Menuju konten utama

Bagaimana Pemerintah Awasi PNS dari Paparan Radikalisme?

Menag menyatakan tak ragu memberi sanksi kepada PNS di Kemenag yang terbukti terlibat terorisme, termasuk kepada W.

Bagaimana Pemerintah Awasi PNS dari Paparan Radikalisme?
Polisi berjaga di depan sebuah rumah usai penangkapan terduga teroris di kawasan Dukuh Pakis, Surabaya, Selasa (15/5/2018). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

tirto.id - “Atas peristiwa ini, kami memetik pelajaran dengan cara lebih memperketat dan mewaspadai bahwa seluruh ASN [Aparatur Sipil Negara] kami sama sekali tidak boleh terkait, apalagi melakukan terorisme.”

Pernyataan itu diungkapkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, Selasa malam (15/5/2018) menanggapi fakta bahwa istri terduga teroris di Sidoarjo, Jawa Timur adalah pegawai di instansinya. Perempuan dimaksud berinisial W dan merupakan PNS di Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur.

Polisi menembak suami W, Budi Satrio, di kediamannya Senin pagi (14/5/2018). Budi tewas saat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengepung rumahnya. Setelah itu, W dibawa aparat kepolisian.

Lukman membenarkan posisi W sebagai bawahannya. Ia pun mengaku belajar dari kejadian itu. Akan tetapi, Lukman berkata, lembaganya memiliki keterbatasan untuk mengawasi seluruh aktivitas pegawai.

“Karena Kemenag adalah lembaga yang punya satuan kerja terbanyak di seluruh Indonesia, tidak kurang dari 4.457 satker [satuan kerja] yang membawahi 220 ribu ASN. Kami punya keterbatasan untuk bisa mengetahui secara persis aktivitas keseharian dari setiap ASN di luar jam kerja,” kata Lukman.

Menteri dari PPP itu pun menyatakan tak ragu memberi sanksi kepada PNS di Kemenag yang terbukti terlibat terorisme, termasuk W. Hukuman bagi W akan diberikan setelah putusan hukum dan hasil penyelidikan sudah keluar.

Ke depannya, kata Lukman, secara formalitas kementeriannya akan lebih waspada dalam merekrut pegawai baru. Menurut Lukman, sumpah PNS untuk setia pada Pancasila dan NKRI harus dijaga.

“Harus betul-betul dijaga dan menjadi ukuran pertama dari seluruh ASN di Kemenag,” kata Lukman.

Tanggung Jawab Kementerian

Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Herman Suryatman berkata, tanggung jawab membina dan mengawasi PNS berada di tangan masing-masing Kementerian/Lembaga.

Menurut Herman, ketentuan itu tercantum di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Beleid itu mengatur siapa yang berhak memberi sanksi pada PNS pelaku pelanggaran.

"Sesuai PP 53/2010 tentang Disiplin PNS [hak memberi sanksi] adalah milik Pejabat Pembina Kepegawaian, dalam hal ini Menteri Agama," kata Herman.

Penjelasan lebih rinci disampaikan Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan. Menurut dia, ada 4 aturan yang menjadi dasar pengawasan PNS.

Keempat aturan dimaksud adalah UU 5/2014 tentang ASN, PP 42/2004 tentang Kode Etik PNS, PP 53/2010 tentang Disiplin PNS, dan PP 11/2017 tentang Manajemen PNS.

Menurut Ridwan, pemerintah sudah merasa cukup terkait peraturan yang mengatur pengawasan PNS. Masalahnya, kata dia, tinggal terletak pada implementasi pengawasan di lapangan.

"Kami harus mencari cara baru mengawasi dan mendeteksi dini bibit-bibit radikalisme PNS. Kepala BKN mendorong para atasan langsung mem-follow bawahan untuk memantau anak buah saat beraktivitas di media sosial," ujar Ridwan.

Alih-alih menjelaskan pengawasan dan deteksi dini yang sudah berjalan selama ini, Ridwan justru mengimbau agar masyarakat turut aktif mengawasi PNS di dunia maya. Ia mengimbau agar warga mau melaporkan unggahan di media sosial yang memuat konten negatif, termasuk terorisme, ke situs lapor.go.id.

Infografik CI sulitnya mendeteksi PNS Teroris

Intelijen Kantongi Data PNS Terduga Radikal

Pengawasan dan deteksi dini potensi perilaku radikal di kalangan PNS diklaim sudah dilakukan sejak lama. Direktur Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto mengatakan, kunci pengawasan PNS ada di badan inspektorat masing-masing kementerian dan lembaga.

Wawan menjelaskan, BIN sebenarnya memiliki data semua PNS yang diduga terpapar paham radikal. Akan tetapi, penindakan dikembalikan ke masing-masing instansi tempat mereka bernaung.

"Data punya kami, semua, dan data itu di share ke masing-masing K/L [kementerian/lembaga] untuk ditindaklanjuti karena semuanya mekanismenya tetap melalui K/L tersebut untuk melakukan pemeriksaan BAP. Jadi tidak semuanya tersentral ke BIN," ujar Wawan kepada Tirto.

Penindakan PNS yang diduga radikal tergantung hasil penyelidikan inspektorat masing-masing lembaga. Setelah diberi sanksi, PNS terkait juga masih bisa mengajukan banding hingga putusan hukum tetap terbit.

Menurut Wawan, PNS yang diduga terpapar paham radikal masih diizinkan menyampaikan bantahan. Alibi bisa disampaikan dalam forum pemeriksaan.

"Kalau ASN, kan, ketika dia menjabat ada sumpah jabatan. Jadi dari situ [disumpah] memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Kalau misalnya ideologi lain, bertentangan sudah pelanggaran berat dari sumpah. Ya perlu dibuktikan terkontaminasinya itu sampai sejauh mana, kemudian dari mana dia terpapar," kata Wawan.

PP 53/2010 mengatur PNS yang melanggar sumpah setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah dapat diberikan hukuman ringan hingga berat. Jenis hukuman tergantung luasnya dampak kerugian yang ditimbulkan PNS terkait.

Sanksi paling ringan yang bisa diberikan adalah teguran lisan, tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis.

Hukuman terberat yang menanti, sesuai Pasal 7 ayat (4) beleid itu, adalah "penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS."

Dalam konteks keterlibatan PNS dalam gerakan terorisme, Wawan berkata bahwa sanksi terberat bisa diberikan pada mereka.

"Kan ada ASN menikah, setelah itu terjadi pergulatan dan dia menikah dengan orang yang pahamnya radikal, terus dia ikut. Itu terjadi juga dan diproses di inspektorat. Kalau ada ikatan dinas ya dia harus ada hukuman di samping diberhentikan. Tergantung penilaian melanggarnya sampai sejauh mana," kata Wawan.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian & Naufal Mamduh
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz