tirto.id - Hingga pekan ke-24 kompetisi ISC A 2016, nama-nama asing masih mendominasi jajaran top skor sementara. Tak tanggung-tanggung, 7 posisi paling atas dalam daftar pencetak gol terbanyak ISC 2016 dikuasai oleh para striker impor. Ada apa dengan penyerang lokal?
Bomber Semen Padang asal Brazil, Marcel Sacramento, menempati posisi teratas dengan 16 gol. Berikutnya ada Pablo Rodriguez (Madura United/Spanyol) dan Alberto Goncalves (Sriwijaya FC/Brazil) yang sama-sama mengumpulkan 14 gol.
Urutan ke-4 ditempati oleh Luis Carlos Junior (Barito Putera/Brazil) dengan raihan 13 gol, diikuti Shohei Matsunaga (Persiba Balikpapan/Jepang) dengan 12 gol, serta duo Brazil Marlon Da Silva (Mitra Kukar) dan Thiago Furtuoso (Bhayangkara FC) dengan masing-masing 11 gol.
Baru kemudian ada Boaz Solossa (Persipura Jayapura) di posisi ke-8 yang ditempel ketat oleh pesepakbola “setengah” nasional, Cristian Gonzales (Arema Cronus), di urutan ke-9, keduanya juga membukukan 11 gol. Melengkapi jajaran 10 besar dalam daftar top skor sementara ISC 2016, tercantum nama Ferdinand Sinaga (PSM Makassar) dengan 10 gol.
Masalah Klasik Sepakbola Indonesia
Kurangnya striker yang benar-benar bisa diandalkan, terutama yang berposisi sebagai target man alias bomber utama sebenarnya sudah menjadi masalah klasik sepakbola Indonesia, utamanya setelah era Bambang Pamungkas (Bepe). Beruntung saat ini masih ada Boaz Solossa meskipun posisi asli bintang Papua ini bukan penyerang murni.
Sejak pertama kali Liga Indonesia digulirkan pada 1994 –dengan peleburan Perserikatan dan Galatama– hingga saat ini, hanya ada 4 nama lokal –bukan pemain naturalisasi– yang pernah meraih gelar top skor, yaitu Peri Sandria, Bambang Pamungkas, Ilham Jaya Kesuma, dan Boaz Solossa. Selebihnya adalah striker asing dan satu pemain naturalisasi, yakni Cristian Gonzales.
Kurniawan Dwi Yulianto, salah satu penyerang andal yang pernah dimiliki Indonesia, menyoroti kondisi ini. Menurutnya, ada dua penyebab utama terkait minimnya striker lokal yang mumpuni, yaitu faktor pembinaan pemain usia dini dan persaingan dengan pemain asing.
Mantan pesepakbola yang telah membukukan 202 gol di sepanjang karier profesionalnya, baik bersama klub maupun tim nasional, ini menyebut tidak adanya kompetisi kelompok umur berjenjang yang rutin digelar setiap tahun oleh PSSI menjadi faktor utama mengapa kini Indonesia kekurangan pemain depan yang benar-benar berkualitas.
Kurniawan juga menilai banyaknya pemain asing juga turut berpengaruh. Klub-klub profesional di tanah air kini lebih sering memakai satu penyerang sebagai ujung tombak. Jika posisi itu diberikan kepada striker asing, tentunya kesempatan penyerang lokal untuk unjuk gigi menjadi sangat terbatas.
Dari 18 peserta ISC A 2016, hanya ada satu klub yang mempercayakan posisi penyerang utama secara reguler kepada striker lokal belia, yaitu Persela Lamongan. Adalah Dendi Sulistyawan, penyerang berusia 20 tahun yang hingga saat ini masih menjadi andalan di lini depan Laskar Joko Tingkir.
LabBola mencatat, Dendi Sulistyawan telah bermain sebanyak 23 kali di ISC A 2016 bersama Persela Lamongan dengan torehan 6 gol dan 3 assist. Meskipun begitu, akurasi tembakannya ternyata belum optimal, yakni hanya 57 persen.
Garuda Krisis Striker Muda
Sebenarnya, Indonesia pernah dan masih punya cukup banyak striker muda potensial. Namun, seperti kata Kurniawan, banyak di antara mereka yang tidak memperoleh kepercayaan di klub masing-masing sehingga bakatnya pun tersia-siakan.
Sebutlah beberapa nama yang sempat digadang-gadang bakal menjadi striker masa depan Timnas Indonesia, dari masa Yongki Aribowo, kemudian berlanjut pada Syamsir Alam, Yandi Sofyan, dan seterusnya. Bukan tidak mungkin generasi selanjutnya pun akan mengalami nasib serupa.
Itu bisa saja terjadi pada Muchlis Hadi Ning Saefulloh, striker utama Timnas U-19 yang turut meraih gelar juara AFF Cup U-19 2013 di era pelatih Indra Sjafri. Pemuda 19 tahun milik PSM Makassar ini memang sudah tampil 17 kali di ISC A 2016, tapi lebih sering jadi pemain pengganti. Baru 2 gol yang dicetaknya dengan akurasi tembakan yang hanya 45 persen.
Minimnya striker lokal muda berbakat tentunya berpengaruh terhadap tim nasional. Asisten Pelatih Timnas Indonesia, Wolfgang Pikal, mengakui hal tersebut. Padahal, tim Merah Putih membutuhkan sosok penyerang muda untuk tampil di Piala AFF 2016 mendatang.
“Kita sangat kekurangan striker muda yang memiliki kualitas di atas rata-rata, tidak ada satu pun penyerang belia yang masuk daftar atas pencetak gol terbanyak di ISC A 2016,” ungkap Wolfgang Pikal kepada media.
Ujung paruh tim Garuda saat ini diserahkan kepada Boaz Solossa (30 tahun) dengan dukungan Zulham Zamrun (28 tahun), Irfan Bachdim (28 tahun), dan Andik Vermansyah (24 tahun). Yang menjadi persoalan, keempat pemain ini bukanlah striker murni.
Skuad Alfred Riedl saat ini hanya punya satu tipikal pemain yang dimaksud, yaitu Lerby Eliandry (24 tahun) sebagai pelapis Boaz Solossa. Namun, penyerang milik Pusamania Borneo FC ini juga belum benar-benar teruji keampuhannya karena di klubnya pun ia harus berebut tempat dengan striker asing asal Paraguay, Pedro Javier Velazquez.
Apabila situasi ini tidak segera ditemukan solusinya, terutama terkait pembinaan pemain muda yang serius, terencana, dan berjenjang, bukan tidak mungkin Timnas Indonesia akan mengalami darurat striker lokal untuk tahun-tahun ke depan.
Pernah punya deretan bomber ganas macam Soetjipto Soentoro, Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, Rochy Putiray, Widodo C. Putro, hingga Boaz Solossa saja Indonesia masih sulit bersaing di kancah sepakbola internasional, apa yang akan terjadi jika tidak ada penerus yang setidaknya selevel dengan mereka nantinya?
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti