tirto.id - Liverpool mengalahkan AS Roma di Anfield dengan skor 5-2 pada leg pertama semifinal Rabu (25/04/2018). Malam nanti, di Olimpico (03/05/2018), kedua tim kembali bertemu.
Sebelum membahas pertandingan nanti malam, mari simak kembali apa yang terjadi di Anfield minggu lalu, ketika Liverpool menghadirkan “neraka” untuk Serigala Roma.
Neraka 60 Menit di Anfield
Di fase masa melatih Liverpool, Bill Shankly pernah dengan pongah berujar: “Saya ingin membangun tim yang tak tersentuh, hingga mereka harus mengirimkan tim dari Mars untuk mengalahkan kami!”
Kelak omongan Shankly terbukti bukan cuma berbual-bual. Sepanjang 1959–1974, Shankly berhasil membawa Liverpool menyabet berbagai gelar: tiga gelar liga, dua Piala FA, empat Charity Shields, dan satu Piala UEFA. Setelah ditinggal dirinya pun Liverpool masih berjaya bersama Bob Paisley. Bahkan di era Paisley, The Reds menjelma menjadi tim terkuat di Eropa dalam kurun 1974-1983. Tercatat enam gelar liga, tiga Piala Piga, enam Charity Shields, tiga Piala Champions, satu Piala UEFA, hingga satu Piala Super UEFA, diraih Liverpool bersama mantan anak buah Shankly tersebut.
Selain kualitas pemain yang mumpuni, salah satu kekuatan terbesar Liverpool dalam meraih kejayaan adalah Anfield, markas mereka. Sejak digunakan pertama kali pada 1 September 1892, Anfield kerap menjadi momok bagi tiap lawan Liverpool.
Bayangkan adegan ini: sebelum dimulai pertandingan, puluhan ribu Kopites di tribun serentak membentangkan spanduk sambil menyanyikan “You’ll Never Walk Alone”. Lalu sesaat setelah kubu lawan memasuki lapangan, nyanyian tersebut dipadukan dengan segala bentuk intimidasi. Bahkan “mimpi buruk” sudah dipersembahkan sejak luar lapangan.
John Terry, mantan kapten Chelsea, memberi kesaksian pengalaman horor yang ia alami saat The Blues bertandang ke Anfield pada semifinal Liga Champions musim 2004-2005.
“Selain volume, [pemandangan suporter Liverpool] juga terlihat spektakuler. Beberapa detik sebelum wasit meniup peluit untuk memulai pertandingan, seluruh stadion mengeluarkan teriakan panjang seolah mereka dapat memberikan Liverpool kekuatan untuk meraih kemenangan.”
Liverpool pun berhasil menjadi jawara Eropa pada musim tersebut juga dengan cara spektakuler: membalikkan skor 0-3 dari AC Milan dan memenangkan duel adu penalti.
Korban terakhir yang mengalami keganasan Anfield, ya, tentu saja: AS Roma. Namun kali ini, bukan intimidasi para Kopites yang “mengalahkan” Roma, melainkan superioritas para pemain Liverpool yang menghabisi I Giallorossi.
Salah tampil fenomenal dengan mencetak dua gol dan dua asis. Saking istimewanya penampilan Salah, sampai-sampai jurnalis BBC, John Bennett, dengan nada hiperbolis mengatakan: “Jika Mohamed Salah terus tampil seperti ini, ia akan melenggang sendirian dalam kontes Balon d’Or. Dan kontes Nobel. Dan kontes Pulitzer. Dan kontes Tuner Prize.”
Sedangkan Firmino juga turut menyumbang dua gol serta satu asis. Bersama Salah, Firmino mendapat ponten 10 dari Whoscored. Sedangkan Mane, kendati kerap bermain egois dan sempat menyia-nyiakan sebuah peluang emas pada menit ke-28, masih dapat menyarangkan sebiji gol untuk The Reds.
James Milner menjadi aktor utama Liverpool di lini tengah. Dialah raungan distorsi paling berisik dalam sepakbola “heavy metal” racikan Juergen Klopp kala kontra Roma. Milner menjadi kreator gol kelima Liverpool yang dicetak Firmino. Dilansir UEFA, itu adalah asis kesembilan yang dibuat Milner di Liga Champions musim ini. Dia melampaui catatan terbaik yang sebelumnya dipegang Wayne Rooney dan Neymar (delapan assist) sejak format saat ini diterapkan pada 2003/2004. Handsball yang ia lakukan pada menit ke-85 yang menyebabkan penalti untuk Roma jadi sedikit termaafkan.
Di lini belakang, Sergio Van Dijk juga menegaskan mengapa ia layak menjadi bek termahal sedunia. Duetnya Dejan Lovren pun demikian. Ia bahkan nyaris menggandakan keunggulan Liverpool andai sundulannya pada menit 38 tidak membentur mistar gawang Roma. Dalam catatan Whoscored, keduanya berhasil memenangi duel area masing-masing 4 dan 7 kali, serta mendapat rating 6,60 dan 6,53.
Hanya saja, “neraka” di Anfield yang diperlihatkan anak asuh Klopp hanya berlangsung kurang lebih 60 menit. Sepuluh menit menjelang berakhirnya pertandingan, keteledoran The Reds muncul dan membuat Roma berhasil mencetak dua gol tandang. Sebelum penalti Diego Perotti, Edin Dzeko lebih dulu mencatatkan namanya di papan skor pada menit ke-81. Skor 5-2 untuk kemenangan Liverpool bertahan hingga laga usai.
Reruntuhan yang Dibangun Ulang di Roma
Normalnya, kekalahan 5-2 sudah cukup membuat orang-orang yakin bahwa Liverpool sudah pasti ke final. Namun Roma musim ini agak lain. Dia melaju hingga ke semifinal selalu dengan cara membalikkan keadaan.
Di babak 16 besar, mereka kalah lebih dulu dari Shakhtar Donetsk 1-2 di leg pertama. Di leg kedua, mereka membalikkan keadaan menjadi 1-0 dan lolos karena unggul dalam gol tandang. Kendati lolos, wajar jika masih banyak orang yang menganggap Roma sedang dinaungi keberuntungan, setidaknya: "Ah, toh, hanya melawan Shakhtar."
Di babak perempatfinal, klub yang diasuh juru taktik Eusebio di Fransesco ini ditunggu oleh Barcelona. Siapa, sih, yang menduga mereka mampu mengatasi Messi, dkk? Tentu saja ada optimisme, setidaknya para suporter Roma.
Namun optimisme itu rasanya menciut hingga titik nadir saat mereka kalah telak 1-4 di leg pertama yang berlangsung di Camp Nou. Dengan selisih gol yang begitu telak, keberhasilan Roma membalikkan keadaan saat menyingkirkan Shakhtar nyaris tak dianggap sebagai gelagat bahwa mereka akan mampu lolos ke semifinal. Sudahlah tertinggal tiga gol, lawan yang dihadapi Barcelona pula.
Namun yang dianggap musykil itu ternyata terejawantahkan di leg kedua. Secara spektakuler, mereka menanggalkan seluruh predikat yang melekat di tubuh Barcelona melalui tiga gol telak. 3-0 di Olimpico.
"Roma telah bangkit dari reruntuhan mereka. [...] Hal yang tak terbayangkan akhirnya terungkap di depan mata kita," kata Peter Drury, komentator BT Sport, sesaat setelah Kostas Manolas mencetak gol ketiga.
Mereka melakukannya bukan dengan cara ala kadarnya. Giallorossi bermain ofensif sejak awal laga dan langsung menekan Blaugrana. Kendati catatan statistik memperlihatkan mereka “hanya” menguasai 45% penguasaan bola, tapi Roma mampu menghasilkan 16 tembakan (tujuh mengarah ke gawang) dan tiga berbuah gol.
Jauh sebelum menumbangkan Bercelona, tak lama setelah leg pertama selesai, Eusebio di Fransesco sebenarnya sudah mewanti-wanti untuk tidak meremehkan pasukannya.
“Mereka yang tidak percaya (kami dapat mengembalikan keadaan), lebih baik tinggal saja di rumah!” katanya dalam intonasi yang jelas.
Menanti yang Musykil dan yang Tidak
Kini lebih banyak orang yang masih yakin Roma masih bisa membalikkan keadaan ketimbang sebelumnya. Kemampuan membalikkan keadaan saat menyingkirkan Shakhtar boleh saja dianggap remeh, tetapi tidak saat dilakukan terhadap Barcelona.
Sesaat setelah Diego Perotti berhasil melesakkan bola ke gawang yang dijaga oleh Karius, wajah-wajah cemas segera menampakkan diri di seantero Anfield. Fakta bahwa tuan rumah saat itu telah mencetak lima gol tidak mampu sepenuhnya menghapus kecemasan kalau Roma dapat membalikkan keadaan di leg kedua. Lagi-lagi, ingatan atas keberhasilan Roma menumbangkan Barcelona menjadi preseden.
Bagi di Fransesco, laga ini akan menjadi pertarungan terbesarnya. Dia pasti sedang berupaya menyalakan harapan di dada para pemainnya bahwa bangunan Roma yang luluh lantak di laga pertama masih bisa dibangun ulang. Laga melawan Shakhtar dan Barcelona menjelaskan bahwa di Fransesco, mengutip pasase milik Gabriel Marcotti, hidung di dunia yang penuh dengan harapan.
"Dia mendiami dunia di mana harapan terus muncul, di mana kita bisa bermimpi besar, di mana kita berkewajiban pada fans untuk berjuang sampai akhir,” tulis Marcotti.
Berhati-hati, atau tidak meremehkan lawan, memang diperlukan. Namun cemas berlebihan mestinya hal yang tak perlu bagi Liverpool. Dengan keunggulan tiga gol, mereka hanya perlu mengamankan skor atau kalah dengan skor tipis dan tetap dapat melaju ke final.
Namun, melihat bagaimana mereka bermain di Anfield minggu lalu, rasa-rasanya, opsi bermain sekadarnya tidak ada dalam benak Juergen Klopp. Ingat bahwa sebelum The Reds mencapai fase semifinal, mereka telah mengalahkan salah satu tim terbaik musim ini, Manchester City, baik di kandang maupun tandang. Agregatnya pun tidak sembarangan: 5-1.
Alexander-Arnold juga telah mengingatkan hal tersebut. Dikutip Soccerwar, ia mengatakan: “Kami kesana (Olimpico--red) untuk menang dan menuju final. Kami tahu mereka akan bermain ngotot untuk mencetak gol. Mereka membutuhkan gol, sebagaimana (Manchester) City. Kami mengalahkan City dan semoga pada Rabu nanti kami juga dapat lolos ujian.”
Dengan catatan statistik yang sama-sama dahsyat musim ini, menarik untuk dilihat siapa yang bakal lolos ke final: Liverpool dengan “heavy metal football” atau Roma dengan auman serigalanya?
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS