tirto.id - Selama ini kita beranggapan bahwa menikah membikin hidup jadi lebih sehat. Ada kepercayaan mengatakan harapan hidup menjadi lebih panjang dengan menikah. Padahal kenyataannya dapat dilihat secara kasat mata: orang-orang yang menikah cenderung bertambah berat badannya.
Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa menikah memiliki efek positif bagi kesehatan. Misalnya penelitian oleh Robert G. Wood dkk tahun 2007. Peneliti menyatakan sampel yang menikah memiliki kesehatan mental lebih baik dan mempunyai kesadaran lebih tinggi memiliki asuransi kesehatan. Anak-anak dari orang tua yang menikah juga diyakini lebih sehat saat dewasa.
Kemudian, ada penelitian lain oleh Carlos L. Alviar M.D dkk, tahun 2014. Ia menyatakan orang yang menikah memiliki 5 persen risiko lebih rendah terkena penyakit kardiovasikular. Tak hanya itu, mereka juga cenderung memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit lain. Misalnya 8 persen lebih rendah risiko penyakit aneurisme aorta perut. Yakni penonjolan pembuluh darah utama yang membawa darah dari jantung ke organ dan jaringan di bagian bawah tubuh.
Lalu 9 persen lebih rendah pada risiko penyakit pembuluh darah di otak (serebrovaskular). Dan 19 persen risiko lebih rendah terkena penyakit arteri perifer. Yakni masalah sirkulasi dimana penyempitan arteri yang terjadi mengurangi aliran darah ke kaki.
Baca juga:Tak Perlu jadi Superman untuk Menolong Korban Henti Jantung
Sementara itu, orang yang bercerai dikaitkan dengan risiko 3 persen lebih tinggi terkena penyakit vaskular. Dan 7 persen lebih tinggi terkena penyakit arteri koroner. Orang yang menikah dan berusia 50 juga memiliki 12 persen risiko lebih rendah terkena penyakit turunan. Meski angka ini akan menurun menjadi 7 persen pada usia 51 sampai 60, dan hanya 4 persen bagi yang berumur 61 tahun ke atas.
Namun, ragam manfaat kesehatan tersebut yang diklaim didapat setelah menikah dibantah oleh hasil riset lainnya. Penelitian oleh Charlotte A. Schoenborn dkk pada tahun 2004 misalnya. Mereka meneliti perbedaan status menikah yang berdampak pada kesehatan pada tiga kelompok umur. Yakni kelompok 18-44 tahun, 45-64 tahun, dan 65 tahun ke atas. Perbedaan paling mencolok ada di kelompok usia 18-44 tahun.
Peneliti menemukan adanya indikator kesehatan negatif untuk orang dewasa yang sudah menikah. Mereka jadi rentan mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Sementara itu kelompok lajang justru menjadi kelompok paling tidak rentan terkena obesitas.
Lalu, penelitian oleh Brown WJ dkk, pada tahun 2003 juga mengemukakan bahwa perempuan cenderung tidak aktif secara fisik setelah menikah. Studi ini juga menunjukkan kecenderungan serupa pada perempuan yang telah memiliki anak dan mempunyai pekerjaan dengan gaji lebih tinggi.
Baca juga:Obesitas Mengancam Anak Indonesia
Kedua penelitian terakhir merepresentasikan fakta yang terjadi di masyarakat. Secara umum orang-orang yang menikah cenderung memiliki berat badan lebih tinggi dibanding saat mereka masih lajang. Doni Purwanto, seorang akuntan di salah satu perusahaan ritel membenarkan. Ia bercerita berat badannya sebelum menikah berada di angka 65 kg. Namun, setelah satu tahun pernikahan, angkanya naik menjadi 85 kg.
“Memang jadi jarang olahraga, sih, semenjak nikah,” katanya.
Doni mengaku jadi sulit menyisihkan waktu berolahraga. Karena waktunya dihabiskan untuk bekerja dan berkumpul bersama istri serta anaknya. Jika sebelum menikah Doni bisa setiap hari berolah raga, kini, ia hanya bisa menyempatkan berlatih fisik seminggu sekali.
Pengalaman lain juga diceritakan Puput, perempuan yang baru saja merayakan setahun masa pernikahan itu sering mengeluhkan fisiknya jadi tak sekuat dulu. Puput pernah tergabung dalam organisasi pecinta alam di universitasnya.
Ia terbiasa melakukan ragam aktivitas fisik seperti mendaki dengan membawa banyak beban. Namun, seperti halnya Doni, ia mengaku tak lagi melakukan latihan fisik untuk melatih ketahanan tubuhnya karena tak punya waktu.
“Dulu naik gunung lebih dari 3000 mdpl santai saja. Sekarang, naik yang 2000 mdpl doang terasa capeknya.”
Baca juga:Hipotermia yang Kerap Membunuh Pendaki Gunung
Manfaat Menikah Tak Signifikan
Penelitian terbaru yang diterbitkan pada Juli 2017 mengungkapkan bisa jadi menikah memang memiliki manfaat kesehatan. Namun, sang peneliti, Dmitry Tumin menyatakan hubungan tersebut tak terlihat secara signifikan dan cenderung subjektif.
Ia memperhatikan perubahan kesehatan pada 12.373 pria dan wanita dari tiga kelompok kelahiran yang berbeda, yakni tahun 1955-1964, 1965-1974, dan 1975-1984. Sampel tersebut dikelompokkan lagi menjadi belum pernah menikah, dalam usia pernikahan 1-4 tahun, 5-9 tahun, dan 10 tahun atau lebih.
Hasil penelitian Tumin mendukung apa yang dialami Doni dan Puput. Hasil penelitiannya menyatakan tak ada efek perlindungan bagi tubuh terhadap risiko kesehatan. Ia menduga, hanya ada sedikit waktu bagi pasangan untuk menyegarkan pikiran mereka.
Konflik di tempat kerja dan keluarga membuat pasangan jadi depresi, sehingga menghilangkan beberapa manfaat kesehatan yang terkait dengan pernikahan. Meski begitu, terdapat perbaikan kesehatan hanya pada wanita yang menikah lebih dari 10 tahun, yakni mereka yang lahir antara tahun 1995 dan 1964. Namun, hasilnya juga tak signifikan.
“Tuntutan yang tinggi dan waktu berkumpul sedikit membuat pernikahan lebih sebagai sumber konflik dan stres daripada sumber kesehatan mereka," tulisnya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani