tirto.id - “Ma, kita 10 seconds hug, yuk!”
Demikian pinta anak laki-lakiku, Kai Aska, yang punya kebiasaan mengajak “10 seconds hug” sejak ia kecil. Kapan pun kami mau, kami berpelukan sambil berhitung.
Meski kini sudah puber di usia 12 tahun, ia masih saja minta peluk bahkan terkadang di hadapan teman-teman sekolah saat aku menjemputnya. Tak ada istilah “malu” dalam kamusnya.
Apabila salah satu dari kami sedang sedih, pelukan sepuluh detik dapat berubah menjadi satu menit.
Berpelukan memang sangat menyenangkan dan terbukti bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga.Dikutip dari situs MedicineNet, Dr. Karthik Kumar, MBBS memaparkan segudang manfaat dari pelukan.
Di antaranya, pelukan dapat membuatmu merasa bahagia dengan mengurangi perasaan kesepian dan efek fisik yang berbahaya dari stres.
Serotonin atau hormon antidepresan membantu meningkatkan suasana hati, mengendalikan kecemasan, dan mengurangi rasa kesepian.
Oksitosin atau hormon cinta ikut mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan jantung. Hormon ini bahkan dapat membantu menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah, melawan penyakit, meningkatkan libido, mengurangi stres, dan memberi perasaan nyaman.
Menurut Dr. Kumar, memeluk anak yang baru lahir (kangaroo mother care) dapat membantu meningkatkan berat badan bayi dan perkembangannya secara keseluruhan.
Meningkatkan rasio pelukan juga menghasilkan penurunan tekanan darah, penurunan kortisol, meningkatkan penyembuhan, mengurangi ngidam, dan membantu kekebalan tubuh lebih baik.
Durasi berpelukan juga memiliki pengaruh.
Berpelukan selama 10 detik membantu tubuh melawan infeksi, meredakan depresi, dan mengurangi rasa lelah. Pelukan lebih lama, selama 20 detik, dapat membantu mengurangi efek berbahaya dari stres, mengurangi tekanan darah, dan memastikan jantung tetap sehat.
Berpelukan bagiku dan Kai Aska tidak sulit. Kebetulan, love language kami sama: physical touch. Berpelukan menjadi salah satu caraku mengomunikasikan cinta kepadanya sehingga ia benar-benar merasa dicintai.
Aku mengajarkan anakku untuk melakukan kebiasaan “10 seconds hug” ini hanya kepadaku, ayah, kakak, dan para eyangnya.
Bagaimana dengan anggota keluarga besar atau orang di luar lingkup keluarga? Cukup hanya pelukan singkat satu-dua detik sebagai perwujudan rasa hormat dan sayangnya. Itu pun hanya dilakukan anakku jika ia menyetujuinya.
“Sangat penting untuk mengajarkan anak sedini mungkin tentang konsen atau persetujuan untuk dipeluk oleh keluarga inti atau orang lain, dan bisa dimulai sedini mungkin. Walau kadang situasinya berbeda di tiap perjumpaan, kadang mau tidak mau, tetap kita harus menghargai anak saat ia tidak mau atau merasa tidak nyaman untuk berpelukan,” papar Samanta.
Lalu, pada usia berapa sebaiknya anak diajarkan tentang sentuhan?
Selain tentang konsen, anak juga perlu diberi pemahaman tentang otonomi tubuh atau hak untuk menolak sentuhan fisik dengan orang lain.
Otonomi tubuh sangat penting diajarkan sejak dini karena umumnya anak akan menolak sendiri ketika ia tidak mau bersentuhan fisik dengan orang lain.
Namun demikian, ada beberapa kondisi di mana anak mudah dibujuk sehingga mereka perlu lebih diingatkan dan diajarkan mengenai batasan dan konsen terkait siapa yang boleh memeluknya.
Untuk mengajarkan anak tentang batas-batas tubuh dan keselamatan, kiat-kiat yang dijabarkan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) bisa kita jadikan referensi.
Ajarkan anak nama-nama yang tepat untuk bagian tubuh, termasuk alat kelamin mereka: penis, vagina, payudara, dan bokong. Gunakan bahasa yang tepat. Sebab, mengarang nama untuk bagian tubuh hanya membuat anak bingung dan memberikan kesan bahwa bagian tubuh tersebut buruk atau rahasia, dan tidak dapat dibicarakan.
Selain itu, ajarkan juga bagian mana yang “pribadi”. Ini termasuk mulut, paha, dan bagian tubuh mereka yang tertutup oleh pakaian renang (alat kelamin, dada, bokong, dubur). Bagian-bagian ini tidak boleh disentuh atau dilihat tanpa seizin anak.
Anak juga kurang dapat membedakan sentuhan buruk atau sentuhan baik sehingga rentan menjadi korban pelecehan. Anak pun jadi rentan dimanipulasi oleh predator seks atau terpengaruh pergaulan bebas nantinya.
“Pelukan yang normal adalah pelukan yang hangat, tanpa ada perasaan ancaman yang mengganggu anak. Tingkat kedekatan anak dengan anggota keluarga yang lain juga perlu dipertimbangkan dari urutan persaudaraan. Termasuk om-tante yang satu kakek-nenek atau sudah masuk ke hubungan persepupuan, tentu kedekatannya berbeda,” papar Samanta.
Lalu, pertimbangkan juga intensitas pertemuannya: sering atau tidak? Selain itu, bagaimana saat orang-orang ini berinteraksi dengan anak? Apakah ada yang membuat anak merasa tidak nyaman atau baik-baik saja selama ini?
Apabila dalam penilaian orang tua semuanya masih dalam kapasitas wajar dan menjadi standar dalam nilai keluarga, maka kita perlu memerhatikan tingkat kenyamanan anak.
Memaksa anak memeluk orang lain, walaupun berjenis kelamin sama, hanya akan mengajarkan kepadanya bahwa ia tidak memiliki batasan yang sehat dengan orang lain maupun otoritas terhadap dirinya. Terpenting, jangan biarkan orang lain memaksa memeluk anak!
Nah, bagaimana dengan kultur keluarga di Indonesia yang cenderung sangat akrab?
Saran Samanta, anggota keluarga lain atau orang lain berhak dan perlu mendapatkan pemahaman dan dampak dari jika tidak memberikan konsen dan menghargai otonomi tubuh anak. Hal ini memang perlu dilakukan dengan cara halus dan pemahaman berulang kali tanpa lelah.
Melakukan tos atau fish bump, salim (cium tangan), melambaikan tangan, atau sekadar menyapa dengan kata “hai” adalah cara yang baik untuk menunjukkan rasa hormat dan sayang tanpa menyentuh. Ini penting untuk menumbuhkan penghargaan diri anak atas tubuhnya sendiri dan menajamkan instingnya pada orang-orang di sekitarnya.
Penulis: Glenny Levina
Editor: Sekar Kinasih