tirto.id - Wacana menghadirkan Copa America Centenario 2016 sebenarnya telah digagas sejak 2012 silam. Adalah Alfredo Hawit yang saat itu menjabat sebagai pelaksana tugas Presiden CONCACAF selaku sosok pencetusnya. Ia mendapat dukungan penuh dari Presiden CONMEBOL kala itu, Nicolas Leoz.
Dalih utama digelarnya Copa America Centenario 2016 adalah untuk memperingati satu abad CONMEBOL. Padahal, pertengahan tahun lalu, konfederasi sepakbola Amerika Selatan itu telah menggelar Copa America, event empat tahunan sekaligus kejuaraan sepakbola antarnegara tertua di dunia. Di waktu yang hampir bersamaan, CONCACAF juga menggulirkan ajang regulernya, Gold Cup.
Upaya Mengusik UEFA
Copa America Centenario 2016 melibatkan 16 negara. CONMEBOL mengirimkan 10 peserta dari Amerika Selatan. Sedangkan 6 tim lainnya berasal dari anggota CONCACAF yang menaungi Amerika Utara, Amerika Tengah, serta kawasan Karibia, termasuk Amerika Serikat sebagai tuan rumah yang menyediakan 24 stadion di 10 kota untuk ajang tersebut.
Menariknya, proyek gabungan CONMEBOL dan CONCACAF itu dihelat beriringan dengan Euro alias Piala Eropa yang terlanjur lekat sebagai turnamen sepakbola antarnegara terpopuler kedua sejagat setelah Piala Dunia. Lantas, apakah Copa America Centenario memang dimaksudkan untuk menggoyang Piala Eropa di Prancis yang dibesut oleh UEFA selaku penguasa sepakbola benua biru? Bisa saja seperti itu.
“Dalam teori kekacauan organisasi, kombinasi CONMEBOL plus CONCACAF paling cespleng untuk melawan dominasi UEFA, sebab AFC (Asia), OFC (Oceania), dan CAF (Afrika), tidak punya daya, mutu, pengaruh, teknologi, dan marketing, untuk mengimbanginya,“ sebut jurnalis olahraga senior, Arief Natakusumah, dalam tulisannya berjudul “Pengingkaran Sejarah Copa America” di Juara.net tanggal 27 Oktober 2015.
Sepakbola Amerika Selatan sebenarnya punya kualitas menjanjikan dengan keberadaan Brasil, Argentina, Uruguay, Chile, atau Kolombia yang sebagian besar pemain bintangnya berkiprah di Eropa. Sayangnya, CONMEBOL kurang piawai meracik strategi marketing. Itulah sebabnya mengapa Copa America selalu kalah pamor dari Piala Eropa.
Sebaliknya, CONCACAF nyaris tidak punya konten yang layak jual lantaran negara-negara di Amerika Utara, Tengah, apalagi kawasan Karibia, bukanlah pemain besar dalam percaturan sepakbola dunia. Akan tetapi, CONCACAF lebih oke dalam urusan utak-atik bisnis dan pemasaran. Perpaduan nilai jual sepakbola CONMEBOL dan taktik marketing ala CONCACAF inilah yang kemudian melahirkan Copa America Centenario 2016.
Adu Kualitas Dua Benua
Pesepakbola dari negara-negara anggota CONMEBOL sejatinya tidak kalah kelas dengan pemain Eropa. FIFA bahkan menempatkan legenda Brasil, Pele, di urutan teratas dalam daftar pemain terbaik abad ini. Belum lagi nama-nama legendaris asal Amerika Selatan lainnya seperti Diego Armando Maradona, Zico, Romario, Rivaldo, Ronaldo Luis Nazario de Lima, Carlos Valderrama, Jose Luis Chilavert, dan seterusnya.
Di era kekinian, Amerika Latin juga punya jajaran megabintang lapangan hijau yang menyandang banderol harga selangit. Bahkan, menurut data Transfermarkt terbaru (per Juni 2016), tiga dari empat pesepakbola termahal di muka bumi saat ini berasal dari Amerika Selatan.
Pemain termahal dunia sampai detik ini adalah Lionel Messi dari Argentina dengan harga 120 juta euro atau setara 1.8 triliun rupiah. Striker muda Brasil yang juga rekan satu tim Messi di Barcelona, Neymar, ada di urutan ketiga dengan nilai 100 juta euro, terpaut 10 juta euro lebih murah dari bintang Portugal milik Real Madrid, Cristiano Ronaldo, yang berada di posisi kedua dengan nilai jual sebesar 110 juta euro.
Jangan lupakan Luiz Suarez. Harga teraktual andalan Barcelona asal Uruguay ini mencapai 90 juta euro. Juga gelandang serang Real Madrid dari Kolombia, James Rodríguez, yang daya jualnya sebanding dengan dua talenta Prancis yang sedang naik daun, Antoine Griezmann (Atletico Madrid) dan Paul Pogba (Juventus). Ketiga pemain ini punya banderol harga yang sama, yakni 70 juta euro.
Ranking FIFA negara-negara di Amerika yang ketat bersaing dengan Eropa juga menjadi fakta menarik. Berdasarkan data FIFA per Juni 2016, ada 5 negara Amerika Latin yang termasuk di jajaran 10 besar dunia, yaitu Argentina (peringkat 1), Kolombia (3), Chile (5), Brasil (7), dan Uruguay (9). Di sisi lain, Eropa juga menempatkan 5 negara yakni Belgia (2), Jerman (4), Spanyol (6), Portugal (8), serta Austria (10). Dari indikator ini, kualitas kedua kubu relatif cukup berimbang.
Eropa Tetap Digdaya
Deretan pemain bintang dan kualitas sepakbola yang sepadan dengan Eropa –berdasarkan indikator dari peringkat FIFA dan nilai jual pemain– seharusnya membuat Copa America Centenario 2016 bisa menjadi pesaing serius bagi Euro 2016. Namun, apakah memang demikian? Apakah persekutuan CONMEBOL dan CONCACAF membuahkan hasil seperti yang diharapkan?
Jangan salah. UEFA juga telah “berbenah” demi keuntungan yang kian melimpah. Piala Eropa 2016 tidak lagi melibatkan 16 peserta saja seperti edisi-edisi sebelumnya, melainkan bertambah menjadi 24 negara. Dengan kata lain, keuntungannya pun akan lebih banyak.
UEFA meyakini bahwa Piala Eropa tahun ini bakal menghasilkan uang hingga 2 miliar euro (30 triliun rupiah). Bandingkan dengan ajang serupa empat tahun silam di Polandia dan Ukraina yang “hanya” menghasilkan 1,4 miliar euro (21 triliun rupiah).
Bloomberg menyebutkan, UEFA akan meraup untung dari hak siar televisi mencapai 1,05 miliar euro (15,75 triliun rupiah), naik sebesar 25 persen dari Piala Eropa 2012. Pemasukan dari sponsor juga diprediksi bakal melambung sampai dengan 450 juta euro (6,8 triliun rupiah), itu belum termasuk keuntungan dari penjualan tiket dan sektor-sektor lainnya.
Untuk edisi tahun ini, UEFA menjual sebanyak 2,5 juta tiket, lebih banyak dari Piala Eropa 2012 yang menyediakan 1,5 juta tiket saja. Menurut World Football Guide, tiket termurah dijual dengan harga 25 euro atau sekitar 372 ribu rupiah. Sedangkan tiket termahal adalah untuk partai final yang dibanderol dengan harga 810 euro atau mencapai 13,2 juta rupiah.
Lalu, bagaimana dengan Copa America Centenario 2016? Ambil contoh untuk hak siar televisi. WalletHub melaporkan, CONMEBOL dan CONCACAF hanya mampu menjual hak siar televisi turnamen garapan mereka itu dengan harga 112,5 juta euro (1,68 triliun rupiah).
Dari jumlah itu, 75 juta euro di antaranya dibeli secara patungan oleh Univision dan Fox Sports. Nominal ini tentunya masih sangat jauh jika dibandingkan dengan penjualan hak siar televisi untuk Piala Eropa 2016 yang dipegang oleh ESPN.
Dari segi penonton di televisi, pemirsa Copa America Centenario memang hanya kalah sedikit dari Piala Eropa 2016, setidaknya untuk 7 pertandingan awal dari data yang sudah tersedia. Menurut World Soccer Talk, 7 laga pertama Copa America Centenario dari tanggal 4 hingga 7 Juni 2016 rata-rata dilihat oleh 816.857 pemirsa tiap pertandingan, sementara untuk Piala Eropa ditonton oleh 872.857 orang dari layar kaca dari tanggal 11 sampai dengan 13 Juni 2016.
Apakah paparan data tersebut lantas menunjukkan bahwa Copa America Centenario tidak kalah pamor dengan Euro 2016? Barangkali tidak demikian.
Patut dicermati, turnamen di Amerika Serikat dimulai sepekan lebih awal dari Piala Eropa 2016 di Prancis sehingga dalam 7 hari pertama itu perhatian penikmat sepakbola dari seluruh dunia masih terfokus ke tayangan Copa America Centenario 2016. Lain halnya apabila dua ajang sepakbola regional itu digelar secara bersamaan.
Jika upaya penyatuan kekuatan lewat megaproyek Copa America Centenario 2016 tidak juga mampu mengusik kemapanan UEFA dengan Euro-nya, entah apa lagi yang akan dilakukan oleh CONMEBOL, dan juga CONCACAF. Yang jelas, Benua Amerika memiliki potensi sepakbola yang sebenarnya berimbang dengan Eropa.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti