tirto.id - Kata klitih hingga Jogja ramai menjadi perbicangan warganet dan trending di Twitter. Hingga Selasa (5/4/2022) kata sudah ada 24,6 ribu tweet yang mengandung kata Jogja dan 22,2 ribu tweet yang mengandung kata klitih.
Trending dan ramainya perbincangan klitih di Jogja sebagai buntut dari aksi klitih yang terjadi pada Minggu (3/2/2022) dini hari dan menyebabkan salah seorang pelajar SMA di Jogja meregang nyawa.
Daffa Adziin Albasith (18) yang ternyata anak anggota DPRD Kebumen Madkhan Anis jadi korban tewas klitih di kawasan Gedongkuning, Jogja.
Akibat kejadian tersebut banyak warganet yang geram karena kasus klitih di Jogja masih terus terulang hingga saat ini.
Kronologi kejadian klitih di Jogja terbaru
Kronologi kejadian klitih yang menyebabkan korban jiwa ini terjadi pada Minggu sekitar pukul 02.10 WIB, kala itu, Tim Patroli Sabhara Polda DIY dan Kepolisian Sektor Kotagede bertemu dengan seorang remaja laki-laki yang mengalami luka pada bagian kepala di kawasan Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta.
Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indriadi menjelaskan bahwa kejadian klitih bermula dari ejek-ejekan remaja.
"Saat itu korban tidak sendirian bersama temannya sebanyak 5 motor, dan pada saat mereka sedang membeli makanan di Warmindo tiba-tiba ada sekelompok pemotor yang memblayer motornya hingga terjadilah kejar-kejaran karena tersinggung," kata Ade dalam konferensi pers yang ditayangkan dalam YouTube Polda Jogja.
Ade menjelaskan dalam proses kejar-kejaran, kelompok korban sempat kehilangan jejak dari kelompok blayer motor. Hingga akhirnya ada serangan dari belakang menggunakan gear motor yang mengenai kepala bagian belakang Daffa.
"Kebetulan korban duduk membonceng di bagian belakang sehingga tidak sempat menghindar, sedangkan kawannya di bagian depan sempat menangkis," kata dia.
Korban dan para temannya tetap melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan tim patroli Sabhara Polda DIY.
"Baru dari kami melakukan evakuasi dan membawa korban ke Rumah Sakit Hardjolukito," terangnya.
Kepolisian sudah memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) dan mengumpulkan keterangan saksi di lokasi kejadian.
"Kami memeriksa beberapa saksi seperti hansip, petugas bus TransJogja, dan warga di sekitar angkringan," ujar Ade.
Selain di Kotagede, Kota Yogyakarta, sejumlah terduga klitih klitih kembali ditangkap warga di Jalan Godean KM 4,5, Sleman pada Selasa (5/4/2022) dini hari.
Menurut informasi yang dilansir dari akun Twitter @Merapi_Uncover, terduga pelaku klitih tersebut membawa sejumlah benda tajam berupa clurit dan kemudian ditangkap oleh kepolisian.
Respons Sri Sultan HB X soal kasus klitih di Jogja
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X meminta aparat penegak hukum untuk memproses pidana pelaku klitih tanpa tebang pilih atau memandang umur. Menurut Sultan, perkara klitih tidak bisa dianggap sebagai kenakalan remaja biasa.
"Saya kira ini karena pelanggaran pidana, saya kira dicari dan diproses dan saya (kira) itu sudah berlebihan. Dan diproses secara hukum, tanpa melihat umurnya berapa," kata Sri Sultan HB X saat diwawancarai awak media pada Senin (4/4/2022).
Sultan meminta aparat penegak hukum menuntut pidana pelaku klitih meski anak di bawah umur. Ia beralasan kejahatan yang dilakukan mereka sudah menyebabkan nyawa melayang.
"Perkara nanti bagaimana, nanti penegak hukum bisa mencari cara supaya bisa dibawa proses pengadilan. Andai nanti dibebaskan itu adalah urusan pengadilan," kata dia.
Apa itu arti klitih dan sejarahnya?
Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja Jogja, pemaknaan klitih kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal anak di bawah umur di luar kelaziman.
Namun, Suprapto, Kriminolog yang sebelumnya bergabung di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada saat diwawancara Tirto pada Selasa (4/2/2020) lalu mengatakan tak setuju dengan istilah klitih yang terus digunakan untuk mendefinisikan kejahatan jalanan.
"Kejahatan jalanan itu beda dengan klitih. Jangan menyebut klitih karena klitih sendiri berarti aktifitas positif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Sayangnya ini kemudian diadaptasi pelajar atau remaja untuk kegiatan mencari musuh," ujar Suprapto.
Suprapto juga mengatakan sebetulnya aktifitas yang dilakukan pelajar tersebut berbeda dengan aksi kejahatan jalanan berupa pembacokan.
"Pelajar itu punya aturan sendiri, mereka tidak akan menyerang (membacok) perempuan, orang yang boncengan, orang tua. Aksi pembacokan yang menimpa driver online beberapa hari lalu menurut saya bukan dilakukan oleh pelajar atau geng pelajar karena itu bukan target mereka," ujar Suprapto pada Selasa (4/2/2020) lalu.
Menurutnya untuk mengatasi masalah kejahatan jalanan yang beberapa kali terjadi ada beberapa cara yang bisa dilakukan, salah satunya adalah penggunaan pasal soal penganiayaan yang berecana.
"Pelaku kan sudah punya niat, sudah bawa senjata tajam dari rumah, ini bisa disangkakan dengan penganiayaan yang berencana dan hukumannya akan menjadi lebih berat," ujar Suprapto.
Bisakah klitih Jogja diberantas?
Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito saat dihubungi redaksi Tirto pada Selasa (4/2/2020) lalu mengatakan terdapat regenerasi sehingga kasus klitih, terutama di tingkat pelajar di Yogyakarta menjadi sulit untuk diberantas.
"Ini terjadi regenerasi kasus dan reproduksi. Dulu terjadi karena sentimen kelompok, tapi sekarang polanya bergeser. Banyak orang hanya iseng, orang baru belanja disikat, cuma gaya-gaya. Polanya ini tidak bisa kita mendiagnosis seperti dulu," kata Arie.
Regenerasi kekerasan di kalangan pelajar itu, kata Arie, terjadi sejak dulu. Namun, kata dia, pola yang sekarang terjadi perlu untuk dipelajari.
Saat ini, kata Arie, polanya berbeda dengan dulu yang lebih pada pertarungan antar-geng. Hingga kemudian identifikasi terhadap setiap peristiwa itu jauh lebih mudah.
"Kalau ruang publik makin kumuh, pendekatannya tidak bisa sekadar menduga kelompok tertentu pelakunya. Kalau dulu bisa," kata dia.
Dengan persoalan yang semakin kompleks, kata Arie, memang perlu keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam mengatasi masalah klitih.
“Polisi punya keterbatasan, dia punya pendekatan hukum. Maka itu masyarakat harus dilibatkan sekolah juga begitu,” kata Arie.
Editor: Iswara N Raditya