentrik, siapa juga yang berhak melarang kebebasan untuk bergaya saat bersenang-senang di pantai? Toh Kanye West boleh cuek menggunakan penutup kepala di tengah kota, di situasi apapun—kenapa tidak halnya dengan pengunjung pantai Qingdao?
Nyatanya, selama satu dekade terakhir, komentar miring dan sinis mengiringi kemunculan dan popularitas facekini.
Coba cek paragraf pertama dalam artikel pendek di majalah Time asal AS pada 2014 silam. Mereka sebut, “foto-foto meresahkan” facekini mungkin malah bikin pembaca bertanya-tanya “apakah pegulat Meksiko sudah menginvasi kota pesisir Cina, Qingdao”.
Senada, seorang blogger di situs komunitas penulis berbasis di AS, Hub Pages, pada 2019 pernah menulis, “Apa kamu mau pergi ke pantai dan kelihatan seperti perampok bank, Pegulat Meksiko, sekaligus pembunuh berantai horor? Orang-orang di daratan Cina mau melakukannya demi sebuah tren fesyen mengerikan bernama facekini.”
Kolumnis fesyen di media Inggris The Guardian juga menyinggung kemungkinan facekini sudah terinspirasi dari grup penghibur anak-anak yang mewarnai mukanya dengan cat warna biru The Blue Man Group.
Melindungi dari sengatan ubur-ubur
Siapa sangka, facekini bermula dari upaya seorang warga Qingdao untuk melindungi diri dari ubur-ubur? Sosok tersebut adalah perempuan berusia tujuh puluhan bernama Zhang Shifan.
Selama ini, Laut Kuning yang membentang di kawasan pantai Qingdao merupakan habitat alami ubur-ubur. Zhang mengenang, saat berusia enam tahun, seorang perawat militer yang indekos di rumahnya sakit parah gara-gara tersengat ubur-ubur. Muka dan tangannya bengkak kemerahan, sedangkan bagian kaki sampai tangan baik-baik saja karena tertutup pakaian.
Memori sedih itulah yang mendorong Zhang untuk bereksperimen dengan baju renang tertutup. Didampingi oleh suami dan dibantu belasan karyawan, Zhang merintis perusahaan pakaian renang Sturgeon Dragon.
Mula-mula, pada 2004, Zhang membuat hoodie atau tudung kepala. Setelah mendapat masukan dari orang-orang di sekitarnya, Zhang memodifikasi penutup kepala tersebut sampai ke bagian depan.
Zhang bercerita, facekini buatannya mulai ramai diberitakan sebagai tren fesyen khas Cina ke penjuru dunia setelah diliput oleh Reuters pada 2012. Publikasinya diikuti oleh New York Times (2012 dan 2016), Washington Post (2014) sampai Vogue (2017).
Untuk mengurangi kesan menakutkan, Zhang juga mendesain facekini dengan riasan artistik ala wajah pemain Opera Beijing.
Tak berhenti pada facekini untuk wisatawan pantai, tahun 2017 Zhang merilis facekini khusus pemakaian di pegunungan atau area bersalju.
Zhang sebenarnya tidak ambil pusing ketika mendengar ejekan atau pandangan remeh dari pengamat fesyen di luar negeri tentang facekini, sampai ia mendapati sebuah majalah Amerika menyandingkan foto pemakai facekini di Qingdao dengan Peristiwa 9/11.
“Saya selalu berusaha membuat desain-desain yang bisa mencegah facekini diasosiasikan dengan hal-hal buruk, dan saya selalu menganggap facekini sebagai produk yang baik, dibuat untuk melindungi orang. Sungguh meresahkan apabila facekini dikaitkan dengan tindakan negatif,” ujar Zhang saat diliput Neocha/China Project pada 2021.
Obsesi kulit putih
Di dalam negeri Cina, facekini dan produk garmen pelindung tubuh dari sinar matahari senantiasa memiliki konsumen dan penggemar.
Dilansir dari Reuters, perusahaan konsultan China Insights Consultancy memproyeksikan penjualan pakaian dan aksesori pelindung matahari di dalam negeri berpotensi tumbuh 9,4 persen setiap tahun sejak 2021 hingga 2026, dengan nilai pasarnya diperkirakan mencapai 95,8 miliar yuan (lebih dari Rp200 triliun).
Pada akhirnya, popularitas facekini mustahil dipisahkan dari keyakinan kuat tentang kulit putih bersih nan cerah sebagai warna kulit ideal menurut penduduk Cina dan masyarakat luas di kawasan Asia Timur sampai Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pepatah kuno Cina secara gamblang mengungkap superioritas warna putih dalam kehidupan sehari-hari, “Satu [elemen] putih bisa menutupi tiga kejelekan”.
Obsesi terhadap kulit putih ini pun ditemui pada praktik tradisional kuno. Di masa lalu perempuan Cina meminum bubuk putih hasil dari hasil menggerus kerang, sementara perempuan penghibur geisha di Jepang membubuhi wajah dengan kapur putih.
Ana Salvá dalam artikelnya di The Diplomat menjelaskan, di kalangan masyarakat Asia, kulit gelap atau kusam kerap diasosiasikan dengan pekerjaan kasar berpeluh keringat di kebun atau sawah—otomatis berkorelasi dengan kemiskinan di pedesaan.
Di sisi lain, pemilik kulit putih atau pucat diasosiasikan dengan kehidupan nyaman di dalam ruangan dan kosmopolitan sebab selalu dapat bepergian ke mana-mana dengan mobil.
Pandangan bahwa kulit putih merupakan penanda kelas sosial dan status kekayaan ini pun diyakini pemakai facekini di Qingdao.
Menurut seorang ibu-ibu pensiunan saat diwawancarai oleh New York Times pada 2012 silam, “Perempuan harus punya kulit putih. Kalau tidak, bisa-bisa nanti dikira petani.”
Terlepas segala dinamika sosial-budaya yang mewarnai tren fesyen facekini, ada baiknya kita coba resapi kembali pesan bijak dari Zhang si desainer, “Pakailah [facekini] jika memang kamu mau, dan untuk alasan apapun yang kamu miliki.”
Setuju!
Editor: Maya Saputri & Lilin Rosa Santi