Menuju konten utama

Dilema Menikmati Hasil Karya dari Artis Idola Problematik

Ketika mendapati artis idolamu melakukan perbuatan tercela, apa kamu siap untuk sayonara dengan karyanya selamanya?

Dilema Menikmati Hasil Karya dari Artis Idola Problematik
Header diajeng Memisahkan Karya dari Penciptanya. tirto.id/Quita

tirto.id - "Loh, kamu masih dengerin lagu-lagunya dia? Dia kan misoginis! Aku sih sudah gak dukung dia lagi setelah kasus yang kemarin!”

Demikian ucap seorang teman saat mendapatiku masih mendengarkan lagu lama seorang artis yang pernah melontarkan pendapat yang merendahkan perempuan.

Tentu, penyanyi tersebut sudah meminta maaf kepada publik. Meski begitu, sejumlah penggemarnya memilih untuk tidak mendukungnya lagi dan berhenti mendengarkan lagu-lagunya.

Tak bisa dimungkiri, pada titik tertentu, kita pasti dihadapkan pada dilema untuk menikmati karya dari seorang artis atau figur idola yang melakukan blunder, melontarkan ujaran kebencian dan seksis, atau terlibat perkara problematik lainnya yang sampai melanggar hukum.

Lantas, tepatkah apabila kita memutuskan untuk berhenti menikmati karya-karyanya yang indah, menghibur, dan artistik tersebut?

Atau, perlukah menarik garis batas untuk memisahkan sang seniman dari karyanya, sehingga kita masih dapat menikmati keindahan produk kreatif tersebut tanpa dihantui rasa kesal atau bersalah?

Idealnya, suatu karya tidak dapat seutuhnya mencerminkan jati diri pembuatnya.

Melansir Vox, diskursus mengenai pemisahan karya seni dari kehidupan personal penciptanya sudah diperdebatkan sejak era Kritik Baru (New Criticism) pada awal abad ke-20.

Gelombang Kritikus Baru meyakini bahwa karya yang baik, khususnya puisi, harus dapat diinterpretasikan tanpa berusaha menebak isi pikiran sang artis, apalagi menggali kehidupan pribadinya.

Memakai sudut pandang demikian, kesuksesan lagu “Hati-Hati di Jalan” tak serta merta membuat Tulus, penyanyinya, menjadi laki-laki patah hati yang tak bisa melupakan masa lalu.

Begitu pula popularitas film-film horor yang digarap Joko Anwar tidak membuatnya dicap sebagai seorang musyrik yang mendewakan setan.

Terlepas dari itu, pada kenyataannya, persepsi atau cara pandang si penikmat karya bisa saja berubah akibat perilaku atau keputusan yang diambil pembuatnya.

Misalnya, J.K. Rowling. Empat tahun silam, penulis buku seri Harry Potter ini dihujani kritik karena menyebarkan transfobia melalui serangkaian pendapatnya di akun Twitter (sekarang X).

Tindakan Rowling berhasil mengubah pandangan publik terhadap dirinya, dan tentu karya-karyanya.

Sejumlah aktivis dari komunitas transgender menyerukan pemboikotan massal terhadap film, rencana pembuatan serial TV Harry Potter, hingga gim yang bernaung di bawah nama besar Rowling. Seiring itu, di forum-forum digital, mereka yang masih setia menjadi pecinta Harry Potter tak luput jadi bahan olok-olok.

Berbondong-bondong, sebagian penggemar mahakarya Rowling—tepatnya mantan penggemar—mematri namanya dalam salah satu gerakan cancel culture terbesar di era digital masa kini.

Beberapa orang memiliki pertimbangan sendiri untuk berhenti mengonsumsi karya seni yang diciptakan atau dibawakan oleh artis, terutama penyanyi, yang problematik. Bagi mereka, kepribadian sang idola memiliki pengaruh terhadap preferensi mereka dalam menikmati musiknya.

Menurut survei dalam studi di jurnal Plus One (2022), sebanyak 29 persen responden menyatakan tidak menyukai suatu musik karena sang penyanyi (meliputi suara dan kepribadiannya), meski alasan utama suatu musik tidak disukai masih berkaitan dengan style musik itu sendiri, seperti genre dan lirik lagu.

Lebih lanjut, sebuah penelitian di jurnal Psychology of Music(2021) menyatakan bahwa seseorang dapat merasakan respons-respons negatif seperti perasaan marah, jijik, hingga rasa sakit akibat mendengarkan musik yang tidak disukai.

Dalam studi ini ditekankan juga bahwa pengalaman personal dan konteks tertentu menjadi faktor yang dapat membuat sebuah musik tidak disukai pendengarnya.

Maka tentu dapat dipahami ketika seorang penikmat karya seni merasa kesulitan, atau tidak mampu, memisahkan produk kreasi dari si pencipta atau tokoh yang memopulerkannya.

Skandal atau kontroversi yang diciptakan si artis telah mengubah persepsinya akan suatu karya sehingga ia tidak lagi dapat menikmati karya tersebut tanpa mengecap sensasi-sensasi negatif di dalam tubuhnya.

Terlebih jika perbuatan tercela yang dilakukan si artis sangat bertentangan dengan kompas moral yang dimiliki si penggemar, sebagaimana dicerminkan oleh mereka yang menolak memaafkan ujaran misoginis penyanyi yang pernah disukainya, atau komunitas transgender yang membenci karya-karya Rowling meskipun dulu begitu menggemarinya.

Di industri K-pop, merilis rekaman ulang lagu-lagu tertentu menjadi hal yang wajar bagi grup yang kehilangan anggota, termasuk dalam konteks idol yang dikeluarkan karena dugaan kasus kejahatan seksual.

Baru-baru ini, Moon Taeil, salah satu anggota grup populer NCT, dikeluarkan dari grup tersebut atas tuduhan kekerasan seksual.

Penyelidikan atas kasusnya masih berjalan, akan tetapi fans NCT atau lebih populer disebut NCTzen sudah berduyun-duyun menarik dukungan mereka pada Taeil.

Sejumlah penggemar bahkan meminta pihak agensi untuk merekam ulang lagu-lagu lama NCT supaya mereka tidak perlu lagi mendengarkan Taeil.

Sebelum kejadian pada NCT, boyband Stray Kids sudah pernah merekam ulang hampir seluruh diskografinya setelah mengeluarkan Kim Woojin yang diduga melakukan kasus kekerasan seksual.

Masih ada grup Winner yang merilis ulang beberapa lagu setelah salah satu anggotanya, Nam Taehyun, tertangkap basah mengendarai mobil dalam keadaan mabuk.

Dari lensa pelaku industri K-pop, merekam ulang lagu dan diskografi dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk mempertahankan kepercayaan dan loyalitas pasar, menjaga kesetiaan fandom K-pop itu sendiri.

Pada akhirnya, keputusan untuk tetap menikmati karya dari artis yang punya riwayat problematik, atau berhenti mendukung hasil karya dan kariernya, akan sangat bergantung pada kompas moral dan penilaian pribadi dari masing-masing penikmat seni.

Bagaimana denganmu? Ketika mendapati artis idolamu melakukan perbuatan tercela, apa kamu siap untuk sayonara dengan hasil karyanya selamanya?

Ataukah kamu termasuk yang mampu memisahkan kepribadian sang maestro dari karya seni yang dilahirkannya?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih