Menuju konten utama

Dari Dota ke Mobile Legend: Melihat Impian Atlet Gim Profesional

Impian menjadi atlet gim profesional melalui gim komputer sempat digemari sebelum adanya Mobile Legends.

Dari Dota ke Mobile Legend: Melihat Impian Atlet Gim Profesional
Ilustrasi atlet gim profesional. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebelum esports populer seperti sekarang, Indonesia pernah punya satu tim kelas dunia. Tim itu disebut XcN atau eXeCutioNer. Gim yang didominasi oleh XcN adalah Defense of the Ancient (Dota) versi pertama atau sering disebut Dota 1, sebuah gim yang diproduksi oleh perusahaan software: Valve.

Di Asia, mengesampingkan Cina, XcN merupakan saingan berat bagi tim esports lain untuk menjadi nomor wahid. Sedangkan di Indonesia, tim manapun yang berhadapan dengan XcN harus siap-siap angkat koper.

Pencapaian tertinggi tim yang digawangi oleh Ritter ‘Ritter’ Rusli, Romi ‘Melen’ Gunawan, Jefri ‘Stam-X’ Suwiryo, Ariyanto ‘Lakuci’ Sony, Farrand ‘Koala’ Kowara, dan Sugiarto ‘Bahamut’ Cahyadi berhasil memenangkan turnamen 'Asia Dota Championship' tahun 2007 dengan hadiah 1.200 USD atau sekitar Rp 10.800.000.

Berbeda dengan level Asia, di Indonesia XcN tidak punya lawan sepadan. Sepanjang 2006-2009 mereka memenangkan 35 kejuaraan di seantero Pulau Jawa. Ada puluhan kejuaraan lainnya di mana XcN berada di posisi runner-up atau ketiga. Total turnamen yang diikuti XcN sekitar 62 kejuaraan dengan kisarah hadiah yang beragam. Selain itu, Ritter cs juga mendapat gaji bulanan 150 USD setiap bulan atau sekitar Rp 1,5 juta.

Memasuki tahun 2009, Ritter yang juga kapten tim memutuskan pensiun, setelah sempat berganti tim dari XcN ke Fnatic. Hal tersebut ia lakukan karena pemain gim bukanlah profesi yang menjanjikan di Indonesia saat itu. Berbekal gelar sarjana dari Universitas Tarumanegara dan penghasilannya dari bermain gim, Ritter kemudian mendirikan sebuah kafe internet di Jakarta Barat.

Namanya: Ritter Cyber Cafe.

Terganjal Banyak Masalah

Ritter dan kawan-kawan sebetulnya bisa menjadi lebih kaya lagi bila tidak ada aturan yang membedakan pemain pro dengan pemula. Pasalnya, karena hal tersebut terkadang mereka tidak boleh ikut kejuaraan di Indonesia.

“Ibaratnya, kalau kami ikut, pasti kami yang menang,” kata Ritter seperti dilansir Tempo.

Ritter selalu serius dalam menggeluti gim yang digemarinya. Setiap malam dia pergi latihan ke gedung Midplaza di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Lalu sebelum pukul enam pagi, dia sudah kembali ke rumahnya di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saat itu kantor Biznet yang berlokasi di Sudirman mempunyai jaringan internet yang cepat untuk menunjang latihan Ritter dan kawan-kawannya.

Lakuci, salah satu rekam tim Ritter, menyebut mereka latihan selama lima jam sepanjang lima tahun. Tapi, tentunya, porsi latihan sebanyak itu tidak otomatis membuat mereka mampu bersaing dengan pemain-pemain dunia.

Setelah Valve mengembangkan gim Dota 1 menjadi Dota 2, situasinya berubah. Ritter dan yang lain sudah pensiun dan hanya menyisakan Lakuci serta Koala. Dua orang itu juga tidak berhasil masuk dalam jajaran pemain dunia atau bahkan level Asia Tenggara. Dalam turnamen 'The International 2011 Dota 2', Lakuci dan Koala tidak ikut serta. Lakuci, Koala, dan Ritter sempat kembali pada 2014, tapi karier mereka juga tidak secemerlang itu di tim Rex Regum Qeon.

Keputusan pensiun Ritter saat itu bisa jadi adalah salah satu kesalahan besar dalam karier gimnya.

“Dulu aku tidak melihat masa depan yang menjanjikan dalam kompetisi gim di Indonesia. Menjadi pemain gim professional di Indonesia sangat sulit. Hadiahnya terlalu kecil dan menafkahi hidup sehari-hari dari sana tentu sulit. Pemain gim professional lebih seperti hobi yang membanggakan daripada pekerjaan,” kata Ritter seperti diwartakan Gosugamers.

Koala juga demikian. Ketika diboyong Fnatic dan bermain bersama Ritter-Lakuci tahun 2008, dia mempunyai masa keemasan. Dalam salah satu kompetisi 'Make Game Colorful 2008', Fnatic harus bertemu dengan atlet Singapura, Daryl ‘iceiceice’ Koh, dan atlet Estonia, Clement ‘Puppey’ Ivanov. Sampai sekarang, dua nama itu adalah dua pemain tangguh yang menjadi langganan kompetisi Dota2. Namun, kala itu Fnatic berhasil membantai dua tim yang diperkuat pemain tersebut.

Jika sudah memiliki level semacam itu, lantas apa masalah Koala sehingga tidak melanjutkan karier gimnya?

“Keluargaku tidak memberi dukungan untuk menjadi pemain gim professional. Aku bahkan diusir dari keluarga dan harus tinggal di warnet. Meski mendapat gaji, keluargaku melihat aku tidak bekerja sama sekali. Sampai sekarang, aku terus berusaha membuktikan menjadi pemain gim professional adalah salah satu karier yang bagus,” kata Koala dilansir Mineski pada 2017 lalu.

Berkaca dari Korea Selatan, AS, dan Cina

Sayangnya, di Indonesia, bukan hanya orangtua Koala yang melihat gim sebagai hobi dan perbuatan main-main belaka. Pemerintah dan swasta pun dulunya berpikir demikian.

Hal tersebut berbeda jauh dengan Korea Selatan yang sejak tahun 2000 telah mendirikan Korea e-Sport Association (KeSPA) demi membuat olahraga elektronik menjadi ajang yang serius. Setelah ada atlet esports Korsel yang unggul dalam gim Starcraft II, salah satu kampus, Universitas Chung-Ang, juga segera menerima calon mahasiswa yang mau belajar gim dengan lebih serius di jurusan sport science.

Amerika Serikat pun tak mau kalah. Berbagai perguruan tinggi di sana membuka beasiswa bagi mereka yang punya kemampuan untuk menjadi atlet gim professional. Universitas Robert Morris, misalnya, menjadi pihak pertama membuka kesempatan itu di tahun 2014. Lima tahun kemudian, ada 15 perguruan tinggi di 10 negara bagian Amerika. Kini, tercatat lebih dari 82 juta warga AS yang gemar bermain gim di komputer mereka.

Pada tahun 2012, KeSPA turut menjalin kerjasama dengan Major League Gaming (MLG), penyelenggara liga gim Amerika, agar atletnya bisa berkompetisi di AS.

Cina juga termasuk negara yang serius memfasilitasi warga negaranya untuk berkecimpung dalam dunia gim. Hal itu tampak dari bagaimana mereka menyediakan tempat khusus yang mereka sebut bootcamp agar para pemain dapat berlatih dengan bebas. Sekarang, lebih dari 500 juta warga Cina telah menggeluti gim dengan serius.

Industri olahraga elektronik di Cina bernilai sekitar 14 miliar dolar USD. Agar bisa bertahan menghadapi persaingan ketat, para atlet muda Cina dituntut untuk berlatih amat keras. Bukan hanya 8 jam, tapi 14 jam per hari selama satu minggu.

Indonesia, selain dunia Dota, juga sempat punya kebanggaan di permainan Counter Strike dari tahun 2002-2007. Sayangnya kala itu belum banyak sponsor ataupun regulasi yang bisa membantu perkembangan pemain.

Baru di tahun 2014 Indonesia membentuk Indonesia e-Sports Association (IESPA).

Infografik MLBB

Infografik Mobile Legends. tirto.id/Quita

Berharap pada Mobile Legend

Talenta muda dari Indonesia sebenarnya cukup banyak sejak ada IESPA didirikan. Kenny ‘XepheR’ Deo atau Muhammad ‘InYourDream’ Rizky yang terus bergelut di Dota 2, adalah beberapa di antaranya.

XepheR sebagai pemain Dota 2 paling sukses dari Indonesia sekarang berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 806 juta selama lima tahun berkarier di kancah professional. Ada juga Hansel ‘BnTeT’ Ferdinand yang handal di CS:GO dengan penghasilan sekitar Rp 2 miliar selama tujuh tahun bermain.

Namun, secara statistik jumlah pemain, kesuksesan dua orang ini hanya 1 banding 646 ribu pemain Dota 2 di Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan perolehan uang juara atlet esports dari negara lain, apa yang dicapai oleh XepheR, BnTeT, dan InYourDream jelas belum apa-apa. Atlet gim terkaya di dunia adalah Johan ‘N0tail’ Sundstein dengan penghasilan sekitar Rp 96 miliar dari permainan Dota 2.

Sejak ramai gim Mobile Legends, jumlah pemain gim komputer juga mengalami kemerosotan. Berdasarkan data dari Steam Charts yang dirilisggwp.idpada Oktober 2019, jumlah rata-rata pemain Dota 2 sepanjang bulan tersebut mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir. Sejak awal 2014, Dota 2 memiliki rata-rata pemain bulanan sebesar 400.000 setiap bulannya. Terakhir kali Dota 2 memiliki rata-rata jumlah pemain di bawah angka tersebut adalah pada Januari 2014: 393.860 pemain.

Beberapa atlet Dota 2 kemudian banting setir ke dunia Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) dan Players Unknown BattleGround (PUBG) Mobile, seperti Lakuci yang menjadi pelatih tim MegaKiss, Rivaldi ‘R7’ Fatah, dan Rusman ‘Rusman’ Hadi yang awalnya bermain untuk tim RRQ Dota 2 menuju tim RRQ MLBB. Padahal Rusman berhasil mendapatkan uang sekitar Rp 56 juta dari bermain Dota 2.

Kini, dengan banyaknya peminat MLBB di Indonesia yang mencapai 31 juta orang seturut data Moonton, penghasilan per bulan para pemain profesional MLBB mencapai Rp 200 sampai Rp 300 juta. Bagi gamers yang juga aktif di media sosial seperti ‘Jess No Limit’ Justin, misalkan, bahkan bisa mendapat penghasilan yang berkali-kali lipat.

Berdasarkan hitungan dari Social Blade, pendapatan Jess No Limit per bulannya mencapai Rp 2 miliar.

Baca juga artikel terkait GIM atau tulisan lainnya

tirto.id - Olahraga
Reporter: Felix Nathaniel
Editor: Eddward S Kennedy