tirto.id - Sejak Indonesia merdeka, Jakarta sudah dipimpin 17 Gubernur, 10 diantaranya punya pengalaman di bidang militer. Ada sebab kenapa Jakarta begitu banyak dipimpin militer, maklum di era orde lama dan orde baru, demokrasi belumlah terjadi penuh di birokrasi.
Penunjukan pemimpin daerah tidaklah secara langsung oleh rakyat, melainkan ditunjuk langsung oleh presiden. Saat presiden Soeharto berkuasa maka dia menunjuk gubernur-gubernur seenaknya, mayoritas berasal dari jenderal-jenderal Angkatan Darat dimana dia dibesarkan.
Dari 10 orang purnawirawan yang sempat jadi gubernur Jakarta, 8 diantaranya dilupakan dengan mudah. Hanya muncul dua orang yang populer yakni Ali Sadikin dan Sutiyoso. Ali memimpin Jakarta pada akhir 60-an hingga pertengahan 70-an. Sedangkan Sutiyoso memimpin Jakarta pasca reformasi. Sutiyoso lah purnawirawan terakhir yang memimpin Jakarta.
Di bawah kepemimpinan Sutiyoso, Jakarta mengalami beberapa perubahan dari segi pelayanan publik. Salah satu kebijakan andalannya adalah pembangunan moda transportasi publik busway Transjakarta. Sejak peresmian koridor 1 pada 15 Januari 2004, secara bertahap Transjakarta memiliki 12 koridor, 1 sedang proses pembangunan, dan 2 koridor sedang direncanakan. Pada perkembangannya Transjakarta dinobatkan sebagai BRT terbesar se-Asia Tenggara.
Selain Transjakarta, mulai 2 Maret 2007, Sutiyoso membuka pusat layanan pesan singkat (SMS) untuk menampung aspirasi warga Jakarta seputar layanan publik. Layanan ini merupakan wadah aspirasi bagi Sutiyoso untuk meningkatkan kualitas layanan maupun aparat pemerintah di bawahnya.
Dari segi kelola tata ruang kota, Gubernur Jakarta yang pernah menjabat sebagai Wakil Komandan Kopassus ini mengeluarkan kebijakan pemagaran Taman Silang Monumen Nasional (Monas).
Oleh sebagian pihak, kebijakan ini dianggap melanggar hak publik atas ruang terbuka. “Jadi pemagaran itu bukan untuk mematikan, kenyataannya memang kita nggak bisa mengamankan kawasan itu karena lubangnya terlalu banyak,” kata Letjen (Purn) Gubernur Sutiyoso, 2 April 2002, seperti dilansir dari tempo.co.
Sebenarnya nama besar Sutiyoso masih kalah jauh ketimbang dengan Ali Sadikin. Sosok ini ditengarai “sangat berjasa” bagi perkembangan Jakarta. Ali Sadikin, namanya. Ali adalah gubernur ibukota yang menjabat sedari 1966-1977.
Gubernur berlatarbelakang Letjen Korps Komando Angkatan Laut (Purn) ini gemar membangun infrastruktur. Dia adalah sosok di balik pembangunan Taman Impian Jaya Ancol, Kebun Binatang Ragunan, Taman Ismail Marzuki, dan kota satelit Pluit di Jakarta Utara.
Tak pelak, pensiunan marinir ini juga terkenal kontroversial karena melanggengkan bisnis hiburan malam termasuk perjudian berpajak. Pajak ini dari bisnis haram ini, bagi Ali, merupakan salah satu sumber pemasukan yang lumayan bagi pembangunan Jakarta.
Beda kebijakan tapi sama-sama kontroversial, laki-laki pencetus pesta rakyat setiap hari jadi kota Jakarta ini juga membangun komplek Kramat Tunggak di Koja, Jakarta Utara, sebagai lokalisasi pelacuran.
Pembangunan ini termaktub dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila.
Kramat Tunggak juga digadang-gadang sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara pada masanya. Tercatat, pada 1990-an jumlah pekerja seks komersial sudah mencapai lebih dari 2.000 orang dan 258 mucikari atau germo.
Menurut Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta, peninggalan Ali ini sudah tutup sejak 1999 atas usulan Gubernur Sutiyoso dan desakan ulama dan masyarakat sekitar di Jakarta. Masalah yang diungkit soal kriminal dan sosial.
Setelah tutup, banyak wacana mengenai nasib Kramat Tunggak selanjutnya. Memasuki 2002, Sutiyoso melalui Forum Curah Gagasan akhirnya menentukan bahwa di atas tanah komplek Kramat Tunggak itu selanjutnya berdiri Jakarta Islamic Centre, pusat kajian Islam di Jakarta.
Kuat-kuatan Sipil-Militer di Pilkada DKI
Kontestasi di Pilkada DKI 2017 yang melibatkan cagub dan cawagub berlatar sipil maupun militer bukanlah hal baru. Ini sudah pernah terjadi pada Pilkada DKI 2007, di mana Fauzi Bowo berpasangan dengan Prijanto yang adalah purnawirawan Aster Komando Staf TNI AD memperoleh 2.091.909 (57,9 persen) melawan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar dengan perolehan suara sejumlah 1.521.831 (42,1 persen).
Hal serupa juga terjadi saat Pilkada DKI 2012 saat Fauzi Bowo maju lagi bersama calonnya Mayjen (Purn) Nachrowi Ramli menghadapi pasangan Jokowi-Ahok. Saat itu, Fauzi-Nachrowi kalah dengan perolehan suara 2.120.815 (46,18 persen), sedangkan Jokowi-Ahok memperoleh 2.472.130 suara (53,82 persen).
Kusnanto Anggoro, pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), menyangkal pandangan yang menyatakan bahwa gubernur berlatar sipil tidak lebih tegas ketimbang yang berlatar militer. Menurutnya, selama pimpinan aparat di tingkat provinsi seperti Kodam dan Polda bisa kooperatif dengan kebijakan politik dari gubernur non-militer, maka tidak diperlukan Gubernur DKI dari kalangan militer.
Alasan lain yang digunakan Kusnanto adalah gubernur latar militer memiliki kecenderungan menggunakan alat koersif untuk melanggenggkan kebijakannya. Alat-alat koersif ini biasanya menimbulkan konflik turunan di kalangan masyarakat. Meskipun gubernur sipil juga punya kemungkinan melakukan hal koersif, menurut Kusnanto, gubernur jebolan militer lebih rentan mencederai demokrasi.
Menilik rekam jejak politik Agus Yudhoyono, Ikrar Nusa Bhakti, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menilai bahwa lulusan terbaik Akmil itu terlalu dini masuk ke dalam dunia politik. Percobaannya mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2017 ini, menurutnya, sebuah pertaruhan besar. Selain itu, Ikrar menyebut bahwa semua Gubernur DKI pendahulu yang dari militer berpangkat letnan jenderal sedangkan Agus masih berpangkat mayor.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan