Menuju konten utama
Misbar

Barbarian, Kala Lingkungan Bobrok Menjadi Sumbu Kisah Horor

Bersumbu pada ruang hidup yang terbengkalai, Barbarian memberi suguhan realistis pada horornya. Penuh kejutan di sana-sini.

Barbarian, Kala Lingkungan Bobrok Menjadi Sumbu Kisah Horor
Film Barbarian (2022). FOTO/IMDb

tirto.id - "Kau seharusnya tak di sana," ujar Catherine kepada Tess. Dengan wajah khwatir, perempuan itu kembali memastikan, "AirBnb di Brightmoor?"

Tess lantas meyakinkan Catherine bahwa dia tak punya pilihan lain, bahwa dia ditemani seorang roommate, dan pembicaraan soal pemilihan tempat menginap yang ganjil itu tak berlanjut. Hidup pun tentunya berlanjut dengan tak baik-baik saja untuk Tess (Georgina Campbell), protagonis Barbarian.

Sejak dirilis pada Oktober 2022 lalu di Disney+, film horor debut penyutradaraan Zach Cregger ini marak dibincangkan. Seperti ujaran sebagian besar mereka yang telah menyaksikannya, Barbarianmemang menawarkan banyak hal. Salah satu di antaranya justru baru saya dapati selepas mengikuti kisahnya dan itulah kekuatan film ini.

Untuk latar ceritanya, Cregger memilih kawasan Brightmoor, Detroit, yang sama sekali bukan fiktif dan bukan neraka yang khusus diciptakan untuk mengantarkan kengerian. Lantas, ada apa dengan Brightmoor?

Selain rumah (tampak) layak yang disewa Tess, lingkungan perumahan yang menjadi latar bergulirnya cerita itu bagai baru melewati peristiwa apokaliptik. Suasana itu tidak kelewat dibuat-buat, horor bagi para penonton adalah realitas bagi mereka yang pernah atau masih menetap di Brightmoor.

Dari laporan University of Michigan, 13 persen rumah tangga di Detroit hidup dengan potensi bahaya akibat kabel terbuka, tungku dan pemanas bermasalah, serta kekurangan air panas atau air mengalir.

Mengacu pada artikel Andrew Mengel di Collider, Brightmoor pada 1920-an mulanya merupakan lingkungan kelas pekerja. Sebagian besar komposisi penghuninya adalah imigran dan orang-orang selatan yang mencari pekerjaan di industri otomotif Detroit yang saat itu sedang booming (Dodge, Chrysler, dan Ford didirikan di sana, begitu juga pembangunan kapal).

Disebabkan beberapa faktor, lingkungan itu perlahan mengalami depopulasi besar-besaran. Pada 1960-an, ketegangan rasial membara dan memicu White Flight—momen ketika para residen kulit putih berbondong-bondong pindah menuju pinggiran kota atau daerah lain di Michigan.

Lalu pada akhir 1980-an, para pengedar narkotika datang lalu merubuhkan dan membakar rumah keluarga yang menolak kehadiran mereka. Disinvestasi publik maupun swasta, kemiskinan yang tumbuh tak terkendali, dan kekerasan ekstrem seperti penembakan dan invasi rumah disaksikan banyak penduduk lama (baik kulit putih maupun hitam).

Mereka yang bertahan menanganinya dengan gaya vigilantisme: memobilisasi kewaspadaan, senjata untuk pertahanan diri, apa pun untuk melindungi diri sendiri.

Kau tahulah, Frank, lingkungan ini semakin bobrok,” ujar tokoh bernama Doug kepada Frank terkait alasan keluarganya meninggalkan Brightmoor. Dalam satu sekuens flashback, Barbarian menjelaskan apa yang terjadi di Brightmoor sekaligus menyingkap bagaimana salah satu villain-nya, Frank (Richard Brake), bisa beroperasi selama puluhan tahun tanpa tersentuh hukum.

Sementara itu, hadirnya perusahaan-perusahaan seperti Airbnb dan Homeaway turut mengubah pola penyewaan properti. Penyewaan jangka panjang yang mulanya diterapkan untuk menampung penduduk dan keluarga sekitar berubah menjadi masa inap jangka pendek yang kian menekan pasokan perumahan.

Dengan segala perubahan itu (ditambah resesi global pada akhir 2000-an) mengantarkan Brightmoor menjadi lingkungan yang kita lihat dalam Barbarian. Rumah terbakar atau hancur berantakan, ditumbuhi semak belukar, dan residennya tampak lebih menyerupai gembel.

Lingkungan dan kehidupan macam apa ini? Terbengkalai oleh pengelola, hukum yang nyaris absen, serta persoalan sosial yang berlapis-lapis menjadi latar sempurna untuk sebuah kisah horor.

Main-main dengan Formula dan Klise

Di sanalah, Tess mendapati rumah nomor 476 sewaannya telah dipesan ganda. Selain atas nama dirinya yang memesan via AirBnb, ada Keith (Bill Skarsgård) yang juga menyewa rumah itu pada hari yang sama lewat Homeaway. Tak ada opsi tersisa baginya lantaran kamar-kamar hotel telah direservasi para peserta konvensi medis di kota.

Dalam suasana seperti terjebak, keramahan Keith bisa jadi justru menimbulkan prasangka penonton bahwa Barbarian bakal berjalan sebagaimana halnya film-film slasher. Lumrah juga bila segala kondisi psikologis, subteks dalam dialog, ataupun ekspresi karakternya menyiratkan ciri beberapa film horor terkini yang kerap dicap elevated horror.

Nyatanya, itu adalah cara Barbarian menampilkan komentar sosialnya menyoal disparitas gender. Kikuknya situasi antara dua orang asing itu juga diterangkan dalam obrolan keduanya—bahwa yang terjadi bisa sangat berbeda bila Tess dan Keith bertukar posisi.

Keakraban antara keduanya lalu dibangun dengan alami dan kemudian memberikan Tess motif untuk kembali ke rumah itu, alih-alih segera ambil seribu langkah. Tess tetap kembali, meski kelak diikuti pilihan-pilihan bodoh khas protagonis horor klasik. Karakter yang demikian, toh, ditampilkan dengan meyakinkan oleh Georgina Campbell.

Suspens berujung kelegaan Tess segera digantikan kengerian sebenarnya: ruang-ruang, lorong gelap tersembunyi di basement rumah, plus kamar tahanan dengan kamera. Hadirnya ruang bawah tanah dan Skarsgård barang sejenak mungkin menimbulkan prasangka lain, gara-gara film It (2017). Adapun wujud puncak kengerian itu justru makhluk perempuan yang berdiam di sana, The Mother (Matthew Patrick Davis), yang menganggap para karakter sebagai bayinya.

Infografik Misbar Barbarian

Infografik Misbar Barbarian. tirto.id/Tino

Kengerian yang baru hadir itu sekonyong-konyong dipotong menuju adegan di jalanan tepi pantai dengan scoring ceria. Sebuah suasana yang kontras. Barbarianlalu banting setir menuju bagian keduanya untuk menyoroti AJ (Justin Long), aktor serial TV, pelaku kekerasan seks, sekaligus pemilik rumah nomor 476.

Latar AJ yang demikian menyingkap beberapa poin pada saat bersamaan, yakni betapa realistisnya kondisi rumah sewaan di Brightmoor. Juga pesan moral (atau penghakiman) khas horor klasik yang bakal menimpanya kelak.

Berbeda dengan Tess yang ketakutan setengah mati kala menemukan ruang dan lorong tersembunyi, AJ justru dengan tenangnya mengukur setiap sudutnya menggunakan meteran. Adegan itu kembali menekankan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menghadapi horor—kalau bukan sepenuhnya demi unsur komedi yang muncul dari sifat narsistis lagi imoralnya AJ.

Perubahan tone yang drastis dalam pergeseran plotnya menjadi keunikan Barbarian. Bahwa film ini sama sekali bukan hanya apa yang disajikannya pada bagian pertama. Kisah yang sedari mula mampu meresap dengan alami itu jadi kian enak diikuti dan kian gelap.

AJ menemukan makhluk lain di bawah tanah, yang tak lain adalah Frank. Tua dan sekarat di ruangan penuh rekaman VHS berisi nama-nama yang kelak kita ketahui adalah para perempuan korbannya. Orang ini adalah penculik berantai, pelaku incest multigenerasi (yang menghasilkan makhluk seperti The Mother), pelaku teror yang selamanya tak terendus.

Di atas tanah, penegak hukum sama sekali tak bisa diandalkan dan sutradara Cregger kembali mengusik persepsi penonton. Sang polisi memang tak mengatakan apa pun soal penampilan Tess yang kini lusuh diterpa teror. Akan tetapi, pengabaian si aparat, selain karena Tess tak memiliki ID card, sangat mungkin menimbulkan prasangka: ini adalah potret pihak berwenang memalingkan muka dari kawasan tak terurus, dari kesenjangan sosial-ekonomi. Tak ada harapan, pula pertolongan untuk si miskin.

Di atas tanah pula, kita mendapati residen setempat yang menyerah, yang kini “hidup berdampingan” dengan monster. Andre (Jaymes Butler) yang telah lebih dari 15 tahun tinggal di sana juga menghadirkan rasa aman barang beberapa saat, sebentar saja, karena segera setelah itu dia dibunuh oleh The Mother.

Adegan kematian Andre menjelang akhir kisah juga diperlukan untuk menyampaikan humor—yang sebenarnya cukup banyak berserak sepanjang film. Dari AJ dengan meterannya, perenungan mendalam akan moralnya (yang tak berujung apa-apa), hingga lagu Be My Baby oleh The Ronettes yang kini bisa jadi memiliki makna berbeda ketika didengarkan ulang.

Begitulah Barbarian dengan segala humor, horor, dan komentar sosialnya.Dengan segala utak-atik pada klise horor dari latarnya yang realistis, film ini sanggup membuat khalayak betah menontonnya. Untuk beberapa bagian atau keseluruhan, film ini berkesan lebih dekat pada kata “cerdas” ketimbang “dangkal”.

Baca juga artikel terkait DISNEY PLUS atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi