tirto.id - Ini 2022 dan mengenakan jersei bola tiba-tiba menjadi fesyen kekinian. Trennya sendiri disebut bloke core dan bermula dari ketidakacuhan terhadap fesyen arus utama. Ketidakacuhan itu rupanya malah jadi fesyen tersendiri.
Anak-anak muda berpakaian seperti bapak-bapak yang sedang menuju pertandingan sepak bola di stadion, itulah karakteristik bloke core. Maka jersei sepak bola menjadi kunci (semakin retro diyakini semakin keren), diikuti celana jin yang ill-fitting ataubaggy, dan tak lupa jenis sepatu yang lebih sering kaulihat di lapangan futsal.
Ia kadang juga ditulis blokecore atau ladcore.Namanya istilah itu diambil dari katabloke, kata slang British untuk laki-laki. Ia punya konotasi maskulin dan kerap digunakan untuk mendeskripsikan laki-laki jantan. Istilah yang tepat bagi mereka yang sangat peduli dengan sepak bola dan mungkin sama sekali tak peduli dengan gaya berpakaian.
Sebelum dilabeli bloke core, penggemar sepak bola yang enggan repot-repot berdandan dan memilih untuk hangout dengan jerseitim favoritnya sebenarnya sudah jadi pemandangan umum.
Sekilas, tren ini mengingatkan pada karakter Ucup dari sinetron Bajaj Bajuri yang diperankan Fanny Fadillah. Ucup kerap muncul dengan mengenakan koleksi jersei bolanya, mulai dari klub Deportivo La Coruna hingga Chievo Verona. Sementara bagi khalayak Inggris, sosok broadcaster macam Jeremy Clarkson kini dianggap sebagai "ikon fesyen tak disengaja" untuk bloke core. Kegemarannya mengenakan celana jin pun, yang semata dikenakannya karena celana itu berada di ujung kasurnya belaka setiap dia bangun tidur, dipandang selaras dengan esensi untuk tren ini.
Gaya berpakaian ini memang terkesanno effortdan bahkan dianggap anti-style dan antifesyen. Namun, bagaimana kebiasaan berdandan seadanya ini bertransformasi menjadi tren fesyen?
Berangkat dari TikTok
Kita bisa menunjuk para pengguna TikTok sebagai biang di balik popularitasbloke core. Begitu juga halnya dengan kebangkitan estetika 1990-an belakangan ini dan merek-merek fesyen ternama yang terus menggali gaya berpakaian dari masa lampau.
Seperti halnya tren fesyen cottagecore yang berkait dengan kehidupan agrikultur dan pedesaan, bloke core bisa dibilang angkat nama di masa pandemi COVID-19. Pasalnya, periode ini mendorong orang-orang lebih aktif melakukan kegiatan fisik seperti berolahraga. Dus, pakaian olahraga, termasuk salah satunya jersei sepak bola, menjadi opsi berpakaian yang praktis, nyaman, dan fleksibel untuk dikenakan kapan saja.
Kau bisa mengenakannya untuk berolahraga, menonton pertandingan, atau sekadar karena ia berada di ujung kasurmu pagi itu—bersama celana berbahan denim. Kendati dianggap antitesis untuk kata fashionable, kau tak perlu terlalu memedulikannya.Begitulah, ia tiba-tiba menjelma tren terkini.
Banyak pihak sepakat bahwa penamaan bloke core berasal dari pengguna TikTok @brandonlhuntly. "Hottest trend of 2022: bloke core," tulisnya dalam sebuah video di mana dia mengenakan jersei sepak bola, jin longgar, dan sepatu Adidas Samba. Sejak saat itu, tagar bloke core di TikTok terus naik hingga mencapai seratusan juta views.
Dari segi estetikanya, bloke core telah dihadirkan jenamaskateboarding populer seperti Palace yang menampilkan desain jerseisepak bola masa lampau dalam produk mereka. Langkah serupa juga telah dilakukan merek-merek ternama lainnya dalam beberapa bulan terakhir.
Adidas, misalnya, bekerja sama dengan beberapa desainer fesyen—di antaranya Lotta Volkova, Wales Bonner dan Angel Chen—untuk membikin produk-produk retrospektif. Carbon Magazine mewartakan kolaborasi Adidas dan Gucci menghadirkan elemen nostalgia serupa bloke coredengan produk yang menyerap siluet dan gaya pakaian dari era 1970-an hingga 2000-an.
Dalam artikel The Telegraph berjudul "Blokecore – the ‘make-no-effort’ trend we can all love", Stephen Doig dan Guy Kelly menyebut bahwa pada kenyataannya, bloke core merupakan bentuk evolusi yang alami.
Pertengahan 2010-an ditandai dengan bangkitnya normcore, sebuah gaya berpakaian yang “hambar” dan aman sebagaimana dicontohkan para penguasa Silicon Valley. Tren lain kemudian mengikuti setelahnya, misal gorpcore di mana orang-orang tampil layaknya anggota mapala atau anak gunung. Tren gorpcore lantas dianggap biang yang mengantarkan padded jacket dan perlengkapan mendaki tampil di Paris Fashion Week.
Pada saat bersamaan, kebangkitan fesyen 1990-an merekah. Anak-anak muda mengenakan bucket hat dan baggy jeans seolah berada di masa kejayaan britrock atau britpop. Produk-produk fesyen dirancang untuk menampilkan kesan vintage. Wabah serupa itu muncul tatkala Inggris tampil di Euro 2020. Kala itu,jersei Euro 1996 mendadak laris di kalangan Gen Z dan kata kunci “retro football shirts” dilaporkan eBay mencapai kenaikan 136 persen dalam penelusurannya.
Periode itujuga ditandai—atau dinodai—oleh toxic masculinity, hooliganisme, dan delusi Cool Britannia. Akan tetapi, para penulis artikel tersebut menilai bahwa, "Anak-anak hari ini cerdas. Mereka berhasil mengambil cara berpakaiannya, tapi menghapus asosiasinya, lalu memasangkannya dengan sikap modern.".
Akhirnya,sebagaimana ditulis Carbon Magazine, Cool Britannia pun lebih menyerupai pernyataan satir, alih-alih kebanggaan akan negeri asal mereka.
Jersei sebuah tim sepak bola, entah itu klub maupun negara, menjadi estetika kunci dalam bloke core. Namun sesungguhnya, ini sudah bukan lagi soal olahraga apalagi fanatisme. Ini lebih menjurus soal menunjukkansisi hooligan dalam dirimu.
Terus Bertahan, Kendati Bukan Sebagai Tren
Para pengusung bloke core mendongkel aspek sepak bola, kendati hanya mengenakan jerseinya. Para fanatik bola yang gemar meng-gatekeeping bisa jadi bakal mencap mereka sebagaiposer bola, plastic fans, dan semacamnya. Itu sebanding dengan anggapan bahwa mereka yang memakai kaus band harus hapal lagu-lagu atau album dari band tersebut.
Bayangkan kau mendapatkan pertanyaan berupa, "Sebutkan tiga top skorer sepanjang masa Panathinaikos?" hanya karena kau mengenakan jersei klub Yunani tersebut. Padahal, kau memakainya semata karena suka pada desainnya. Atau, "Berapa nomor punggung Francisco Lima semasa membela AS Roma?" gara-gara kau mengenakan jersei lawas klub ibu kota Italia dengan nameset Batistuta.
Di lain sisi, mengadopsi gaya bloke core sepintas lalu bisa dikaitkan dengan gaya berpakaian sebagian orang Slavic yang lekat dengan tracksuit Adidas. Begitu pula dengan fesyen Terrace Wear selayaknya para hooligan dalam film Green Street (2005) atau di pertandingan sepak bola di Britania Raya.
Kendati terkait dengan nostalgia, bloke core juga berkelindan dengan tren terkini. Peralihan dari skinny jeans ke gaya seperti flaredan bootcut jeans (atau cutbray jeans) berjalan seiring sekaligus cocok dengan tampilan bloke core.
Para penulis fesyen kini pun berlomba menentukan cara agar kau "terlihat bloke core". Tip-tip seperti "jersei retro lebih baik", "jangan kenakan skinny jeans", atau "pilihlah sepatu yang lebih sporty" sering dibeberkan dalam kolom fesyen. Ironis memang, mengingat gaya ini berangkat dari ketidakpedulian akan fesyen.
Satu hal yang pasti, para penggemar sepak bola tentu akan terus berpakaian seperti ini. Namun sebagai tren, tak ada yang tahu seberapa lama bloke core akan berlanjut. Ia mungkin saja tak pernah betul-betul keluar dari TikTok dan menembus arus utama. Meski begitu, kaus bola retro hampir pasti akan tetap diburu para fan fanatik dan kolektor tanpa memedulikan siklus atau evolusi gaya berpakaian.
Bagaimana pun, olahraga dan fesyen tak pernah lebih berselaras ketimbang hari ini. Maka lumrah mendapati klub-klub besar menjalin kerja sama dengan para desainer dan perupa dari skena streetwear demi menjangkau fan, atau lebih tepatnya, pasar yang lebih muda dan luas. Jersei tandang atau jersei ketiga kini lazim didesain kian liar dan produk yang mereka pasarkan sudah tak lagi melulu seputar sepak bola—hal bahkan acap kali bikin “fan lama” geleng-geleng kepala.
Para pesepak bola yang menjadi model fesyen pun kian jamak. Untuk perkara jersei retro, lihat saja Héctor Bellerin. Dia tampak alami belaka kala terbalut jersei berdesain lawas. Real Betis, klub di mana dia bernaung, bahkan seolah mendorong semangat bloke core lebih jauh kala para pemainnya merayakan kemenangan di final Copa Del Rey dengan mengenakan jerseivintage.
Peluang bisnis tentu hadir bagi klub maupun apparel. Selain Adidas dan Gucci, bisa jadi banyak merek raksasa lain sedang mengintai peluang serupa. Dari kancah sepak bola, kita bisa menanti pergerakan Kappa, Lotto, atau Umbro, juga sederet apparel lain yang identik dengan sepak bola retro mengambil kesempatan kala tren bloke core menanjak. Mumpung ia belum berakhir, tentunya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi