Menuju konten utama

AURI Berjasa dalam Revolusi Kemerdekaan Lewat Jawatan Radionya

AURI hanya punya sedikit pesawat selama Revolusi 1945-1949. Namun, AURI punya sistem perhubungan radio yang mumpuni.

AURI Berjasa dalam Revolusi Kemerdekaan Lewat Jawatan Radionya
Header Adhi Soemarmo. (tirto.id/Fuad)

tirto.id - Setelah Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) membangun sekolah penerbangan, maka sekolah perhubungan pun menyusul. Mula-mula dibuka Sekolah Radio Telegrafis untuk mendidik tenaga perhubungan AURI. Sekolah itu mulanya dipimpin oleh Opsir Muda Udara II Mochamad Tohir Harahap, seorang bekas markonis (juru telegraf) di kapal selam Koninklijk Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda).

Selain Tohir, ada pula seorang guru radio bernama Boediardjo. Tentang Tohir, Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (2005) menyebutnya pernah juga berdinas sebagai markonis di Marine Luchtvaart Dienst (MLD).

Sekolah Radio Telegrafis, seperti disebut Irna Hanny dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia Perjuangan AURI 1945-1950 (2008, hlm. 46-47), ditutup pada September 1946. Meski begitu, sekolah itu telah jamak dianggap sebagai pelopor balai pendidikan perhubungan AURI. Setelah itu, pimpinan AURI menunjuk Adi Soemarmo Wirjokoesoemo untuk mengembangkan bagian perhubungan dan radio AURI lebih lanjut.

“Kinerja AURI menjadi semakin baik dengan datangnya Adi Soemarmo Wirjokoesoemo, seorang mantan anggota Flight Radio Operator (operator radio udara) dari The Nederlands East Indies Air Force (armada udara Hindia Belanda) yang berpangkalan di Australia, dan sempat diungsikan ke Amerika,” aku Marsekal Madya Boediardjo (hlm. 33).

Pengalaman orang radio macam Adi Soemarmo tentu penting bagi militer Indonesia. Sebagai bekas militer Belanda, Adi Soemarmo tentu paham cara berpikir militer Belanda.

Adi Soemarmo disebut kelahiran Blora, 31 Oktober 1921. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Europe Lager School (ELS) dan Meer Uitgerbeid Lagere Onderwijs (MULO). Sama seperti Boediardjo, Adi Soemarmo bergabung dengan jawatan penerbangan KNIL alias Militaire Luchtvaart (ML) setelah selesai belajar di MULO.

Posisi operator radio di KNIL memang terbuka untuk orang-orang Indonesia yang pernah belajar di sekolah yang mengajarkan bahasa asing seperti MULO. Selain bagian zeni, bagian penerbangan KNIL adalah satuan yang memiliki operator radio.

Karena gagal jadi penerbang KNIL, Boediardjo rela menjadi operator radio di ML dengan pangkat permulaan kopral. Boediardjo harus merasakan sengsara di zaman Pendudukan Jepang. Sementara itu, Adi Soemarmo berhasil ikut Belanda lari ke Australia.

Biasanya, operator radio seperti Adi Soemarmo ditempatkan di squadron udara Belanda di Australia, yakni Squadron Udara ke-18 dan Skuadron ke-10. Selain Adi Soemarmo, ada pula beberapa calon penerbang KNIL pribumi yang terbawa ke Australia, antara lain Haji Muhammad Sujono, Raden Iswahjoedi, dan Raden Harry Poerwono. Sebagian dari mereka lalu bergabung ke AURI setelah Indonesia merdeka.

Pangkat Adi Soemarmo sewaktu memimpin jawatan perhubungan AURI adalah opsir muda udara I—yang setara dengan kapten. Pangkat Boediardjo—yang belakangan menjadi Menteri Penerangan—waktu itu adalah sersan mayor udara. Dalam dua tahun, pangkat Boediardjo naik jadi Kapten.

Kawan Boediardjo yang terlibat dalam pembangunan radio militer di Indonesia adalah Wagiman dan Suhardi. Seperti halnya Boediardjo, keduanya dari adalah jebolan ML. Setelah Indonesia merdeka, Wagiman dan Suhardi memimpin sekolah radio di tubuh Angkatan Darat.

Boediardjo pernah bersama keduanya dalam mengadakan kursus radio. Boediardjo membawa 16 orang dari AURI untuk ikut kursu itu. Salah seorang peserta kursus itu adalah Radius Prawiro yang di kemudian hari menjadi Menteri Perdagangan RI.

Adi Soemarmo, Boediardjo, dan Tohir Harahap kemudian sepakat membangun kursus radio AURI yang lebih serius lagi. Selain para pendiri itu, jajaran pengajar kursus radio juga diisi oleh Suharto dan J. Luhukay. Buku Sejarah TNI Angkatan Udara: 1945-1949 (2004, hlm. 67) menyebut Luhukay berjasa dalam dalam pengadaan dan persiapan pesawat radio untuk keperluan pendidikan calon operator radio tersebut.

Infografik mild adhi soemarmo

Infografik mild adhi soemarmo. (tirto.id/Fuad)

Sayangnya, Adi Soemarmo tidak bisa lebih lama di AURI. Pasalnya, dia gugur dalam insiden pesawat Dakota VT-CLA yang membawa bantuan dari Palang Merah luar negeri ke Indonesia pada 29 Juli 1947.

Tak hanya Adisoemarmo saja yang gugur pada hari itu. Orang-orang penting AURI seperi Adisoetjipto dan dr. Abdurachman Saleh juga ikut gugur. Pesawatnya yang mengangkut ketiga orang itu jatuh ditembak pesawat pemburu Belanda ketika akan mendarat di Lapangan Terbang Maguwo. Setelah dievakuasi, di jenazah Adi Soemarmo ditemukan lubang bekas peluru yang masuk dari punggung sebelah kanan dan keluar dari perut sebelah kiri.

Tahun 1947 kemudian dikenang AURI sebagai tahun penuh kehilangan. Sebagai penghormatan atas pengorbanannya, nama mereka yang gugur lantas diabadikan jadi nama bandara. Adisoetjipto jadi nama bandara di Yogyakarta, Abdurachman Saleh jadi nama bandara di Malang, dan Adi Soemarmo diabadikan di bandara di Surakarta.

Setelah kematian Adi Soemarmo, radio AURI tetap eksis dalam Revolusi Kemerdekaan. Boediardjo lalu sempat menjadi Kepala Jawatan Radio Angkatan Udara setelah 1947 dengan pangkat kapten.

Sepanjang Revolusi, kekuatan terpenting AURI bukanlah pesawat tempur seperti seharusnya angkatan udara di negara lain. AURI saat itu hanya punya sedikit pesawat dan bukan difungsikan untuk pertempuran, melainkan lebih untuk transportasi. Kelebihan utama AURI di masa itu adalah sistem perhubungan radionya yang dikembangkan dengan baik.

Tak sedikit orang Indonesia yang sadar bahwa radio AURI sangat berjasa di masa sulit. Misalnya, radio jarak jauh AURI berjasa bagi kelancaran komunikasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berbasis di Sumatra. Maka tak heran pasukan khusus Belanda pernah diterjunkan ke sekitar Gunung Kidul untuk membersihkan orang-orang radio AURI yang bergerilya.

Baca juga artikel terkait AURI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi