tirto.id - Sam Allardyce harus menghadapi hari-hari yang berat dalam beberapa waktu terakhir. Manajer tim nasional Inggris ini harus menghadapi derasnya hujatan publik akibat pernyataan kontroversialnya terkait mekanisme transfer Liga Inggris.
Big Sam—julukan Allardyce—berkoar bahwa aturan kepemilikan pihak ketiga dalam mekanisme transfer Liga Inggris menyimpan celah untuk diakali. Hal ini membuat para pebisnis yang tidak ada urusannya dengan sepakbola dan murni mencari keuntungan berpeluang menangguk pundi-pundi uang dari transfer pemain.
“Anda selalu bisa mencari celah darinya [larangan kepemilikan pihak ketiga]. Maksud saya jelas ada uang besar di sini,” ujar Allardyce kepada para pebisnis. Sayangnya, ia bicara pada pebisnis yang salah. Mereka sebenarnya adalah reporter Daily Telegraph yang sedang menyamar.
Para reporter itu menyamar sebagai pengusaha dari sebuah firma bisnis yang berkedudukan di “Timur Jauh”. Mereka mengaku ingin mendengar saran dari Allardyce untuk mendapatkan keuntungan dari transfer pemain sebagai pihak ketiga. Padahal, FA (asosiasi sepakbola Inggris) dan FIFA jelas-jelas melarang mekanisme ini.
“Itu bukan masalah besar. A [Telegraph menyensor nama ini untuk alasan legal] sering melakukannya. B juga,” ujar Allardyce ringan.
Allardyce menyarankan supaya para pebisnis fiktif itu mendekati para agen pemain sebagai kunci untuk mendapatkan bagian transfer.
“Kuncinya adalah di agen pemain. Karena jika si pemain dijual, maka si agen akan mendapatkan fee. Maka mereka bisa meminta pemain untuk terus dijual sehingga fee mereka semakin banyak. Nah, anda harus menjalin kerja sama dengan si agen. Si agen akan mendapatkan fee hingga 10% jika si pemain memperpanjang kontrak, atau, dijual ke klub lain,”imbuh Roy.
“Anda bisa membuat perjanjian dengan agen untuk mendapatkan bagian dari fee itu. Karena transfer pemain akhir-akhir ini nilainya sangat besar, hingga puluhan juta poundsterling, anda bisa dapat fee dari agen sebesar 5%, atau senilai ratusan ribu pounds. Well, itu adalah jumlah yang sangat besar untuk pekerjaan dua jam-an, kan?.” bebernya panjang lebar dalam video yang diunggah Telegraph.
Kongsi jahat antara Allardyce dan “pengusaha” fiktif ini dikabarkan menghasilkan bayaran sebesar 400.000 poundsterling bagi Allardyce.
“Nyanyian” Allardyce tidak hanya tentang transfer pemain saja, tapi juga melebar ke manajer Inggris sebelumnya, Roy Hodgson. Hodgson disebutnya sebagai pelatih yang tidak tegas dan terlalu mendengarkan asisten pelatihnya, Gary Neville.
“Mereka berdebat selama sepuluh menit untuk memasukkan Marcus Rashford [penyerang Inggris yang mencetak gol dalam kekalahan Inggris atas Islandia di Euro 2016], padahal Rashford hanya main kurang dari lima menit. Neville benar-benar membawa pengaruh buruk buat Roy,” tandas Allardyce.
Ia bahkan mencela Hodgson sebagai pribadi yang membosankan dan tak bisa memotivasi para pemainnya. Tak cukup itu, ia juga mengejek gaya bicara Hodgson yang “membuat pemainnya mengantuk” dan menyebutnya “Woy”--mengacu kepada aksen Roy Hodgson saat melafalkan nama depannya.
Pihak FA tentu saja berang dengan aksi tak patut Allardyce. Mereka langsung bereaksi dengan melengserkan Allardyce hanya 24 jam setelah laporan Telegraph dirilis.
"Perbuatan Allardyce, seperti dilaporkan hari ini, tidak pantas sebagai manajer Inggris. Dia menerima dia telah membuat kesalahan penilaian signifikan dan telah meminta maaf. Namun, dikarenakan keseriusan tindakannya, FA dan Allardyce telah meraih kesepakatan mutual untuk memutuskan kontraknya secara langsung,” tulis FA dalam rilis resminya seperti dikutip dari Goal.com.
Keputusan FA menjadikan Allardyce sebagai salah satu manajer tersingkat sepanjang sejarah tim nasional Inggris. Ia menjabat selama 67 hari dan memimpin Inggris hanya dalam satu laga resmi melawan Slovakia awal bulan September lalu pada Kualifikasi Piala Dunia.
Kepemilikan Pihak Ketiga Nan Kontroversial
Mekanisme kepemilikan pihak ketiga atas seorang pemain merupakan metode yang ilegal. FA sendiri telah melarang metode ini sejak 2008, disusul oleh FIFA pada 2015. Mantan Presiden UEFA Michel Platini bahkan pernah menyebutnya sebagai “perbudakan”.
Selain itu, kepemilikan pihak ketiga dianggap membawa preseden buruk bagi sportivitas, karena menyebabkan pihak ketiga dapat turut campur memengaruhi performa pemain di lapangan untuk kepentingan transfer.
Kepemilikan pihak ketiga atau third-party ownership (TPO) merupakan mekanisme, di mana ada pihak lain selain klub pemiliki yang menguasai hak atau nilai ekonomis dari seorang pemain. Pihak ketiga tersebut dapat berupa individu, perusahaan, atau fund.
Mekanisme TPO mulai memicu perhatian dalam transfer dua pemain Argentina, Carlos Tevez dan Javier Mascherano, dari klub Brazil, Corinthians, ke klub papan tengah Inggris, West Ham, pada 2006 lalu. Transfer ini sempat memicu kegemparan karena keduanya saat itu dianggap sebagai pemain-pemain muda potensial yang berharga tinggi, tetapi memilih klub “kecil” semacam West Ham.
Belakangan, terungkap bahwa ada pihak ketiga yang memuluskan transfer Tevez dan Mascherano. Pihak itu adalah sebuah perusahaan investasi bernama MSI (Media Sports Investments) milik pengusaha keturunan Iran bernama Kia Joorabachian.
MSI diketahui memegang sebagian hak milik atas Tevez dan Mascherano. Jurnalis bisnis BBC, Bill Willson, mengungkapkan bahwa West Ham dan MSI membubuhkan klausa khusus dalam kontrak Tevez, yang menyatakan bahwa MSI punya hak untuk menerima tawaran transfer terhadap Tevez sekaligus menentukan biaya transfernya. Willson menyatakan bahwa hal ini jelas-jelas melanggar aturan Liga Inggris karena dianggap “mempengaruhi kebijakan klub secara material”.
Kepemilikan pihak ketiga awalnya tidak dilarang oleh FA, tetapi lembaga ini menerapkan aturan yang sangat ketat dalam mengaturnya. Poin utama yang diberlakukan FA adalah pihak ketiga dilarang keras untuk mempengaruhi aspek-aspek teknis seperti permainan klub, pemilihan pemain, transfer, atau kebijakan-kebijakan penting lainnya.
West Ham belakangan mengakui pelanggaran di kontrak Tevez dan didenda 5,5 juta poundsterling atas tuduhan “menyembunyikan detail kontrak dari penyelenggara liga”. FA akhirnya melarang TPO secara keseluruhan terhitung sejak musim 2008/2009 karena dianggap “mengancam integritas kompetisi” dan “memengaruhi perkembangan pemain muda”.
Di sisi lain, Willson menengarai modus TPO masih kerap ditemui di bursa transfer, bahkan semakin berkembang demi berkelit dari aturan transfer yang makin ketat. Beberapa modus baru yang kerap dipakai antara lain: membeli saham klub lalu meminta bagian dari transfer klub tersebut, atau meminjamkan dana ke klub dan dibayar menggunakan dana-dana transfer yang masuk ke klub.
Salah satu tantangan pertama atas TPO berasal dari aksi klub Sheffield United pada Liga Inggris musim 2006/2007. Saat itu, Sheffield United dan West Ham sama-sama berada di papan bawah dan terancam degradasi. Tak dinyana, Tevez mencatatkan penampilan heroik dengan menyumbangkan banyak gol vital di delapan laga terakhir liga, termasuk dalam kemenangan 1-0 atas raksasa Manchester United. Akhirnya, West Ham selamat sedangkan Sheffield United terdegradasi.
Pihak Sheffield United tidak terima dengan hasil itu dan menuduh West Ham telah mendapat keuntungan dari performa pemain ilegal (Tevez). Mereka membawa kasus ini ke pengadilan independen yang dipimpin Lord Griffith dan menuntut ganti rugi sebesar 45 juta poundsterling dan hukuman pengurangan poin untuk West Ham.
Kedua klub akhirnya sepakat untuk menyelesaikan kasus ini di luar pengadilan dengan West Ham bersedia membayar ganti rugi sebesar 10 juta poundsterling kepada Sheffield United. Di sisi lain, West Ham tidak jadi mendapatkan pemotongan poin karena dianggap telah memutuskan hubungan dengan MSI dan Kia Joorabachian sebelum liga selesai.
Perputaran uang yang sangat besar di Liga Inggris kerap membuat orang silap terhadap keuntungan yang bisa diperoleh secara ilegal. Sekarang, Big Sam harus menerima dirinya menjadi pesakitan dan terasingkan dari orbit liga yang diklaim sebagai yang terbaik di dunia ini.
Ia sepertinya akan membutuhkan waktu cukup lama untuk membersihkan nama baiknya dan kembali berkiprah di kampung halamannya.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti