tirto.id - Kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat sungguh fenomena yang istimewa. Setidaknya ada tiga hal penting yang membuat kemenangan Trump menjadi istimewa.
Pertama, isu-isu yang diangkat Trump dalam kampanyenya sangat beraroma SARA dan diskriminatif. Kedua, dalam tiga kali debat calon presiden, Trump yang berlatar belakang pengusaha ternyata dijungkirbalikan oleh kepiawaian Clinton dalam berdebat. Ketiga, kemenangan Donald Trump langsung disambut oleh histeria massa dalam bentuk aksi unjuk rasa spontan melibatkan ribuan massa yang dengan cepat menyebar ke banyak negara bagian.
Dalam hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu hal yang menjadi pendorong terjadinya aksi unjuk rasa besar-besaran penolakan terhadap Trump tidak hanya disebabkan isu-isu SARA dan diskriminasi yang dikampanyekan Trump. Aksi itu dipengaruhi oleh frustasi sosial akibat tidak kunjung membaiknya kondisi ekonomi Amerika Serikat.
Proses demokrasi yang sudah demikian terlembaga ternyata tidak cukup. Kaum terdidik Amerika bisa berubah dan terpengaruh oleh kampanye Trump yang penuh retorika SARA. Sementara kaum terdidik di kubu Hilary, tiba-tiba berubah menjadi begitu emosional menyikapi terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden. Kongres yang memainkan fungsi legislasi sebagai saluran aspirasi rakyat seketika langsung dianggap gagal bahkan sebelum Trump resmi menjalankan tugas kepresidenannya.
Berbeda dengan di Indonesia. Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan cara yang relatif terkendali. Kendati diwarnai kekecawaan di sana-sini dari para pendukung Prabowo dan Hatta Rajasa, tetapi tidak sampai muncul menjadi gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran seperti yang terjadi pada Trump di Amerika saat ini.
Kebalikannya dari Trump yang rasialis dan diskriminatif, Jokowi jutru menunjukkan sikap yang tidak rasialis dan diskriminatif. Dukungan yang diberikan Jokowi agar Megawati juga mencalonkan Ahok untuk menjadi calon gubernur Jakarta dari PDIP memperlihatkan sikap politik yang tidak rasis dan diskriminatif.
Di sisi lain, reaksi keras penolakan terhadap Ahok untuk menjadi Gubernur Jakarta justru muncul dari sejumlah masyarakat yang dipimpin oleh Rizieq Shihab selaku Imam Besar Front Pembela Islam (FPI). Penolakan yang dilakukan sudah terjadi jauh sebelum adanya tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok terkait Surat Al-Maidah ayat 51.
Pada konteks itu tentu semua sepakat bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat matematis meskipun angka perolehan suara tetaplah dihitung secara matematis demikian pula survey yang seringkali dilakukan sebelum proses pemilihan dilakukan. Lepas dari itu semua, baik Indonesia dan Amerika Serikat saat ini sedang menghadapi situasi yang sama. Presiden kedua negara sedang menghadapi reaksi keras penolakan dalam bentuk gerakan ekstra parlementer yang melibatkan massa dalam jumlah besar.
Dari fenomena yang terjadi di kedua negara tersebut, rasanya perlu untuk sejenak mengambil jarak agar bisa memperoleh cakrawala pandang yang lebih luas dalam memotret demokrasi sebagai sistem politik. Tidak sedikit para filsuf dan negarawan yang sudah menengarai bahwa sejak awal kelahirannya, sistem demokrasi sejatinya memiliki cacat bawaan.
Benjamin Franklin dengan satire mengatakan, “Democracy is two wolves and a lamb voting on what to have for lunch….” John Adams, yang sebelum menjadi Presiden Amerika Serikat sempat menjadi Wakil Presiden-nya George Washington, secara terang benderang bahkan mengatakan, “Remember, democracy never lasts long. It soon wastes, exhausts, and murders itself. There never was a democracy yet that did not commit suicide.”
Thomas Jefferson juga berkata hal yang kurang lebih sama, “A democracy is nothing more than mob rule, where fifty-one percent of the people may take away the rights of the other forty-nine.” Pernyataan Jefferson ini yang kemudian melahirkan istilah mobocracy sebagai cemoohan terhadap demokrasi.
Di jajaran para filsuf ada beberapa nama antara lain Bertrand Russel yang secara verbal bahkan vulgar mengatakan, “Democracy; the fools have a right to vote. Dictatorship; the fools have a right to rule.” Aristoteles menyatakannya dengan padat dan singkat, “Democracy is the same tyranny, shared among many people.” Apa yang disampaikan Aristoteles hanya menguatkan apa yang sudah disampaikan gurunya, Plato, bahwa, “Democracy naturally arises out of democracy, and the most aggravated form of tyranny and slavery out of the most extreme liberty.”
Tentu semua pernyataan di atas bukanlah pernyataan anak kemarin sore, melainkan pernyataan-pernyataan yang sudah seringkali dikutip dan berserak di berbagai buku-buku ataupun jurnal-jurnal ilmiah yang membahas demokrasi. Bagi Amerika Serikat, tentu demokrasi adalah sesuatu yang given dan sudah menjadi DNA politik yang memang terlahir dari rahim demokrasi sebagai antitesis sistem monarki Inggris yang diperanginya.
Tetapi bagi Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara, tentu tidak sesederhana itu. Indonesia punya pilihan lain yaitu Pancasila yang memang digali dan disarikan dari nilai-nilai asli yang sudah ada di bumi Nusantara sejak lama.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.