tirto.id - Belakangan meme tentang absennya Agus Harimurti Yudhoyono dalam dua acara debat calon gubernur DKI Jakarta di televisi berseliweran di media sosial. Ada yang pro dan banyak yang kontra. Yang pro merasa senang karena kandidat unggulannya, seperti kata Agus sendiri, “lebih senang bersama rakyat, ketimbang ikut debat yang bukan debat resmi”. Sementara yang kontra menyayangkan sikap Agus karena dianggap membuang kesempatan mengenalkan diri lebih kerap dalam siaran terbuka secara cuma-cuma.
Pro-kontra tentang debat calon pemimpin yang menolak hadir sudah ada presedennya bahkan sejak kali pertama dikenalkan di Indonesia. Pada medio 1999, Megawati Sukarnoputri menolak datang ke sebuah acara debat. Sebagaimana Agus, Megawati kena sindiran meski hiruk-pikuknya masih dalam medium terbatas, tidak segaduh seperti sekarang.
Tabloid Perspektif edisi 29 April-5 Mei 1999, misalnya, menggambarkan kekecewaan Vijaya Fitriyasa, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB yang jadi penyelenggara acara tersebut. Forum yang semula berbentuk debat antara kandidat calon presiden berubah cuma ajang dengar pendapat serupa acara bincang-bincang biasa di televisi. Alasannya, kata Vijaya, karena ketidakhadiran Mega.
Forum yang diadakan 22-23 April 1999 itu hanya dihadiri Amien Rais dari Partai Amanat Nasional, Ahmad Sumargono dari Partai Bulan Bintang, Didin Hafidhuddin dari Partai Keadilan, Sri Bintang Pamungkas dari Partai Uni Demokrasi Indonesia, Ida Nasim dari Partai Rakyat Demokratik, dan Deliar Noer dari Partai Ummat Islam. Padahal tujuan panitia mengadakan acara itu sebagai panggung masyarakat menilai calon pemimpinnya. Paparan misi dan umbaran wawasan sang kandidat dinilai penting dalam pemilu demokratis pertama yang diselenggarakan Indonesia setelah pemilu 1955.
Sayangnya, Mega yang “dianggap calon pemimpin setara dan ditunggu-tunggu khalayaknya” dan “penampilannya ditunggu banyak pihak” enggan hadir karena alasan debat bukanlah budaya timur. Vijaya, merujuk laporan Tabloid Perspektif, sempat uring-uringan dan karena merasa tak puas, dia berjanji mengadakan debat seri kedua pada bulan berikutnya.
“Dijamin lebih seru,” kata Vijaya, yang sempat jadi calon legislatif dari PAN dalam Pemilu 2004.
Cuma selang empat hari, Forum Salemba (Forsal) dari Universitas Indonesia merancang acara serupa. Kali ini terang-terangan mengusung format debat Capres. Ada tujuh kandidat yang diundang. Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Didin Hafidhuddin, Yusril Ihza Mahendra, Budiman Sudjatmiko, Akbar Tanjung, dan Megawati Soekarnoputri.
Sikap Megawati masih sama. Ia tak hadir.
Berlian Idriansyah, Presidium Forsal yang juga Mahasiswa Kedokteran UI 1995, pun geram atas kelakuan Megawati. Pada Tabloid Perspektif, dia berujar, “Saya mendengar beberapa kandidat yang tak datang menganggap Forsal kurang kompeten dalam menyelenggarakan acara debat ini.”
Selain Megawati, Akbar Tanjung juga tak bisa hadir karena turut menemani Presiden B.J. Habibie bertemu Perdana Menteri Australia John Howard di Bali. Sementara Budiman Sudjatmiko tidak datang karena tak diberi izin keluar dari Lapas Cipinang oleh Menteri Kehakiman. Budiman saat itu masih mendekam di dalam penjara.
'Debat Kampungan' Yusril-Amien
Ketidakhadiran sejumlah nama bikin eksistensi debat capres pertama itu kontroversial. Tapi, isi debatnya sendiri juga tak kalah kontroversial.
Yusril Ihza Mahendra dan Amien Rais jadi bintangnya hari itu. Sayangnya bukan karena kualitas debat yang mereka tunjukan. Malah karena tingkah kekanak-kanakan keduanya.
Sulangkang Suwalu, nama pena pejuang kemerdekaan almarhum Hasan Raid, menggambarkan debat itu sebagai "debat kampungan" karena gairah mereka untuk “menjadi presiden tampak menggebu-gebu, tapi sayang tak seimbang dengan materi yang disajikan, sehingga akhirnya (debat) ini memalukan.” Tokoh Partai Komunis Indonesia yang dikenal sebagai Muslim Komunis ini menuliskan analisisnya dalam tulisan berjudul "Tetap Seperti Beli Kucing dalam Karung".
Saat memasuki sesi debat, Yusril memang langsung memanfaatkannya untuk monohok Amien dan menudingnya sebagai politikus tak paham sejarah hukum tata negara Indonesia. Ini terkait pernyataan Sekretaris Jenderal PAN Faisal Basri yang menganggap kabinet B.J. Habibie perlu didemisionerkan.
“Kalau pemerintah didemisionerkan, Pemilu tidak bisa terlaksana, karena yang berhak melaksanakan Pemilu adalah presiden. Bagaimana logikanya ini?”
Yusril yang memang pakar hukum tata negara benar. Aturan konstitusi Indonesia saat itu memang masih memerlukan otoritas presiden untuk menggelar pemilu.
Sadar kalau lawannya gampang emosional, Amien Rais mengolok-olok Yusril lebih dulu sebelum menjawab, “Saya kira pertanyaannya berat, tapi ternyata enteng sekali.” Amien tersenyum lalu menambahkan, “Itu bukan pernyataan resmi yang keluar dari PAN. Itu hanya pernyataan rasa frustrasi yang keluar dari mulut Sekjen saya. Tapi gampangnya adalah diubah saja peraturannya.”
Sulangkang Suwalu mengkaji jawaban Amien menunjukkan sikap aslinya yang ingin segera mencapai kekuasaan. Lagi pula jawaban Amien mencerminkan sikap menduanya terhadap pernyataan Basri. Membenarkan sekaligus menyalahkan.
Lagi, jawaban Amien disambar Yusril untuk menjatuhkan lawannya. “Bagaimana saudara ini? Sebagai calon presiden, sejarah ketatanegaraan kita saja tidak tahu!”
Amien terpantik dan membalas, “Wah, suhunya mulai arogan. Yusril ini sebenarnya adik saya jauh, bahkan saya tahu Yusril ngomong bahasa Inggris saja belum lancar.”
Perdebatan kemudian berlanjut jadi aksi saling tuding siapa lebih arogan dari siapa, seperti dikabarkan Tabloid Perspektif.
Minim Substansi
Selain gaduh Yusril-Amien yang berujung jadi masalah personal, debat capres Indonesia pertama itu memang tak menghasilkan apa-apa. Kandidat lain pun tak terlalu menonjol dengan program yang dicanangkannya sebagai capres.
Sri Bintang Pamungkas, yang belakangan kembali tenar karena ditangkap Polri atas tuduhan makar, hanya fokus membahas kebobrokan Soeharto di Orde Baru. Ia terus mengulang-ulang konsep tujuh pilar perjuangan partainya. Sementara Didin Hafidhudin dari Partai Keadilan—sebelum berubah jadi PKS pada pemilu 2004—tidak terlalu menonjol dan cenderung diam-diam saja di tengah perdebatan panas Yusril-Amien.
Dalam tulisannya, Suwalu menekankan kalau acara itu lebih mirip talkshow ketimbang debat antara kandidat presiden. “Tak ada perbedaan mendasar pada platform Indonesia baru yang ditawarkan para capres,” tulisnya.
Namun, tanpa sorot lampu studio televisi yang tajam, dan hanya dihiasi spanduk hitam-putih ukuran sekitar 3,5 x 1 meter, debat itu bolehlah tetap dikenang sebagai cetak biru debat-debat calon pemimpin berikutnya yang dihadirkan di negeri ini.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam