Menuju konten utama

Berhati-hati Sikapi Polemik Khotbah Idulfitri di Wonosari

Imam Besar Masjid Istiqlal menilai wajar jika ada yang kecewa dengan khotbah yang membawa-bawa isu politik praktis.

Berhati-hati Sikapi Polemik Khotbah Idulfitri di Wonosari
Foto aerial ribuan umat muslim mengikuti salat Idul Fitri 1438 H di Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (25/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Nasaruddin Umar, berkata belum mendapat informasi mengenai kejadian di Wonosari. Ia berharap informasi yang beredar diteliti secara benar. Berhati-hati menyikapi informasi menjadi kebutuhan penting di era media sosial seperti sekarang.

“Apa betul faktornya (meninggalkan lokasi salat Id) karena tema (khotbah)? Bisa saja karena panas atau kelamaan. Jadi kita jangan menggeneralisir suatu kenyataan,” katanya.

Hal senada diutarakan oleh salah Ahmad Suroso, seorang jemaah yang menghadiri salat Idulfitri di Alun-Alun Wonosari itu.

"Ada beragam sebab mengapa jemaah pulang lebih dulu sebelum khotbah selesai," kata Suroso, warga Desa Tawarsari, Wonosari, Gunung Kidul.

Pertama, tidak banyak jemaah memahami bahwa mendengarkan khotbah hingga selesai merupakan rangkaian pelaksanaan ibadah salat Id. Kedua, banyak jemaah yang ingin segera melanjutkan kegiatan, terutama mereka yang membawa anak kecil. Ketiga, durasi ceramah cukup panjang, relatif lebih panjang dari biasanya, sedangkan cuaca semakin panas. Keempat, jemaah memiliki pemahaman berbeda terhadap isu politik yang disampaikan khatib di awal khotbah.

Kendati begitu, Nasaruddin Umar berpendapat materi khotbah sebaiknya berisi pesan-pesan pelajaran yang bisa meningkatkan ketakwaan umat. “Khotbah intinya mengajak orang bertakwa. Kalau mau berdiskusi masalah politik bukan khotbah tempatnya,” katanya.

Imam Besar Masjid Istiqlal ini menilai wajar apabila ada masyarakat yang merasa kecewa dengan isi khotbah yang membawa-bawa isu politik praktis. Namun, ia juga mengimbau, sebaiknya kekecewaan itu tidak lantas membuat masyarakat mengurangi nilai pahala ibadah dengan meninggalkan khatib yang sedang berkhotbah.

“Khatib perlu sabar, jemaah perlu sabar. Khatib bisa subjektif. Jemaah juga bisa subjektif. Ini jangan dibesar-besarkan,” ujar Nasaruddin.

Dalam sebuah kesempatan wawancara khusus dengan Tirto, Nasaruddin Umar pernah mengatakan bahwa khatib "jangan memaki-maki orang dalam khotbah".

Sementara Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Marsudi Syuhud, juga tak mau banyak berkomentar soal kejadian Idulfitri di Wonosari.

“Saya, kan, enggak tahu kejadiannya di sana. Bagaimana menyikapinya? Kalau mengira-ngira bisa salah dan benar,” katanya.

Senada dengan Nasaruddin, Marsudi berharap setiap tokoh maupun pemuka agama bijak dalam menyampaikan materi khotbah. Sedapat mungkin materi khotbah relevan dengan kondisi sosial pendengar.

“Khotbah itu intinya mendorong ketakwaan. Bukan kebencian. Kita harus menyampaikan pesan sesuai dengan kemampuan tata cara setempat. Harus begitu dalam berdakwah,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait HARI RAYA IDUL FITRI atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS