tirto.id - Hingga awal Maret 2022, Real Betis Balompié masih bertahan dengan kuat di tiga kompetisi sekaligus. Tim asal Andalusia itu masih berada di papan atas La Liga Spanyol dan berpeluang meraih tiket ke Liga Champions. Di kancah Europe League, mereka berhasil menembus babak 16 besar dan bakal menghadapi Eintracht Frankfurt untuk mempertahankan tempatnya. Sementara di Copa Del Rey, Betis menjadi satu dari dua tim tersisa di final bersama Valencia.
Lumrah saja mengaitkan kesuksesan itu dengan tangan dingin pelatih Manuel Pellegrini. Ditilik dari aspek pemain pun Betis punya talenta yang cukup mumpuni, seperti Nabil Fekir, Sergio Canales, Juanmi, hingga Hector Bellerin. Namun, jangan lupakan peran sang kapten Joaquín Sánchez.
Joaquín Sánchez yang kini tengah menjelang usia 41 tahun adalah ikon Real Betis. Meski kini namanya terdengar sayup, dia bukanlah nama yang asing bagi para penikmat sepak bola Eropa.
Para pemain gim video Winning Eleven hingga Pro Evolution Soccer boleh jadi telah familier dengan sosoknya sejak era Playstation 2 (kalau bukan Playstation 1), terutama saat dia tergabung dalam skuad Valencia. Sebagian orang juga mungkin ingat kegagalannya bersama Spanyol di babak perempat final Piala Dunia 2002.
Joaquín dikenal memiliki akselerasi tinggi, kemampuan dribel yang baik, piawai melepaskan umpan silang maupun mencetak gol. Dia memulai debutnya pada pengujung abad ke-20—tepatnya 3 September 2000—di tim senior Betis. Sang ikon Betis juga sempat berkelana ke berbagai klub, sebelum kembali untuk memimpin tim masa kecilnya dan kini menyongsong ujung karier panjang yang bisa jadi berakhir dengan manis.
Matador Menuju Piala Dunia
Joaquín Sánchez lahir di El Puerto de Santa María, Cádiz, Spanyol, pada 21 Juli 1981 dalam keluarga besar sembilan bersaudara. Alih-alih sepak bola, Joaquín kecil sebetulnya lebih tertarik pada bullfighting, setidaknya hingga sang ibunda memberinya bola sepak. Pilihan yang kini terbukti tepat mengingat namanya yang selalu dielukan publik Estadio Benito Villamarín sebagai legenda hidup lapangan hijau.
Adalah sang paman yang kemudian percaya Joaquín cilik punya potensi di sepak bola. Paman yang akrab disapa “El Chino” itu pulalah yang membiayai perjalanan hariannya yang berjarak 1 jam 20 menit demi tampil di tim muda Real Betis. Selepas menjadi pilihan utama di tim junior dan Real Betis B, Joaquín akhirnya melakoni debut di tim senior pada usia 19 tahun.
Penampilan gemilangnya dalam kostum putih-hijau lalu mengantarnya masuk tim nasional Spanyol yang saat itu ditukangi José Antonio Camacho.
Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang menjadi ajang internasional pertama bagi Joaquín. Kala itu,dia didapuk sebagai pelapis Luis Enrique. Kendati hanya tampil dalam dua dari total lima pertandingan Spanyol, inilah momen publik sepak bola dunia menaruh perhatian pada sang sayap kanan muda bertalenta.
Dalam laga perempat final kontra Korea Selatan, Joaquín secara konstan memberikan ancaman di sisi kiri pertahanan tuan rumah. Permainannya yang brilian berujung pada umpan matang yang berhasil dituntaskan Fernando Morientes ke jala gawang Lee Woon-jae. Andai tak dianulir karena sebelumnya dianggap teah keluar lapangan, golden goal Joaquín itu semestinya bisa mengantar Spanyol ke babak semi final untuk pertama kali.
Keputusan wasit sontak memperpanjang kontroversi yang membayangi tuan rumah Korea Selatan sekaligus memperpanjang pertandingan hingga adu penalti. Joaquín menjadi satu-satunya algojo Spanyol yang gagal, sementara seluruh eksekutor Korea Selatan sukses membobol gawang Iker Casillas. Piala Dunia pertamanya pun berakhir dengan rasa pahit yang membekas.
(Hanya) Dua Trofi dalam Dua Dekade
Di level klub, Joaquín pernah mengatar Real Betis meraih Copa del Rey musim 2004/05. Trofi itu adalah satu dari dua trofi mayor yang diraih Joaquín sepanjang kariernya. Los Verdiblancos juga dibawa menuju Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Berkat prestasi itu, Chelsea lantas datang untuk mendapatkan tanda tangan sang pemain. Tapi, Joaquín menolak tawaran itu. Jose Mourinho, pelatih Chelsea saat itu, menyebut bahwa Joaquín adalah pemain pertama yang menolak pinangannya.
Real Madrid berada di antrean berikutnya untuk merekrut jasa sang sayap kanan andal. Namun, kesempatan Joaquín untuk "naik kelas" ke klub terbesar dunia itu gagal. Kali ini, biangnya adalah Manuel Ruiz de Lopera, pemilik Betis saat itu.
Joaquín akhirnya hengkang ke Valencia yang saat itu baru saja melewati masa keemasan yang berlangsung pada 1999-2004. Kendati demikian, periode itu tetap layak dikenang karena Joaquín tergabung bersama tim yang saat itu dihuni sederet pemain jempolan, seperti Ruben Baraja, David Albelda, Santiago Canizares, David Villa, David Silva, dan tentu tandemnya di sisi sayap kiri Vicente Rodríguez.
Valencia dibawanya merengkuh Copa del Rey pada musim 2007/08. Di kancah La Liga, Valencia dua musim berturut-turut (2009/10 dan 2010/11) menjadi tim terkuat ketiga di bawah dua kuda pacu Barcelona dan Real Madrid.
Sementara itu di persepakbolaan internasional, Joaquín menjadi langganan pengisi sisi kanan tim nasional. Sebanyak 52 caps dikumpulkannya, diikuti dengan catatan empat gol. Namun, perselisihan dengan pelatih Luis Aragonés pada 2008 menjadi penghalang Joaquín untuk menjadi bagian dari generasi emas Spanyol saat itu.
Dia disingkirkan dari skuad, sementara Iker Casillas cs. menyapu bersih titel juara Euro 2008, Piala Dunia 2010, dan Euro 2012.
Pada 2011, Joaquín ditransfer ke Málaga yang tengah membangun proyek ambisius dengan merekrut pemain-pemain ternama macam Ruud van Nistelrooy, Santi Cazorla, dan Jeremy Toulalan. Seperti halnya Betis, Málaga berhasil diantarnya menuju Liga Champions untuk pertama kali.
Los Albicelestes bahkan melaju hingga perempat final sebelum disingkirkan tim yang kelak menjadi finalis, Borussia Dortmund, dengan skor agregat 2-3. Dalam laga itu, Joaquín mencetak satu gol.
Namun, proyek “klub kaya baru” itu tak bertahan lama. Málaga mendapat sanksi UEFA terkait utang, diikuti performa yang perlahan menurun, hingga akhirnya harus melego pemain-pemain bintangnya. Joaquín yang kala itu berusia 34 tahun termasuk salah satu yang dilepas. Dia akhirnya mencoba peruntungan di luar negeri dengan bergabung ke Fiorentina untuk dua musim.
Legenda La Liga
Sejak musim 2015/16, Joaquín kembali ke klub masa kecilnya Real Betis dalam usia 36 tahun. Sang mantan pemain junior tak hanya kembali sebagai veteran dan kapten, tapi turut pula menjadi pemegang 2 persen saham klub.
Usia kawakan tak membuat hasratnya mengolah bola berkurang. Sepak bola memang kian cepat dan rapat ketimbang 20 tahun silam, tapi Joaquín tetap bisa menemukan cara bertahan. Dia tak melulu diplot sebagai sayap kanan, tapi juga sebagai gelandang serang di dua sisi lapangan atau bahkan di belakang striker. Peran baru itu dilakoninya dengan efektif berkat kemampuannya memberi assist atau mencetak gol.
Pada musim 2019/2020, Joaquín mencatatkan rekor sebagai pencetak hat-trick tertua di La Liga. Rekor itu diraihnya kala mengalahkan Athletic Bilbao dengan skor 3-2. Hebatnya lagi, dia sekaligus memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang oleh Alfredo Di Stéfano selama lebih dari setengah abad.
Dalam dua musim terakhir, Joaquín tercatat sebagai pemain tertua di La Liga dan memegang rekor penampilan untuk Real Betis. Lebih lanjut, dia kini menjadi pemain non-kiper dengan jumlah pertandingan terbanyak di La Liga. Dia tercatat telah melakoni lebih dari 580 laga dan hanya kalah dari kiper legendaris Barcelona Andoni Zubizarreta.
Di luar lapangan, Joaquín tak hanya dicintai fan Real Betis, tapi juga publik sepak bola Spanyol pada umumnya—terutama karena kegemarannya berkelakar. Dalam setiap konferensi pers, dia hampir selalu diminta untuk melemparkan lelucon.
Jika kau mencari video soal pesepak bola (terutama yang berstatus legenda) di Youtube, yang lazimnya muncul adalah kompilasi gol, assist, atau dribel dan tekel. Lain halnya dengan Joaquín. Di Youtube, video-video tentang Joaquín Sánchezyang berhasil menggaet banyakviewsadalah video-video kala sang pemain melemparkan guyonan, penuh gelak tawa, hingga video di mana dia berupaya menghipnotis ayam.
"Kerja, kerja, kerja. Saya mungkin tak lagi berusia 20 tahun, tapi saya memiliki mentalitas yang sama. Saya ingin terus berkembang dan menikmati setiap pertandingan layaknya pertandingan terakhir,” ujar Joaquín kepada SI.
Pada musim 2021/22 ini, Joaquín kian sedikit tampil. Di liga, dia lebih sering masuk sebagai pemain pengganti. Namun di Europa League, dia masih tetap menjadi andalan Manuel Pellegrini dan nyaris selalu tampil sebagai starter.
Dalam musim yang sangat mungkin menjadi musim terakhirnya sebagai pesepak bola profesional, Joaquín berpeluang mendapatkan gelar-gelar terakhirnya, bahkan mengantarkan Betis kembali ke Liga Champions setelah 17 tahun. Dia tampak menikmati betul petualangan terakhirnya dan tak terlalu ambil pusing.
“Apa yang ingin saya lakukan?" Joaquín bertanya balik kepada Pledge Times, ketika ditanya kehidupannya setelah pensiun kelak. "Pemadam kebakaran atau aktor porno.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi