Menuju konten utama

Di Balik Runtuhnya Kejayaan Bulutangkis Cina

Bagi dunia bulutangkis Cina, 2016 adalah tahun yang kelam. Mereka babak belur di ajang Super Series. Di Olimpiade, Cina kehilangan tiga medali emas sekaligus. Di Thomas Cup, mereka pun tampil memalukan merusak tradisi lolos hingga semifinal yang bertahan hampir 37 tahun lamanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada bulutangkis Cina?

Di Balik Runtuhnya Kejayaan Bulutangkis Cina
Pemain bulutangkis Cina, Lin Dan. GETTY IMAGES

tirto.id - Bagi tim bulutangkis Cina, gelaran BWF Super Series Cina Open yang baru saja digelar adalah aib terbesar dalam sejarah olahraga bulutangkis mereka. Bagaimana tidak, bertindak sebagai tuan rumah, Cina sama sekali tidak mendapatkan gelar. Bagi Cina, ini adalah aib. Sepanjang Cina Open digelar sejak 1986, Cina tak pernah absen menyumbang gelar dan tampil mendominasi.

Dari 26 kali berlangsungnya turnamen, Cina berhasil merebut 10 gelar juara di tunggal putra, 17 di tunggal putri, 5 di ganda putra, 12 pada ganda putri dan 12 ganda campuran. Dari setiap penyelenggaraan turnamen saat tunggal putra/putri gagal memberi gelar, nomor lain akan mengisinya, begitupun sebaliknya. Namun, untuk kali pertama tradisi itu tidak terjadi.

Tahun ini, semua nomor lari ke negara lain. Tunggal putra diraih pebulutangkis Denmark Jan O Jorgensen, gelar tunggal putri diraih ke P.V Sindhu dari India, begitupun ganda putri yang didapat pasangan Korea Selatan Chang Ye-Na/Lee So-hee, sedang ganda putra dan ganda campuran direbut Indonesia lewat Marcys Gideon/Kevin Sanjaya serta Tontowi Ahmad/Liliyan Natsir.

Prestasi Cina di turnamen Cina Open sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Dari lima nomor itu, mereka mengirimkan empat wakil sampai babak final. Di grand final, para pebulutangkis andalan Cina seperti Chen Long, Huang Dongping, Zhang Nan, Chai Bao dan Sun Yu memberikan perlawanan hebat –memaksa lawan bermain hingga tiga set. Hanya nasib saja yang membuat para wakil Cina ini gagal juara.

Namun, betulkah semua itu hanya faktor kesialan saja? Sepertinya juga tidak. Jika menilik penampilan para pebulutangkis Cina di tahun ini, memang ada penurunan gelar yang cukup signifikan - khususnya dalam konteks gelar di turnamen kejuaraan dunia BWF Super Series. Dari 11 seri gelaran BWF Super Series 2016, Cina saat ini baru mengemas 15 gelar.

Raihan ini tentu amat timpang jika dibandingkan dengan kondisi pada BWF Super Series 2015 dengan 25 gelar dan BWF Super Series 2014 yang mendapatkan 27 gelar – artinya pada masa itu Cina menguasai hampir 45-50 persen gelar juara di BWF Super Series.

Lantas, mengapa kejayaan itu tiba-tiba saja ambruk pada tahun ini?

Tahun 2016 adalah tahun padat bagi para pebulutangkis profesional. Selain bermain di Super Series dan Gold Grand Prix, merekapun dituntut untuk bermain pada dua ajang besar yakni Olimpiade Rio De Janeiro dan Thomas – Uber Cup.

Jika Cina mengorbankan prestasi di Super Series demi prestasi di Olimpiade dan Thomas-Uber tentu hal wajar. Namun, penampilan di Olimpiade dan Thomas Cup yang juga mengecewakan tentunya memunculkan persoalan.

Pada ajang Thomas Cup misalnya. Selain gagal juara, Tim Thomas Cina pun menorehkan aib mendalam karena sepanjang 37 tahun penyelenggaraan Thomas Cup, tim putra Cina selalu berhasil lolos minimal sampai semifinal. Pada tahun ini, tradisi itu tidak terjadi, Cina ditaklukkan Korea Selatan 1-3 di babak perempatfinal. Parahnya lagi, aib itu terjadi ketika Cina jadi tuan rumah.

Kemunduran sama juga terjadi di ajang Olimpiade. Jika kita merujuk Olimpiade London 2012, Cina begitu dominan dengan menyabet seluruh lima emas sekaligus. Pada 2016, prestasi itu anjlok dengan hanya dapat dua emas. Sialnya, pada beberapa nomor unggulan seperti tunggal putri, ganda putra mereka gagal mempersembahkan medali. Pasangan ganda campuran yang digadang-gadang mendapat emas, Zhang Nan/Zhao Yunlei malah dapat perunggu.

Infografik Gagal Juara di Rumah Sendiri

Kegagalan China mempertahankan dominasinya di cabang bulu tangkis Olimpiade pada Rio 2016, mendapat kritik pedas dari media massa di Negeri Tirai Bambu. Pelatih kepala tim bulu tangkis China, Li Yongbo pun jadi sasaran tembak dan dituntut untuk mundur dari jabatannya.

Kegagalan di Olimpiade membuat publik dan media Cina murka. Li Yongbo yang menjadi pelatih kepala tim bulu tangkis China selama satu dekade terakhir menjadi kambing hitam atas terpuruknya Cina pada 2016. Oleh media massa Li Yongbo dipaksa mundur. Dia berkilah menurunnya prestasi tahun ini disebabkan masa transisi generasi emas ke generasi muda.

“Terkadang Anda kuat, terkadang Anda mesti mengalami kemunduran,” ucap Li kepada Strait Times. “Indonesia dan Denmark dulu amat kuat. Lalu Cina menanjak hadir mengisi. Saat ini sejumlah pemain juara kami pensiun dan generasi selanjutnya muncul agak lambat. Jadi akan selalu ada kesulitan dan ini normal,” katanya.

“Jangan khawatir Cina masih memiliki pemain kelas atas di masa depan karena kami punya banyak pemain junior yang berkompetisi di level tinggi. Usai Olimpiade ini (Rio 2016), generasi kami berikutnya akan kuat. Untuk negara yang ingin mempertahankan keunggulan mereka, pasti perlu menekankan pengembangan bakat sistemik dan sistem pelatihan yang sangat baik. Cina memiliki itu, jadi saya tidak khawatir tentang masa depan.”

Ucapan Li ada benarnya. Buruknya prestasi Cina tidak lepas dari melempemnya para pemain-pemain senior.

Pasangan ganda campuran terbaik dunia, Zhang Nan/Zhao Yunlei yang biasa juara dua tahun sebelumnya, pada musim ini sama sekali tak mendapat gelar di Super Series. Umur Zhao Yunlei yang kini 30 tahun jadi sebab. Alhasil, ketimbang fokus di ganda campuran, Zhang Nan lebih sering berpresasi di ganda putra saat dipasangkan dengan Fu Haifeng.

Faktor Zhao Yunlei juga berpengaruh pada prestasi ganda putri. Musim lalu, ganda putri adalah penyumbang gelar terbanyak di Super Series - menyabet 9 gelar dari 11 series. Tahun ini, tiga pemain senior yakni Yu Yang, Zhao Yunlei dan Tian Qing memasuki kepala tiga. Banyak kritik mengarah bahwa fisik mereka sudah tak layak masuk timnas.

Masalah muncul ketika generasi emas yang umurnya berkisar 23-28 tahun dan disiapkan pengganti generasi lawas itu menunjukkan penampilan buruk pada musim ini. Sebut saja seperti Luo Yu, Luo Ying, Tang Jinhua, Huan Yaqiong, Li Xuerui dan Bao Yixin. Mereka-merekalah yang disebut Li Yongbo sebagai “generasi selanjutnya yang muncul agak lambat”

Jika menilik prestasi Cina musim ini, meskipun seret, prestasi itu banyak didapat oleh pemain-pemain muda berusia 23 tahun ke bawah. Krisis di tunggal putri juga terobati setelah kehadiran gadis berumur 19 tahun, He Bingjiao. Di saat seniornya, Li Xuerui, Wang Shixian dan Wang Yihan tak memberi apa-apa, He Bingjao sukses dua kali juara pada ajang Super Series, Japan Open dan France Open.

Di ganda putra muncul dua nama Li Yuchen/Li Junhui yang keduanya masih berumur 21 tahun. Saat para senior seret, mereka berhasil mempersembahkan dua gelar super series tahun ini. Ada juga nama Chen Qingchen, umurnya masih 19 tahun namun dia berhasil bermain di dua nomor: ganda putri dan campuran, empat gelar juara telah Chen Qingchen berikan kepada Cina tahun ini. Selain itu ada juga dua remaja berumur 19 tahun lain seperti Zheng Siwei dan Jia Yifan.

Bagi Cina, tahun 2016 memang menyakitkan. Namun jika menilik kemunculan generasi emas baru – yang usianya di bawah 21 tahun – namun sudah juara di turnamen sekelas Super Series, bagi Cina ini adalah anugerah. Wajar jika Li Yungbo dengan percaya diri menyatakan dirinya tidak khawatir dengan masa depan bulutangkis Cina.

Baca juga artikel terkait BULUTANGKIS CINA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti