tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, Kamis (7/9/2017) memanggil Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishub) untuk menjelaskan hasil kajian pelarangan sepeda motor di Jalan Sudirman-Thamrin.
Djarot mengatakan, kebijakan yang rencananya akan diujicoba tanggal 12 September mendatang bukan untuk melarang pengendara motor melintasi Sudirman dari pukul 06.00-22.00 WIB.
"Saya kira tidak. Ini kebijakan yang menurut saya kebablasan, drastis banget. Makanya dikaji, opsi-opsinya baru sehabis itu dievaluasi," ungkap Djarot di Balai Kota, Jakarta Pusat.
Menurut Djarot, pelarangan penuh sepeda motor seperti yang ada di Jalan Merdeka Barat hingga Bundaran HI tidak bisa serta merta diterapkan. Sebab, jalur-jalur alternatif untuk sampai ke beberapa tempat di Sudirman cukup sulit diakses oleh para pengendara motor.
"Itu akan menjadikan para pengendara motor yang memang punya pekerjaan di sekitar situ menjadi susah. Makanya ada banyak opsi saya sampaikan," imbuhnya.
Selain itu, ia juga meminta ujicoba larangan roda dua tersebut hanya dilakukan pada di jam-jam sibuk. "Dan itu pun tidak langsung semuanya, kita sesuaikan dengan kebijakan yang paling gampang, ganjil-genap," kata Djarot.
Jika hasilnya efektif mengurangi kemacetan dan volume kendaraan, maka kebijakan tersebut akan diterapkan oleh Pemprov DKI. "Nanti kita evaluasi pengurangannya berapa persen. Kalau misalkan pasti akan berkurang, ya pasti dong orang (pengendara motor) enggak boleh masuk," sambungnya.
Usulan pelarangan motor di Jalan Sudirman disampaikan Dishub setelah mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Rencana Umum Pengendalian Pembatasan Sepeda Motor di Jabodetabek, 8 Agustus lalu.
Kepala Dinas Perhubungan Andri Yansyah mengatakan, kebijakan tersebut diusulkan untuk mendorong para pengendara motor berpindah ke moda transportasi massal seperti TransJakarta dan kereta Commuter Line.
Baca: Sepeda Motor: Sebab atau Solusi Kemacetan?
“Dari sekian banyak orang yang pakai kendaraan bermotor setengahnya minimal sudah shifting pakai angkutan masal,” ujarnya di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan
Direktur Lalu-lintas dan Angkutan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Karlo Manik mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian pembatasan sepeda motor di 8 ruas jalan di Jabodetabek. Namun, di Jakarta baru 2 lokasi yang dikaji oleh BPTJ yakni kawasan Sudirman dan Rasuna Said.
"Kebetulan sejalan sama DKI Jakarta, mereka juga sedang ingin lakukan pembatasan, jadi kita sampaikan," katanya di Hotel Alila Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2017).
Menurut kajian BPTJ, jika dibatasi, maka Biaya Operasional Kendaraan (BOK) dapat dihemat cukup besar dan berpengaruh bagi perekonomian Jakarta di masa mendatang.
Saat ini, kondisi exciting BOK di Jabotabek diperkirakan sebesar Rp19,5 triliun pertahun. Jika Pembatasan Sepeda Motor diberlakukan, maka Biaya Operasional Kendaraan (BOK) Jabodetabek akan mengalami penurunan yang berarti penghematan.
"Sekitar Rp1,944 miliar (penghematan) perhari atau Rp600 miliar pertahun. Nilai tersebut meningkat dari tahun ke tahun [jika] dimulai 2018. Dan diperkirakan pada tahun 2035 bisa mencapai Rp7,7 triliun pertahun," ungkap Farhan Ibnu, salah satu modeler studi pembatasan sepeda motor BPTJ.
Biaya operasional kendaraan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh kendaraan per-satuan panjang jalan. Sementara komponen biaya tersebut, kata Farhan, antara lain, "Konsumsi BBM, biaya perawatan, serta depresiasi kendaraan tersebut."
Ia menambahkan, "Berdasarkan hasil studi terdahulu, biaya operasional kendaraan satu sepeda motor sekitar Rp350 perkilometer."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto