tirto.id - Guna membendung hoaks yang dapat memperburuk situasi di tengah aksi massa 22 Mei 2019, pemerintah melakukan pembatasan akses beberapa panggung media sosial. WhatsApp, aplikasi pesan instan milik Facebook, adalah salah satu yang terkena imbasnya.
Di Twitter, media sosial yang aman dari kebijakan pemerintah, masyarakat menyuarakan kekesalan akibat sukarnya mengakses aplikasi favorit dengan melambungkan tagar #WhatsAppDown hingga #InstagramDown.
Sejumlah Pebisnis yang mengandalkan media sosial turut mengalami kerugian. Tatkala kebijakan pembatasan media sosial berlaku, omzet turun hingga 50 persen.
Ketergantungan masyarakat pada aplikasi ponsel pintar cukup tinggi. Menurut firma analisis digital App Anie, dari 1,8 juta aplikasi iOS di App Store dan 2,1 juta aplikasi di Android Play Store, masyarakat hanya menggunakan tidak lebih dari sembilan aplikasi tiap harinya.
Artinya, jika satu atau sebagian dari aplikasi harian yang digunakan tidak bisa digunakan, kehidupan digital bisa terganggu. Padahal, ada Line dan Telegram yang dapat mengganti WhatsApp, juga VSCO dan Pinterest yang dapat menggantikan Instagram.
Lantas, bagaimana dengan masyarakat Cina yang kesehariannya hidup dalam satu aplikasi serba bisa bernama WeChat?
Tanpa Alternatif
Dalam acara Mitra Juara Gojek 2019 pada April 2019 lalu, Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek, menyatakan bahwa Go-Jek adalah super-app. Berawal dari layanan pemesanan ojek, Go-Jek berkembang sehingga memungkinkan penggunanya membaca berita, mencari masjid terdekat, hingga bersedekah secara digital.
Menurut pendiri Grab Anthony Tan, super-app lahir dari keinginan kaum milenial yang menginginkan menginginkan segalanya dalam satu aplikasi ringkas.
Namun, dengan tegas Nadiem menyebut bahwa super-app miliknya berbeda, termasuk dari WeChat, pelopor istilah super-app.
WeChat lahir pada 2010 dari rahim Tencent Guangzhou Research and Project Centre. Sebelum WeChat, Cina adalah negara yang biasa-biasa saja dalam ranah digital. Untuk berkomunikasi via protokol internet, warga tirai bambu menggunakan QQ, peranti lunak pesan instan pada komputer yang dimiliki Tencent. Ponsel pintar saat itu belum populer.
Namun, merespons kelahiran iPhone dan Android, Tencent akhirnya membentuk tiga tim internal dengan tugas sederhana: menciptakan serupa QQ untuk perangkat mobile. Sebagaimana dilansir South China Morning Post, Zhang Xiaolong alias Allen Zhang, yang pernah memimpin divisi QQ Mail di Tencent, sukses menciptakan aplikasi pesan instan mobile.
Dari tim yang hanya berisikan tak lebih dari 10 orang dan bekerja tidak sampai 70 hari, WeChat pun lahir. Martin Lau Chi-ping, yang pada 2011 menjabat presiden Tencent, menyebut bahwa kelahiran WeChat adalah “langkah strategis paling penting Tencent untuk memastikan mereka bisa bertransformasi dari pemimpin PC menjadi pemimpin mobile.”
Chi-ping benar. Pada 2019, laporan South China Morning Postmenyatakan WeChat digunakan lebih dari satu juta orang. Li Yuan, jurnalis The New York Times yang berbasis di Hong Kong, bahkan mengklaim “tidak ada alternatif pengganti WeChat bagi penduduk Cina.”
Kesuksesan WeChat tak semata berawal dari urusan teknis, tapi juga berkat The Great Firewall of China, sistem yang dirancang untuk memblokir akses ke aplikasi atau program yang dilarang pemerintah Cina. Akibat pemberlakuan sistem ini, berbagai perusahaan teknologi asing, terkena imbasnya. Sejak 2002, Google diblokir oleh otoritas internet Cina. Pada 2009, Facebook dan Twitter akhirnya juga diblokir.
WeChat, yang kemudian tidak memiliki pesaing berarti, jadi pemenang.
WeChat juga tak hanya memfasilitasi pengiriman pesan. Kemajuan teknologi di bidang QR Code, melahirkan dompet digital WeChat Pay. Pada 2019, uang senilai 26,9 triliun Yuan berputar dalam platform pembayaran digital. WeChat termasuk yang diuntungkan. Bagaimana tidak, 76 persen responden dalam survey yang bisa dibaca di Statista menyatakan mereka menggunakan WeChat.
Pada kuartal I-2019, Tencent memperoleh uang senilai 27,2 miliar Yuan. Sebanyak 16 persen di antaranya disumbang WeChat.
Tapi, WeChat bukan sekedar pesan instan dan dompet digital. Tak sebatas super-app, kini WeChat adalah “sistem operasi.”
Sistem Operasi dalam Aplikasi
Selepas sukses dengan pesan instan dan pembayaran, WeChat merilis mini program. Mini program merupakan skema yang memungkinkan aplikasi pihak ketiga berjalan di atas WeChat. Semenjak diperkenalkan pada awal 2017, hingga kini ada satu juta aplikasi pihak ketiga yang bisa berjalan via WeChat.
Secara teknis mini program tak ubahnya aplikasi versi web. Jika kita mengakses suatu situs web via aplikasi Facebook, misalnya, facebook akan menampilkan fitur in-app-browser untuk menampilkan permintaan akses pengguna ke situs web yang dituju. Mini program tidak berbeda. Yang membedakan mini program dengan versi web ialah integrasinya dengan WeChat.
Ketika bergabung dengan mini program, aplikasi pihak ketiga bisa menggunakan segala keungulan WeChat, dari fasilitas log-in hingga sistem pembayaran. Karena WeChat adalah aplikasi penting bagi warga Cina, pemilik mini program tidak perlu bersusah payah agar warga Cina mengunduh aplikasi native mereka. Perusahaan-perusahaan besar seperti JD, Tesla, hingga Google kepincut dan miliki mini program di WeChat.
Kini, ada 200 industri dengan 100 miliar transaksi terjadi di WeChat.
Cukup dengan WeChat di Android atau iOS, segala kebutuhan netizen Cina terpenuhi. Jika saja mereka mau bekerja keras membuat ponsel yang hanya menjalankan WeChat, barangkali Ren Zhengfei, pendiri Huawei, bisa tertawa.
Editor: Windu Jusuf