Menuju konten utama

Kisah A.A. Maramis dari Minahasa di Seputar Piagam Jakarta

Pengacara sejak zaman kolonial ini satu-satunya anggota dari kalangan Kristen di Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta.

Kisah A.A. Maramis dari Minahasa di Seputar Piagam Jakarta
Alexander Andries Maramis. Foto/Istimewa

tirto.id - Evert Langkai ialah salah seorang jagoan Senen asal Minahasa. Ia tak gentar terhadap orang Eropa yang serba punya keistimewaan berkat politik rasial pemerintahan kolonial Belanda. Satu kali ia pernah “mengobrak-abrik sebuah bar orang Belanda di daerah Pintu Besi. Di situ ia sendirian,” tulis Ventje Sumual dalam Ventje Sumual: Pemimpin yang Menatap Hanya ke Depan (1998).

Evert Langkai beruntung. Mr. Alexander Andries Maramis turun tangan untuk mengurusi perkaranya. Keduanya lama saling kenal. Langkai punya banyak anggota preman, kebanyakan dari Minahasa. Maramis, yang dekat dengan Ahmad Soebardjo, mengelola Asrama Indonesia Merdeka yang disponsori Laksamana Maeda dari Angkatan Laut Jepang. Tak heran jika Langkai dan para jago ikut serta dalam pengamanan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Sepanjang karier sebagai pengacara, Alex Maramis pernah buka kantor advokat di Semarang, Palembang, Teluk Betung (Lampung), dan Jakarta. Di awal pendudukan Jepang, menurut Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986), Maramis adalah penggiat Majelis Pertimbangan Poesat Tenaga Ra'jat (Poetera) dan bekerja sebagai pengacara di Jakarta. Setelah di Poetera, ia pernah menjadi penasihat di Bukanfu. Jelang kemerdekaan, ia ikut berperan menentukan dasar negara Republik Indonesia.

Maramis termasuk anggota BPUPKI, dan salah satu dari 15 orang bergelar Mr (Meester in Rechten). Orang yang belajar hukum tentu diperlukan dalam menyusun peraturan perundangan. Maramis juga tergolong minoritas secara etnis dan agama. Bersama Johannes Latuharhary dari Ambon, Maramis mewakili kalangan Indonesia timur, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Maramis termasuk ke dalam Panitia Sembilan, dan satu-satunya orang Kristen dari 8 orang lain yang nasionalis-Islam (Abikusno, Agus Salim, Kahar Muzakkir, dan Wahid Hasyim) maupun nasionalis-sekuler (Hatta, Sukarno, Soebardjo, dan Yamin).

Meski ada Maramis, pada 22 Juni 1945, sila pertama dalam kesepakatan yang kemudian dikenal Piagam Jakarta memuat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

“Mr Maramis … tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi,” tulis Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir.

Menurut Nurcholish Madjid dalam Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995), tentu saja, “Orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis, secara serius menolak satu ungkapan dalam piagam tersebut.”

Latuharhary bahkan berkata, bila salah satu rumusan dalam Piagam Jakarta ini diterapkan, “akibatnya mungkin besar terutama terhadap agama lain.”

Pada sore hari 17 Agustus 1945, Hatta mendapat kunjungan dari utusan Kaigun yang menyuarakan kecemasan orang-orang dari Indonesia timur atas isi salah satu pokok Piagam Jakarta tersebut. Perkara ini dinilai gawat oleh Hatta. Esoknya, sebelum PPKI bersidang, para wakil yang relevan membahas poin keberatan tersebut secara terbatas. Hasilnya, kompromi itu mengubah sila pertama menjadi apa yang kita kenal kini sebagai Pancasila.

infografik HL indepth Piagam Jakarta 220617 kronik aa maramis

Tentang A.A. Maramis

Alex Maramis mengenyam sekolah dasar elite anak-anak Eropa, Europeesche Lagere School. Usai lulus, ia masuk sekolah menengah yang juga elite di Jakarta, Hogare Burger School Koning Willem III (KW-III), yang dikenal sebagai Kawedrei. Ia satu sekolah dengan Ahmad Soebardjo dan guru les biola, Nona Vermeulen.

Menurut Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah (2008), “Soebardjo bersama Maramis dan (Nazir) Pamoentjak tiba di Belanda Juni 1919, termasuk tiga mahasiswa yang datang sesudah Perang Dunia I. Ketiga mahasiswa itu bermaksud belajar hukum, dan bersiap menempuh ujian negara yang merupakan syarat masuk Leiden, dengan mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin.”

Untuk bisa lulus ujian bahasa klasik itu, mereka bertiga menyewa Drs. Green sebagai guru les mereka. Terbatasnya uang membuat mereka bertiga bekerja dulu.

“Waktu itu, orang-orang yang punya ijazah HBS (SMA Belanda) mendapat penghargaan tinggi dalam masyarakat […] sehingga tak ada kesukaran bagi kami mendapat pekerjaan dengan gaji yang cukup memuaskan,” ujar Soebardjo dalam autobiografinya Kesadaran Nasional (1978). Soebardjo diterima di Kantor Pos Telepon & Telegraf, Nazir di Departemen Dalam Negeri, dan Maramis di Kantor Monopoli Negara.

Mereka bertiga mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk kuliah hukum selama enam tahun di Universitas Leiden. Maramis kelak aktif di Perhimpoenan Hindia meski tak seaktif Soebardjo.

Menurut MPB Manus dalam Tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Volume 2 (1993), Alex lulus sebagai Meester in Rechten (Mr) pada 1924. “Sepulang ke Tanah Air dengan menyandang gelar Mr., Alex Maramis larut dalam kegiatan politik di Indonesia. “

“Ia aktif di dalam organisasi pemuda, partai politik, perkauman Kawanua sampai organisasi gerejani,” tulis Manus.

Setelah Indonesia merdeka, Alex pernah menjadi Menteri Keuangan pertama. Ia memimpin kementerian untuk menerbitkan dan mencetak Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), yang belakangan jadi rupiah. Ia juga menjadi Menteri Luar Negeri di PDRI.

Maramis menikah dengan Elizabeth M.D. Veldhoed, seorang janda berdarah Belanda dan Bali pada 1928 di Palembang. Ia meninggal pada 1977, di usia 80 tahun, dan disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Baca juga artikel terkait PIAGAM JAKARTA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam