tirto.id - Selama hampir 100 tahun berdiri, The Walt Disney Company sukses melahirkan beberapa karakter ikonik, mulai dari Mickey Mouse, Donald Duck, hingga Snow White.
Berawal dari perusahaan yang memproduksi film bisu, The Walt Disney Company terus berkembang dan menggurita. Sekarang, perusahaan yang didirikan oleh Walter Elias Disney pada 1923 ini dikenal punya banyak lini bisnis. Di bidang taman hiburan, mereka melahirkan taman hiburan bernama Disneyland yang setiap tahunnya dikunjungi sekitar 140 juta pengunjung.
Sedangkan di bidang media, mereka punya American Broadcasting Company (ABC) dan ESPN yang terdepan dalam tayangan olahraga. Tak cukup di sana, Disney juga sedang dalam proses membeli 21st Century Fox dengan nilai 71,3 miliar dolar. Ini tak main-main, sebab 21st Century Fox adalah perusahaan media multi nasional yang punya banyak anak perusahaan besar, seperti National Geographic Partners, dan 20th Century Fox.
Sayangnya, tatkala dunia internet kian jadi bagian tak terpisahkan masyarakat dunia, Walt Disney Company telat bergerak. Netflix, yang bermula sebagai perusahaan penyewaan DVD menyodok ke arena untuk jadi raja arena hiburan baru bernama streaming video. Mengutip data Statista, dari 2012 hingga 2018 Netlix sukses mendulang 122 juta pengguna baru. Menggenapkannya menjadi layanan streaming video pemilik 150 juta pengguna.
Dengan kekuatannya tersebut, sebagaimana dilaporkan The New York Times, nilai kapitalisasi perusahaan yang belum genap berumur 22 tahun ini berada di angka 156 miliar dolar. Sebagai perbandingan, Disney, yang telah seabad berdiri itu, memiliki nilai kapitalisasi pasar sebesar 174 miliar dolar, tak berbeda jauh.
Dalam jagat streaming video, Disney hanya punya Hulu, layanan streaming video garapan bersama antara Disney, Fox, Comcast, dan AT&T. Sialnya, layanan mereka tak punya kekuatan berarti melawan Netflix. Saat ini, pelanggan Hulu hanya berkisar di angka 25 juta.
Namun, tentu saja Disney tak mau tinggal diam. Seperti dilaporkan The Verge, Disney akan merilis Disney+ pada akhir 2019 nanti. Ini adalah layanan streaming video yang akan ditempatkan sebagai pesaing Netflix yang paling serius.
Pertanyaannya, seberapa serius?
Netflix tidak mencapai status raja layanan streaming video dengan mudah. Untuk melakukannya, mereka harus mengeluarkan banyak uang, termasuk sejumlah 12 miliar pada 2018 lalu sebagai biaya pembuatan original content. Dari dana tersebut, Netflix lantas melahirkan Daredevil, Stranger Things, Black Mirror: Bandersnatch, Roma, Sense8, hingga Okja.
Sayangnya, konten-konten original Netflix berdiri di tanah yang rapuh. Meskipun memiliki embel-embel konten original, di sebagian kasus, Netflix tidak memiliki kuasa penuh atas apa yang diciptakannya. The Crown, serial bertitel konten original Netflix, misalnya, merupakan properti milik Sony. Ketika kelak masa lisensi Netflix berakhir, Sony tentu berhak menjualnya ke siapapun, bisa ke Hulu atau Amazon Prime.
Tepat di sana, Disney unggul sekaligus mengeluarkan pukulan telak.
Banyak konten original Netlix yang amat populer, seperti Daredevil, Iron Fist, Jessica Jones, Luke Cage, hingga The Punisher, adalah milik Marvel Entertainment. Tebak siapa pemilik Marvel Entertainment? Yak betul: Disney. Mereka membeli Marvel Entertaiment sebesar 4 miliar dolar pada 2009 silam.
Maka tak heran, ketika rencana peluncuran Disney+ makin dekat, serial-serial itu berhenti dilanjutkan di Netflix. Serial seperti Daredevil, Iron Fist, dan Luke Cage, berhenti dilanjutkan di Netflix pada 2018. Sedangkan tahun ini, The Punisher dan Jessica Jones akan tayang untuk terakhir kalinya.
Mark Hughes, penulis naskah film, dalam analisisnya di Forbes, menyebut bahwa penghentian beberapa serial milik Marvel yang tayang di Netflix merupakan antisipasi hadirnya Disney+. Bagi Netflix, mereka menghentikan kelanjutan-kelanjutan seri tersebut untuk mencegah layanan streamingnya jadi “medium iklan” bagi Disney. Sebagai gantinya, Netflix berencana menghadirkan seri-seri superhero alternatif seperti Jupiter's Legacy, American Jesus, Empress, Huck, juga The Umbrella Academy untuk tayang di layanan mereka.
Sedangkan Disney seperti menggoda dan bilang bahwa serial-serial Marvel hanya bisa ditonton di layanan mereka sendiri, Disney+. Namun Disney tidak hanya bergantung pada seri-seri Marvel yang menjadi konten original Netflix untuk menjadi kampiun di dunia streaming video. Jurus maut mereka untuk menjadi raja streaming video yang utama tak lain adalah diri mereka sendiri.
Sebagai raja hiburan, khususnya di dunia sinema, bisa dibilang Disney paripurna dan tanpa tanding. Di tangan kanan yang menggenggam jagat hiburan, ada Walt Disney Studio yang menjadi pemilik sah Pixar, Marvel Entertainment, hingga Lucas Film. Dari tangan kanannya ini, Disney bisa menghadirkan Toy Story, Up, Coco, Cars, The Incredibles, Finding Nemo, semua seri Marvel Cinematic Universe hingga semua seri Star Wars.
Sedangkan di tangan kiri yang mencengkram industri media, The Walt Disney Company menggenggam Disney Media Network, yang menjadi pemilik sah 21st Century Fox, ESPN, National Geographic Channel, History Channel, dan sebagian VICE.
Dengan banyaknya portofolio yang dimiliki, Disney bisa memblokir properti milik mereka untuk hanya tayang di Disney+. Ini jelas mengkhawatirkan bagi Netflix. Sebab, selain mengandalkan konten asli, mereka juga bergantung pada konten-konten lisensi. Sebagai informasi, Netlix mengeluarkan dana hingga 5 miliar dolar per tahun untuk membayar lisensi ke berbagai studio.
Namun, sebagai pemimpin pasar saat ini, Netflix masih percaya diri akan memenangkan pertarungan. Reed Hastings, Pemimpin Eksekutif Netflix, menyebut bahwa di pasar terdapat sangat banyak kompetitor. Ini artinya, publik akan punya makin banyak pilihan. Tentu saja, yang menang adalah yang menghadirkan konten bagus.
Dan Netflix tidak takut untuk bersaing dan mempertahankan keunggulan mereka.
Editor: Nuran Wibisono