tirto.id - Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Ardiansyah Parman menyatakan pengenaan pajak e-Commerce perlu diimbangi pembentukan sistem perlindungan konsumen bisnis digital.
Menurut dia, pemerintah bisa menerapkan sistem perlindungan itu melalui mekanisme perizinan maupun regulasi. Dia mencontohkan sistem itu perlu mengatasi masalah seperti kerugian konsumen akibat gambar barang yang ditawarkan di perdagangan online berbeda dengan kualitas sebenarnya.
“Kalau semua orang melakukan kegiatan e-Commerce tanpa adanya izin, akan tidak terkontrol. Konsumen akhirnya (berpotensi) bisa dirugikan. Karena ini masalah uang,” kata Ardiansyah di Hotel Aryaduta, Jakarta pada Senin (9/10/2017).
Oleh karena itu, Ardiansyah berharap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perdagangan Elektronik bisa segera disahkan.
“Pemerintah sedang menyiapkan itu, masih dalam proses. Sudah bergulir lama, dan tidak gampang,” kata dia.
Konsep Pajak e-Commerce Perlu Dikaji Ulang
Ardiansyah juga berpendapat pengenaan pajak terhadap bisnis berbasis digital (e-Commerce) tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, pajak itu bukan mengarah ke objek baru. Dia menilai, sebagaimana klaim Ditjen Pajak selama ini, pemerintah hanya menyasar objek yang selama ini belum terpajaki.
“Kalau tadinya kita pergi, tatap muka, beli barang, lalu kena PPN (pajak pertambahan nilai), sekarang tidak begitu. Beli online, ada jasa pengiriman, bisa dilacak transaksinya,” ujarnya.
Menurut dia, perdagangan daring (online) pada dasarnya memiliki prinsip yang sama dengan aktivitas jual-beli offline sehingga sama-sama layak dikenakan PPN. Bahkan, perdagangan daring memiliki rekam jejak transaksi yang lebih jelas ketimbang model konvensional.
“Kewajiban penyelenggara sistem elektronik adalah memiliki catatan yang bisa diaudit. Jadi saya kira bukan karena dia (pelaku) e-commerce, terus menghindari pajak,” ujarnya.
Kendati demikian, Ardiansyah mengimbuhkan, tidak semua transaksi e-Commerce bisa dikenakan PPN. Pengenaan pajak jenis itu bisa menemui kendala untuk produk yang terdigitalisasi.
“Kalau seperti itu susah menelusurinya. Makanya, tarik saja dari PPh (pajak penghasilan), kalau dia punya penghasilan dari produk seperti gambar atau desain. Sementara yang ada barangnya, pasti lewat bea cukai, bisa dikenakan PPN,” kata Ardiansyah.
Sebaliknya, Ketua Umum idEA Aulia Marinto, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), meminta pemerintah hati-hati dalam penerapan pajak e-Commerce. Hal ini agar pajak itu tidak membawa dampak buruk ke pelaku usaha digital.
“Para pelaku e-commerce telah melakukan investasi besar, namun belum menghasilkan. Sehingga masih perlu waktu untuk bertumbuh dan berkembang,” ujar Aulia kepada Tirto, pada hari ini.
Menurut Aulia, banyak pelaku bisnis digital di Indonesia merasa sudah membayar pajak sesuai dengan model usahanya dan ketentuan yang berlaku. Karena itu, dia berharap agar pajak e-commerce tidak buru-buru diterapkan sebelum ada kesepahaman antara pemerintah dengan pelaku industri.
Dia juga berpendapat semestinya pajak e-Commerce tidak hanya menyasar sektor marketplace (platform tempat berjualan berbasis online), tapi juga bisnis di media Over the Top.
“Kami merasa perlu adanya dialog dengan Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, untuk lebih lanjut berdiskusi mencari solusi terbaik,” kata Aulia.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom