tirto.id - Sebuah informasi terkait tes PCR (Polymerase Chain Reaction) yang biasa digunakan untuk mendeteksi infeksi virus penyebab COVID-19 tersebar di media sosial. Informasi yang disampaikan oleh akun Twitter bernama @ANDYVIEN (arsip) pada tanggal 22 Juni 2021 tersebut menyatakan bahwa penemu alat tes PCR, Kary Mullis, tidak pernah mengatakan bahwa alat ciptaannya dapat mendeteksi penyakit/infeksi virus di tubuh seseorang.
Akun itu juga membagikan foto Kary Mullis yang telah berpulang pada 2019 lalu. Ia juga mengklaim bahwa Mullis menyatakan bahwa alat PCR hanya dirancang untuk membuat salinan sampel DNA tertentu, yang nantinya dapat dipelajari dalam jumlah yang cukup besar. Jadi, menurutnya, alat PCR bukan dirancang untuk mendeteksi infeksi atau virus tertentu.
Cuitan yang dibagikan oleh @ANDYVIEN ini merupakan balasan terhadap komentar Dr. Samuel L. Simon SpKK bahwa vaksinasi tidak menjamin hasil PCR. Di cuitannya, Dr. Samuel menyampaikan bahwa jika hasil tes PCR seseorang positif, berarti orang tersebut bisa jadi terpapar atau terinfeksi virus penyebab COVID-19. Hanya saja, ia juga mempertanyakan kenapa orang-orang dites PCR untuk mendeteksi SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, tapi tidak ada tes PCR untuk virus lain penyebab influenza.
Lantas, benarkah klaim yang disampaikan di atas?
Penelusuran Fakta
Sebelumnya, perlu ditekankan bahwa pemeriksaan fakta ini bertujuan untuk menelisik klaim dari @ANDYVIEN, bukan Dr. Samuel.
Sebelumnya, unggahan terkait tes PCR yang dianggap tak valid dan "menipu" ini banyak disebarkan dalam Bahasa Inggris. Salah satunya adalah sebuah unggahan di media sosial Facebook dengan informasi yang mirip. Unggahan tersebut menyatakan bahwa “PCR tests cannot detect free infectious viruses at all”, yang artinya “Tes PCR tidak dapat mendeteksi virus menular sama sekali”.
Senada dengan informasi yang tersebar di Twitter, unggahan Facebook tersebut berjudul “COVID-19 TEST a FRAUD?” atau "tes COVID-19 adalah sebuah penipuan?". Unggahan yang telah dibagikan sebanyak lebih dari 800 kali tersebut memuat kutipan yang diklaim berasal dari Mullis yang menemukan PCR pada tahun 1985. Sebagai informasi, untuk pencapaian tersebut, Mullis diberi penghargaan Nobel di bidang Kimia pada 1993.
Menurut lembaga pemeriksa fakta Reuters, kutipan di unggahan ini tidak berasal langsung dari penemunya, Kary Mullis, melainkan dari artikel yang ditulis John Lauritsen di New York Native pada Desember 1996 tentang HIV dan AIDS, bukan COVID-19.
Pada artikel itu, ketika membahas soal Kary Mullis dan PCR, Lauritsen menegaskan pandangan Mullis bahwa PCR dimaksudkan untuk mengidentifikasi zat (substance) secara kualitatif, dan bukan kuantitatif. Jadi, PCR digunakan untuk mendeteksi sekuens genetika, atau disebut juga sekuens DNA, dan bukan virus itu sendiri. Tes ini tidak bisa mendeteksi virus bebas yang menular di dalam diri seseorang, tapi hanya protein dari virus tersebut.
Misalnya, pada artikel itu pula, dibahas mengenai penggunaan PCR untuk melakukan tes viral load, yang gunanya untuk menghitung jumlah virus HIV yang menginfeksi tubuh manusia dalam darah. Perhitungan ini saat itu digunakan untuk membuktikan keampuhan obat bernama protease inhibitor untuk orang-orang yang terinfeksi HIV.
Namun, dalam artikel itu, Mullis tak menyetujui penggunaan PCR untuk kepentingan tersebut. “Tes PCR kuantitatif adalah oksimoron," katanya. Sebab, PCR tak pantas untuk mengestimasi jumlah. Tes viral load ini hanya dapat mendeteksi protein yang diyakini, dalam beberapa kasus, bersifat unik seperti HIV.
Meski Mullis sempat menyuarakan pernyataan serupa sebelum kematiannya pada 2019, kutipan ini tidak berarti tes PCR tidak dapat mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 - virus penyebab COVID-19 - melainkan tidak dapat menentukan apakah individu yang diuji menularkan virus tersebut atau tidak.
Meski begitu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 17 Maret 2021 menyebutkan bahwa organisasi tersebut masih merekomendasikan PCR sebagai standar emas untuk tes pendeteksi SARS-CoV-2, virus penyebab Corona. Tes antigen, yang di artikel WHO disebut sebagai antigen-detecting rapid diagnostic tests (Ag-RDTs), disebut tidak menggantikan tes PCR, melainkan melengkapi dan mempercepat kapasitas tes negara untuk virus COVID-19.
Menurut dokumen WHO pada Januari 2021 pula, real-time reverse-transcription PCR (RT-PCR) dapat mendeteksi infeksi SARS-CoV-2 yang sedang berlangsung saat itu dan bisa mengidentifikasi kasus-kasus dimana virus tak menimbulkan gejala.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa informasi bahwa tes PCR bersifat palsu dan tak dapat mendeteksi virus bersifat partially false atau salah sebagian. Walaupun betul bahwa PCR dimaksudkan untuk mengidentifikasi partikel virus secara kualitatif, dan tidak dimaksudkan untuk pengukuran kuantitatif, tidak benar bahwa PCR tidak dapat mengidentifikasi virus SARS-CoV-2.
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty