Menuju konten utama

BPKN Jelaskan Sebab Masih Rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen

BPKN menilai pengetahuan publik di Indonesia mengenai regulasi dan lembaga terkait perlindungan konsumen masih rendah. 

BPKN Jelaskan Sebab Masih Rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen
Logo BPKN. Image/ bpkn.go.id.

tirto.id - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai terdapat dua faktor utama yang selama ini memicu masih rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di Indonesia. Ketua BPKN Ardiansyah Parman mencatat faktor pertama ialah minimnya pengetahuan masyarakat soal regulasi dan lembaga terkait perlindungan konsumen. Faktor kedua adalah perilaku komplain yang belum umum di kalangan konsumen.

Dia mencatat, berdasar data terakhir Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan, Indeks Keberdayaan Konsumen di Indonesia pada 2016 baru mencapai level 30,8 persen.

Ardiansyah menjelaskan di antara 7 indikator keberdayaan konsumen, dua hal di atas memiliki skor terendah. Sementara lima indikator lain ialah aktivitas konsumen dalam pencarian informasi, pemilihan produk, preferensi produk, perilaku pembelian, dan kecenderungan melapor.

Menurut dia, BPKN menargetkan Indeks Keberdayaan Konsumen di tujuh kota besar bisa meningkat ke level 40 persen di 2019. Ketujuh kota besar itu ada di Jawa dan Bali. “Pada 2018, target IKK antara 30 persen ke 39 persen,” kata Ardiansyah di kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, pada Rabu (27/12/2017).

Dia berpendapat edukasi terhadap masyarakat mengenai hak-hak konsumen masih kurang. Ardiasyah mengatakan peningkatan edukasi itu bisa memanfaatkan keterlibatan banyak LSM Perlindungan Konsumen di berbagai daerah. Karena itu, BPKN berencana meningkatkan kapasitas para pegiat LSM perlindungan konsumen itu.

Selain itu, untuk mencapai target itu, menurut dia, BPKN memprioritaskan penguatan keberdayaan konsumen di delapan sektor. Kedelapannya ialah air bersih, energi, kesehatan, obat dan pangan, perumahan dan properti, transportasi, pembiayaan atau jasa keuangan serta e-commerce.

Ardiansyah mencontohkan di sektor e-Commerce, potensi pelanggaran hak konsumen tinggi sebab pesatnya perkembangan bisnis ini belum diimbangi regulasi. Menurut dia, pemerintah memang sedang menyusun regulasi untuk e-commerce dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Tapi, hingga kini, regulasi itu belum juga terbit.

Dia menambahkan salah satu usulan BPKN dalam rancangan PP itu ialah perlunya ada pendataan terperinci terhadap para pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis e-Commerce. Hal ini agar identitas pelaku usaha mudah ditelusuri apabila muncul pengaduan dari konsumen.

Menurut dia, pendataan itu bisa dilakukan seperti langkah Kementerian Kominfo yang mewajibkan registrasi ulang kepada pemilik kartu provider prabayar dengan menyetor nomor KTP dan Kartu Keluarga. “Memastikan bahwa pemiliknya itu bisa ditelusuri,” ujarnya.

Koordinator Pengaduan dan Penanganan Kasus BPKN, Rizal E. Halim menambahkan jumlah pengaduan konsumen di Indonesia rendah karena mayoritas masyarakat malas mengurusnya.

“Itu kami dapatkan dari eksplorasi di pasar, mereka malas dan merasa biaya (komplain) mahal. Kalau mereka mengadu juga jarang direspon. Biasanya yang diadukan lebih powerful. Kami tidak mau ada anggapan itu lagi,” kata Rizal.

Selama ini, BPKN menerima pengaduan konsumen melalui email, call center 153 dan laporan langsung ke kantor lembaga ini. Aduan tersebut nantinya akan diidentifikasi jenis kasusnya. Bila terkait pidana, BPKN akan meneruskan aduan itu ke pihak kepolisian. Jika ada pelaku usaha mengulangi kesalahan, BPKN dapat mengajukan rekomendasi pencabutan izin usahanya ke Kemendag.

Baca juga artikel terkait KONSUMEN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom