tirto.id - Mesin pemanas di sebuah pabrik tekstil di Dhaka, Bangladesh, meledak dan mengakibatkan kebakaran pada Selasa (4/7/17). Reuters melaporkan, kebakaran gedung enam lantai tersebut menelan 10 korban tewas, 50 luka-luka. Sebelah gedung berlantai tiga di samping pabrik ikut terbakar.
Peristiwa ini merupakan kecelakaan terakhir dari rangkaian peristiwa serupa di Bangladesh, eksportir tekstil terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Selama tahun 2005-2016, Reuters mencatat terdapat 11 kecelakaan industri berskala besar di Bangladesh; delapan kasus di antaranya terjadi di pabrik tekstil. Tiga di antaranya menjadi pembicaraan global. Dhaka runtuh. Masih pada bulan yang sama, pabrik tekstil di kota pelabuhan Chittagong terbakar, menewaskan 65 orang dan melukai puluhan lainnya.
Pada Februari 2006, 21 buruh tewas dan puluhan luka-luka ketika pabrik tekstil Spectrum di Dhaka runtuh. Masih pada bulan yang sama, kebakaran merontokkan pabrik tekstil di kota pelabuhan Chittagong; 65 korban jiwa, puluhan cedera. Pada November 2012 , kebakaran di pabrik Tazreen Fashions menewaskan 112 pekerja dan melukai lebih dari 150 pekerja. Kebakaran yang diyakini bermula dari korselt ini dianggap paling mematikan dalam sejarah Bangladesh. April tahun berikutnya, setidaknya 1.136 orang tewas dan ratusan cedera saat gedung berlantai delapan di kompleks pabrik tekstil runtuh.
Gedung Rana Plaza merupakan kompleks pabrik, bank, apartemen, dan toko. Sehari sebelumnya, sejumlah toko dan bank telah diliburkan begitu diketahui terdapat retakan pada bangunan. Namun, pemilik gedung menghiraukan peringatan dan pabrik tetap buka. Rontoknya gedung Rana Plaza ketika para buruh mulai bekerja pada pagi harinya membuat tragedi ini menjadi kecelakaan industri terburuk di Bangladesh. Pengadilan Bangladesh memastikan 38 orang terlibat dalam tragedi ini dan mendakwa mereka dengan pasal pembunuhan.
Keamanan Kerja dan Upah Murah
Ada hubungan positif antara kondisi kerja yang tidak manusiawi, rawan kecelakaan kerja, dengan bisnis-bisnis fashion dunia yang berlomba-lomba mencari pabrik dengan upah buruh termurah—mereka menemukan itu di Bangladesh. Kejadian di Rana Plaza memaksa bisnis fashion global untuk meninjau ulang kerjasama mereka dengan pabrik-pabrik di Bangladesh.
Menurut sensus 2010, penduduk Bangladesh berjumlah 161 juta jiwa. Tiga juta di antaranya bekerja di industri tekstil. Menurut data dari International Trade Centre, pada 2013 ekspor keseluruhan komoditas dari Bangladesh bernilai hampir $31 miliar. Sembilan puluh persen dari jumlah itu ($28 miliar) berasal dari sektor pakaian. Banyak dari merek-merek besar dunia—H&M, Walmart, Benneton, Mango, Primark, Gap, diproduksi di ribuan pabrik tekstil negeri ini.
Kompleks Multifabs yang terbakar selasa lalu menghasilkan 100.000 potong pakaian per hari, mempekerjakan 6.000 orang dan meraup pendapatan per bulan sekitar $6 juta.
The Guardian melaporkan, nyaris 75 persen dari 3.508 pabrik yang memproduksi pakaian ekspor telah melakukan uji kebakaran dan keselamatan. Tiga puluh lima pabrik sisanya tutup karena tak mampu memenuhi standar.
Namun kesejahteraan pekerja tidak berubah. “Pabrik-pabrik ini memasang target produksi yang tinggi. Jika buruh tak bisa memenuhi target, mereka harus lembur tanpa uang lembur. Mereka tidak diizinkan ke toilet atau sekadar minum, dan akhirnya sakit. Buruh mendapat upah minimum sesuai regulasi, namun bukan upah layak,” ujar Nazma Akter, bekas buruh anak yang pernah bekerja di pabrik tekstil, kepada South China Morning Post.
Mengutip hasil survei dari Marks & Spencer yang diadakan pada musim panas 2015, South China Morning Post melaporkan pekerja tekstil di Bangladesh menerima gaji bulanan rata-rata 6.500 taka (Rp1.072.191,13). Ditambah upah lembur selama dua jam, mereka mendapat dan gaji rumah rata-rata mereka, termasuk rata-rata dua jam sehari lembur, adalah 8.000 taka (Rp1.319.619,85). Namun, ongkos kebutuhan per bulan untuk bisa menghidupi keluarga sebesar 15 ribu taka (Rp2.474.287,22), atau dua kali upah normal.
Kampanye Mengakhiri Horor Industri Tekstil
Akibat kampanye serikat buruh dan organisasi kemanusiaan, perusahaan-perusahaan asing yang mengontrak pabrik di Bangladesh ditekan untuk terlibat dalam upaya memperbaiki standar keselamatan kerja.
Dilansir dari situsweb Quartz, dua konsorsium masing-masing dibentuk di Amerika Serikat dan Eropa pada Juli 2013, menyusul tragedi Rana Plaza. Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam melihat upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki standar keselamatan kerja di industri tekstil Bangladesh. Konsorsium Amerika, yang beranggotakan 17 perusahaan pakaian (termasuk Walmart, JC Penney, GAP), merupakan reaksi terhadap konsorsium yang didominasi Eropa dan beranggotakan perusahaan-perusahaan seperti Inditex, H&M, Tesco, dan beberapa perusahaan AS).
Berikut perbedaan di antara keduanya. Menurut konsorsium AS, kerja-kerja di lapangan akan dilakukan oleh LSM Bangladesh, sementara dalam kesepakatan Eropa, ILO (International Labour Union), Clean Clotes Campaign, dan Workers' Rights Consortium akan membantu implementasi di lapangan, didukung oleh dewan penasihat yang terdiri atas pemerintah Bangladesh, perwakilan supplier setempat mulai dari supplier, serikat buruh, dan LSM.
Konsorsium AS menghendaki 10 persen anggaran yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan anggota dialokasikan untuk membantu buruh yang pabriknya ditutup dengan alasan keamanan. Adapun konsorsium Eropa menuntut agar pabrik wajib menanggung gaji pekerja selama 6 bulan setelah penutupan pabrik.
Konsorsium AS dikritik karena menghasilkan kesepakatan yang tidak mengikat. Konsorsium AS mengkritik konsorsium Eropa karena menghasilkan kesepakatan yang dianggap memberikan kontrol terlalu banyak untuk serikat buruh dan merugikan perusahaan.
Di antara kedua belah pihak, konsorsium Eropa dianggap paling mengakomodir tuntutan kampanye-kampanye serikat buruh di kawasan Uni Eropa, Amerika Utara, serta serikat-serikat buruh di Bangladesh.
Kerja-kerja konsorsium ini ditargetkan selesai bekerja pada 2018.
Memberikan ruang gerak bagi serikat buruh bukannya tanpa persoalan teknis, yakni sedikitnya jumlah buruh yang berserikat. Hal ini menyebabkan perjuangan hak-hak buruh tekstil jalan di tempat, kendati sejumlah tuntutan seperti keselamatan kerja dan kontrol terhadap kondisi pabrik mulai dipenuhi. Pada akhir tahun 2012, terdapat 122 serikat pekerja di industri garmen Bangladesh, tutur Srinivas Reddy, Direktur ILO cabang Bangladesh menuturkan kepada the Guardian. Jumlah ini baru mewakili kurang dari 3% pekerja di sektor tekstil. Namun demikian, jumlah ini meningkat lebih dari 20 persen setelah tragedi Rana Plaza. Pemerintah pun membuat regulasi yang memudahkan buruh untuk mendaftar serikat.
Diaporkan pula bahwa inisiatif pasca-Rana Plaza belum menyentuh 40% pabrik.
"Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Ada banyak komitmen yang dibuat oleh perusahaan, pengecer, dan pemangku kepentingan nasional yang masih harus dipenuhi,” ujar Reddy.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti