tirto.id - Engel Tanzil, pemilik Dia.Lo.Gue Artspace, galeri seni di kawasan Kemang, Jakarta Selatan sempat berpikir tentang seniman-seniman perempuan di Indonesia. Dia.Lo.Gue sendiri belum pernah memamerkan karya kolektif dari seniman wanita.
“Saya rasa jarang ada ruang untuk seniman wanita memamerkan karya-karyanya,” katanya via telepon kepada Tirto.
Setelah menyadari hal tersebut, ia berbincang dengan sang suami, Hermawan Tanzil, pemilik biro desain grafis LeBoYe. Mereka berdualah pemilik galeri Dia.Lo.Gue. Lalu, mereka memutuskan untuk mengadakan pameran seni karya perupa wanita. Seniman yang dicari ialah seniman baru dan tidak harus punya latar belakang seni rupa.
“Saya cari dari kalangan milenial dengan karakter yang berbeda satu sama lain.” Engel terpikir akan sosok Ines Katamso, seorang ilustrator dan desainer produk. Ines berdomisili di Bali dan memiliki lini sepatu Seni.K.
Sejak 2012, ia mengerjakan sejumlah karya mural di Bali dan Jakarta. Di Jakarta, karya Ines bisa dilihat di dinding restoran Super Loco. Beberapa tahun terakhir ia ikut serta dalam pameran desain seperti Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) dan CASA. Di kedua pameran tersebut Ines membuat instalasi yang berasal dari kertas dan benang.
“Saya melihat Ines punya kapabilitas untuk melakukan hal besar lain di samping apa yang telah ia lakukan sekarang. Kami menantangnya untuk membuat lukisan,” kata Engel.
Dalam kurun waktu empat bulan, Ines mengerjakan tantangan itu. Ia menggambar di atas kanvas ragam bentuk lingkaran, persegi, dan bunga. Ada yang digambar menggunakan cat dan pensil.
“Saya sangat menyukai tekstur cat minyak, [juga] layering dan aromanya. Rasanya ini adalah cara tepat untuk menunjukkan perasaan saya. Lewat karya, saya berusaha untuk menyeimbangkan segala perasaan. Bagaimana tubuh dan pikiran belajar untuk menerima dan menolak emosi," tutur Ines. "Karya terbesar saya, The Big Rest, ialah representasi dari mimpi di mana perjuangan, kebahagiaan, rasa bersalah, dan kegelisahan yang terjadi bersamaan, menyatu, dan siap untuk diterima oleh diri kita."
Hasil karya Ines memenuhi satu area di dalam galeri. Kanvas-kanvas lukisan tersebut mengelilingi empat sisi dinding bercat putih di dalam ruang. Pada beberapa sudut terdapat bunga-bunga kering. Ada lukisan yang penuh dengan cat warna dan terasa utuh. Ada pula gambar yang sepintas tampak belum selesai.
“Saya adalah orang yang sangat demanding pada diri sendiri. Ketika membuat karya seni, saya merasa kesempurnaan yang saya idamkan bisa membunuh seni yang saya buat,” lanjutnya.
Engel Tanzil menangkap sikap Ines yang keras terhadap diri sendiri dalam berkarya itu. “Saya melihat ia punya passion di seni, dan ia orang yang perfeksionis,” kata Engel.
Selain Ines, ada Ykha Amelz yang dalam karyanya memuat tulisan-tulisan berisi curahan hati. Ykha adalah seorang ilustrator yang mulai berkarya sejak tahun 2008. Karya ilustrasi Ykha di antaranya tertera pada Artotel Jakarta, poster konser penyanyi Andien, merchandise grup band Rock N Roll Mafia, salah satu kampanye The Body Shop, halaman sejumlah majalah gaya hidup wanita, dan label busana DIBBA.
DIBBA adalah lini yang ia ciptakan bersama dua orang kawan. Salah satu produknya ialah busana wanita.
"Self Explanatory" ialah pameran pertama yang membuat Ykha mesti menghasilkan banyak gambar. Padahal, ia terbiasa bekerja dengan panduan. Namun, berkarya seni rupa berbeda dengan menghasilkan desain. Ketiadaan panduan membuatnya merasakan momen yang lain.
“Hal yang terbentuk ialah sebuah respons terhadap kecemasan yang saya alami di hari-hari saya. Saya menggunakan masa kecil sebagai bahasa visual utama. Juga French Bulldog sebagai karakter ikonik yang akhir-akhir ini selalu muncul di karya saya. Lukisan-lukisan itu ialah respons yang menyenangkan terhadap situasi yang saya alami serta meningkatkan saya terhadap hal-hal yang saya cintai dan hargai sejak dulu,” kata Ykha.
Karya-karya Ykha pada akhirnya mengejutkan Engel. "Selain saya, dia sendiri juga terkejut dengan hasil kerjanya. Karya-karyanya bernuansa Pop Art. Ada penggunaan warna baru dan ia bereksplorasi dengan gambar rambut,” kata Engel yang pertama kali mengenal Ykha sekitar enam tahun lalu. Mereka bertemu di acara Smart Dialogue, bazar seni yang jadi agenda rutin galeri.
Saat Tirto mengunjungi eksibisi ini, ruangan yang memuat karya Ykha tampak mencuri perhatian sejumlah tamu. Mereka bergantian berfoto di kursi yang ada di bawah kanvas bergambar Babbot, anjing piaraan ras French Bulldog.
Di sisi lain, susunan tiga pasang mata terlukis dalam karya Natisa Jones.
“Karyanya abstrak, tetapi saya melihat dia matang. Ada tokoh-tokoh yang selalu ada dalam karya,” kata Engel. Ia mulai konsisten mengeluarkan koleksi karya lukis di tahun 2010. Sebagian waktunya ia habiskan di Bali.
Sampai tulisan ini diturunkan, Tirto belum sempat berbincang dengan Natisa seputar pameran lantaran ia harus segera ke Bali dan mengerjakan beberapa hal. Di hari pembukaan pameran, Engel bersyukur bahwa yang hadir ialah para pecinta seni.
“Ada anak muda yang datang pada saya dan bertanya apakah bisa membeli karya dengan dicicil. Saya merasa cukup tersentuh. [Itu] tandanya pameran seni ini tidak hanya menjadi milik kalangan atas saja. Ia juga bisa menciptakan pasar tersendiri,” tutup Engel.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani