tirto.id - Ketika baru pertama kali datang ke Indonesia, Indonesianis sohor Ben Anderson berkenalan dengan banyak mahasiswa yang kuliah di Jakarta. Salah satu dari mereka adalah pemuda asal Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah. Soal pemuda ini, Ben berhasil mengorek bahwa keluarganya adalah pendukung PKI sejak 1926.
“Ya, bapak saya selalu pilih PKI dan kakek saya PKI tulen, ditangkap waktu pemberontakan tahun 1926-27. Buat gua, PKI adalah garis leluhur,” kata si mahasiswa asal Bagelen ini kepada Ben.
Karena di mata Ben pemuda Bagelen terpelajar ini cukup nakal—suka minum bir dan menggoda gadis-gadis—maka di hari lain, Ben iseng bertanya soal seks.
“Pengalaman pertama dengan cewek bagaimana?” tanya Ben.
Ternyata, ada ada adat yang rada unik di desa si pemuda Bagelen ini. Tanpa ragu, si pemuda ini bercerita: di desanya ada seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun, tak pernah kawin, hidup tanpa famili, dan sangat dihormati tokoh-tokoh desa. Tugas wanita itu adalah mengajarkan seks bagi anak-anak muda. Saat pemuda Bagelen ini berumur 15 tahun, ia dibawa ke rumah perempuan itu. Ia disuruh tidur di sana selama satu malam dengan si perempuan.
“Sukses,” kata si pemuda Bagelen ini, walau awalnya gugup.
Saat bercerita, Ben lupa menyebutkan bahwa perempuan yang mengajari soal seksualitas pada si pemuda itu punya sebutan. Mereka biasanya disebut gowok.
Kisah sang pemuda Bagelen itu mirip dengan cerita dalam novel berlatar tahun 1950an: Nyai Gowok (2014) karya Budi Sardjono. Dalam karya fiksinya ini, Budi bercerita tentang Bagus Sasongko yang dititipkan pada Nyai Lindri, seorang gowok yang aslinya bernama Goo Hwang Lin.
Goo Hwang Lin ini adalah keturunan dari Goo Wok Niang, yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho ke Jawa. Goo Wok Niang digambarkannya sebagai pembawa tradisi gowok asal Tiongkok ke Jawa. Menurut Budi dalam novelnya, kata gowok dipakai untuk mengenang Goo Wok Niang.
Setidaknya, sudah ratusan tahun tradisi nan tabu ini hadir di Jawa. Jauh sebelum Budi Sardjono, menurut catatan buku Sastera Melayu dan Tradisi Kosmopolitan (1987), “Pada tahun 1936, Liem Khing Hoo menulis sebuah novel etnografis lagi yang berjudul Gowok dan yang cukup menghebohkan.”
Terlepas dari rekonstruksi imajiner Budi Sardjono dan Liem Khing Hoo, Ahmad Tohari dalam novel legendarisnya juga menyinggung dunia gowok. Isinya tak jauh beda dengan yang digambarkan Budi Sardjono. Menurut Ahmad Tohari, Gowok digambarkan sebagai perempuan yang disewa oleh untuk mengajarkan banyak hal tentang kehidupan bagi seorang bujangan yang hendak menikah.
“Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa. Dan menjelang kawin.....Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak laki-laki itu banyak hal perikehidupan berumah-tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara baik. Misalnya bagaimana mengajak istri kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur terpisah,” kata Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk (1982).
“Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti seorang gowok. Yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru,” tulis Tohari.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar di daerah Banyumas. Kabupaten ini tak terlalu jauh dari daerah Bagelen (Purworejo) dan Temanggung, tempat asal kawan Ben dan kampung Bagus Sasongko.
Iman Budhi Santosa, penulis lain, punya definisi dan gambaran yang mirip dengan Tohari dan Sardjono. Dalam bukunya Kisah Polah Tingkah: Potret Gaya Hidup Transformatif (2001), Iman menyebut bahwa gowok punya peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat di masa lalu.
“Begitu lamaran dari calon pengantin pria diterima dan hari pernikahan ditentukan, kedua keluarga harus bersepakat memilih gowok untuk calon pengantin pria tersebut... Setelah persetujuan tercapai, keluarga calon pengantin pria menghubungi gowok yang bersangkutan... Selanjutnya calon pengantin pria diserahkan kepada gowok (tinggal di rumah gowok) untuk mendapatkan pelajaran teori maupun praktik perihal seluk-beluk hubungan suami-istri. Diharapkan apa yang diperoleh dan dipraktikkan gowok tersebut dapat dikuasai dengan baik (mahir) supaya nantinya dapat mengajari istrinya.”
Dulu, menurut Iman, memang terdapat profesi gowok di Banyumas. Gowok berperan sebagai pemberi pelajaran dan praktik hubungan seks kepada calon pengantin pria. Mereka biasanya adalah wanita dewasa yang berusia 23-30 tahun. Sebelum perkawinan yang dianggap sakral, wajib hukumnya seorang laki-laki untuk belajar bagaimana menafkahi batin istri. Bekerja banting tulang untuk kebutuhan materi belum dianggap cukup sebagai persiapan berumah-tangga.
Penekanan soal ini juga ada di bagian-bagian akhir novel Nyai Gowok. Misalnya saat Nyai Lindri berpesan kepada Bagus Sasongko: “Saya akan senang jika kelak mendengar Mas Bagus bisa membahagiakan istrimu lahir batin...”
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani