tirto.id - Beberapa waktu yang lalu media sosial ramai membahas batasan umur pada lowongan pekerjaan di Indonesia. Warganet mengeluhkan mengapa di Indonesia lowongan pekerjaan maksimal 25 tahun, 30 atau paling tua 35 tahun. Kemudian, warganet membandingkan lowongan pekerjaan di luar negeri yang masih menerima pekerja usia 50 tahun, seperti selebgram Bunda Corla yang diterima kerja di sebuah restoran cepat saji di Jerman.
Menurut Lily Johan, Career Coach dan penulis mengatakan, jika membandingkan dengan keadaan di luar negeri, akan sangat berbeda karena ada perbedaan demografi dan jumlah penduduknya. Di banyak negara maju, jumlah angkatan kerja usia muda tidak sebanyak di Indonesia.
“Permintaan pekerjaan banyak, namun supply (pasokan) pekerja sedikit, sementara di Indonesia supply pekerja dengan usia muda ini sangat banyak, sehingga terjadi persaingan dalam merebut suatu posisi pekerjaan.”
Selain itu, di negara maju, penduduk asli yang berpendidikan lebih tinggi tidak mau bekerja di sektor domestik seperti pekerjaan membersihkan toilet, menjadi pegawai restoran, kasir supermarket dan lain sebainya. Oleh karenanya, imigran berarpapun umurnya, selama belum masuk usia pensiun dengan mudah menempati posisi sektor pekerjaan seperti itu.
Lily mencontohkan kasus lain di Singapura, pekerja yang membersihkan toilet atau tukang sapu banyak telah berusia senior, karena negara tersebut kesulitan mencari pekerja muda, sehingga usia senior pun masih tetap bekerja. “Bentuk demografi penduduk suatu negara akan menentukan bagaimana kebijakan pemerintah dan perusahaan dalam menentukan usia pekerja mereka.”
Di Indonesia sendiri sudah ada Undang Undang yang mengatur tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan yaitu Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan).
UU ini menyoroti mengenai sistem pengupahan yang sama antara pekerja laki-laki dan perempuan, termasuk juga perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pekerjaan dan jabatan. Pengesahan konvesi ini juga secara khusus melarang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan.
Di Indonesia sendiri, UU Ketenagakerjaan membatasi usia minimum 18 tahun dan tidak ada batasan usia maksimal. Pembatasan usia ini lebih ditujukan pada perlindungan tenaga kerja, yang menyangkut keselamatan dan kesehatan, serta moral pekerja.
Untuk usia penerima Jaminan Hari Tua (JHT) atau penerima manfaat pensiun yaitu 56 tahun. “Namun aturan pensiun ini bisa berbeda-beda setiap perusahaan tergantung kesepakatan dengan serikat pekerja.”
Diskriminasi Umur
Dalam dunia kerja ada istilah ageisme, yakni prasangka, stereotipe, atau diskriminasi terhadap kelompok usia tertentu, bisa pekerja usia tua atau usia muda.
Misalnya saja, seseorang dianggap terlalu tua untuk jenis pekerjaan tertentu, padahal keterampilan dan pengalamannya sebenarnya cukup memadai memadai. Perusahaan menganggap pekerja usia tua sulit beradaptasi dengan teknologi.
Menurut data AARP, hampir 2 dari 3 pekerja Amerika Serikat berusia 45 tahun ke atas telah melihat atau mengalami diskriminasi usia di tempat kerja. Di antara 61% responden yang melaporkan bias usia, 91% mengatakan mereka percaya bahwa diskriminasi semacam itu biasa terjadi.
Sementara itu, ageisme juga mendisriminasi pekerja usia muda. Misalnya saj,a seseorang dengan ide-ide yang cemerlang dan kinerja bagus, namun belum diberikan posisi yang strategis karena usianya dirasa terlalu muda oleh perusahaan.
Dalam artikel BBC, data penelitian yang diterbitkan di Journal of Experimental Psychology, Agustus 2021, yang ditulis oleh Michael North dan Stephane Francioli, mengatakan ageisme kini banyak mendera kaum muda. Pekerja usia tua memandang negatif tentang anak muda. Generasi milenial dan Z menghadapi stereotipe dianggap malas, terlalu manja, dan tidak sopan dalam dunia kerja.
Ketika gagasan yang terbentuk mempengaruhi ketidaksukaan terhadap pekerja milenial dan Gen Z digabungkan dengan struktur senioritas tradisional dalam perusahaan, hasilnya dapat menjadi lingkungan tempat kerja berdampak negatif pada tangga karier pekerja muda, menghambat kemajuan, dan menghalangi kesempatan untuk mendapat bimbingan dan promosi.
Di Indonesia, diskriminasi umur juga banyak menimpa perempuan usia lebih dari 30-an terutama setelah resign karena hamil, melahirkan dan merawat anaknya. Ketika akan kembali ke dunia kerja, banyak dari mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, karena faktor umur dan tanggungan anak.
Lily membenarkan fakta tersebut. “Kalau dibilang sistem ini nggak fair, ya memang nggak fair, namun kondisi di lapangan memang seperti ini.”
Ia menilai karena Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja yang berlimpah, sementara demand lebih sedikit dari supply, perusahaan tentu akan mencari kandidat yang terbaik, dengan usia yang lebih muda, dan dengan membayar gaji yang sama.
Ia menambahkan, jika seseorang tidak memiliki spesifikasi pendidikan, dan keterampilan yang ia miliki juga dikuasai banyak orang, maka dengan mudah pekerjaannya akan digantikan orang lain. Apalagi, jika seseorang sudah tidak bekerja selama lebih dari 2 tahun, akan kesulitan untuk mengejar perubahan teknologi yang membutuhkan ketrampilan-ketrampilan baru.
Saat ini anak-anak muda lebih mudah "menjual diri" melalui website pencarian kerja seperti LinkedIn atau Jobstreet. Dengan adanya teknologi digital yang mudah diakses dan berskala global, membuat recruiter gampang untuk menentukan kandidat yang tepat sesuai kebutuhan perusahaan.
"Berdamai" dengan Ageisme
Lily mengatakan, setiap perusaaan itu pasti memiliki business process dan product yang mana ini semua membatasi usia, jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya. Selain itu budaya perusahaan juga berpengaruh dalam perekrutan karyawan.
“Perusahaan-perusaan asing yang di Indonesia jarang yang membatasi usia kerja. Banyak yang melihat skill dan pengalaman yang dimiliki.” Tak jarang, usia 40-50 tahun masih banyak yang pindah ke perusahaan lain demi pertumbuhan karier.
Menurut Lily, perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan di Indonesia masih membatasi umur, misalnya saja perbankan atau telekomunikasi untuk bagian frontliner.
Perusahaan yang tumbuh juga selalu mencari fresh graduated untuk posisi management trainee yang dididik dan disiapkan untuk menjadi leader. Saat ini, sekitar 70-80% perusahaan didominasi oleh milenial dan gen Z. “Mereka punya tipikal harus memiliki karier yang jelas.”
Sebaliknya, perusahaan yang stagnan mengalami dilema, apakah mempertahankan karyawan lama atau melakukan turn over agar memberikan kesempatan pekerja usia muda untuk menaiki tangga karier.
Membatasi usia dalam pekerjaan tertentu bisa disebut bentuk ageisme, dan di Indonesia hal ini seringkali terjadi. Sebagai pekerja, tentu harus "berdamai" dengan ageisme.
Natalia Autenrieth dalam artikel yang ia tulis, membagikan cara yang dapat digunakan untuk menangani ageisme di tempat kerja.
Investasi diri dalam pertumbuhan dan pengembangan yang berkelanjutan. Misalnya dengan terus membaca, mengikuti tren, berlatih serta mendorong diri Anda untuk melakukan yang lebih baik setiap tahun.
Mencari seorang mentor, baik di dalam perusahaan Anda saat ini atau di luar, yang berdedikasi untuk mendukung kesuksesan.
Jika Anda pekerja senior, buat komitmen untuk melawan stereotipe profesional tua yang sulit berdaptasi dengan perubahan dan teknologi dan tanpa ambisi. Pekerja usia tua memiliki kekayaan akan pengetahuan industri dan organisasi. Jangan menjadi orang yang selalu membawa-bawa usia sebagai alasan mengapa atasan bersikap lunak.
Proyeksikan profesionalisme yang sama dengan kolega Anda yang lebih muda. Go extra miles dengan melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Jangan lupa untuk mengaktifkan jaringan Anda serta meluangkan waktu untuk memperbarui resume dan profil daring Anda.
Pada akhirnya, cara terbaik untuk mencegah diri menjadi korban diskriminasi usia adalah dengan tetap berada di puncak permainan karier Anda sendiri.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi