tirto.id - Chelsea dan Arsenal akan saling baku hantam dalam laga final Liga Eropa 2019 di Stadion Olimpiade Baku, Azerbaijan, Kamis (30/5/19) dini hari nanti. Setelah mengakhiri Premier League dengan hasil kurang memuaskan, dua tim asal London tersebut tentu tak ingin kembali mengecewakan para pendukungnya.
Bagi pelatih Chelsea Maurizio Sarri dan pelatih Arsenal Unai Emery, kemenangan bukan hanya berarti membawa pulang piala. Keduanya punya misi khusus.
Bagi Emery, kemenangan dalam laga itu sama artinya dengan meraih satu tiket ke Liga Champions Eropa musim depan.
Sementara Sarri, selain untuk membuktikan masih layak dipertahankan klub pada musim depan, dia juga tengah mengincar gelar bergengsi pertama sejak memutuskan untuk jadi pelatih profesional pada 2002.
Pertanyaannya: pendekatan seperti apa yang akan dilakukan dua pelatih ini untuk meraih misinya masing-masing?
Memaksimalkan Özil
Chelsea dan Arsenal sudah saling mengalahkan pada musim ini. Bertemu dua kali di Premier League, Chelsea menang 3-2 di Stamford Bridge pada Agustus 2018, dan Arsenal berhasil membalasnya dengan skor 2-0 saat bermain Emirates pada Januari 2019.
Dari sana, dalam salah satu tulisannya di Guardian, Jonathan Wilson lantas menilai bahwa hasil pertandingan di Baku nanti akan sulit diprediksi.
Meski demikian, Wilson berpendapat kedua tim akan menerapkan formasi yang tak jauh beda saat mereka bertemu di Emirates. Dalam laga itu Arsenal bermain dengan formasi 4-4-2 berlian, sedangkan Chelsea bermain dengan formasi 4-3-3. Namun, terutama karena cedera sejumlah pemain, kedua tim akan sedikit berimprovisasi.
Untuk komposisi pemain tengah Arsenal, Wilson menulis, “Aaron Ramsey bermain cukup efektif di ujung lini tengah formasi berlian Arsenal dalam pertandingan itu, tetapi ia tidak akan tampil di laga final karena cedera. Arsenal juga tidak akan diperkuat oleh Henrikh Mkhitaryan. Karenanya, kecuali Emery melakukan kejutan dengan memainkan Iwobi di ujung formasi berlian, Özil bisa jadi opsi.”
Pendapat Wilson tersebut sangat beralasan. Özil memang tampil jauh di bawah standar saat merumput 24 kali di Premier League dan sembilan kali di Liga Europa musim ini. Ia hanya mampu mencetak enam gol dan satu asis, dan seringkali membuat Emery uring-uringan karena malas dalam bertahan. Meski begitu, kemampuannya dalam menemukan ruang akan sangat berguna dalam laga final nanti.
Tom Clarke di The Times punya argumennya. Menurut Clarke, saat Arsenal bermain dengan formasi 4-2-2 berlian, Pierre Emerick-Aubameyang dan Alexandre Lacazette, duet penyerang Arsenal, sering bergerak ke sisi lapangan untuk mencari ruang. Dari posisi tersebut, mereka akan mempenetrasi lini pertahanan lawan.
Namun, pendekatan itu ternyata tak bekerja saat Arsenal ditahan imbang Brighton 1-1 pada 5 Mei 2019 lalu. Mengapa? Brighton bermain dengan formasi 4-5-1 dan tidak memberikan ruang kepada Lacazette serta Aubameyang untuk berakselerasi.
Namun, lewat kesadaran ruang Özil, Arsenal akhirnya berhasil menemukan cara membongkar rapatnya pertahanan Brighton. Saat itu Özil sering bergerak melebar, menggantikan peran Aubameyang dan Lacazette.
Pergerakan Özil didukung manuver vertikal gelandang terluar Arsenal ke arah kotak penalti Brighton. Karena Lacazette dan Aubameyang tetap di posisinya, Arsenal sering unggul jumlah pemain di dalam kotak penalti Brighton. Tak punya pilihan, lima pemain tengah Brighton jadi sering bergantian untuk membantu pertahanan.
Arsenal mempunyai celah, yang sayangnya gagal dimaksimalkan oleh pemain depan.
Dari sana, karena Chelsea akhir-akhir ini memiliki cara bertahan mirip Brighton, kesadaran Özil akan ruang tentu bisa menjadi pembeda dalam pertandingan nanti.
Adaptasi Sarri
“Pada awal musim ini, aku kesulitan untuk memahami para pemainku, juga memahami mental mereka. Namun setelah periode sulit pada bulan Januari (2019), mereka mulai berubah. Atau, aku yang berubah. Aku tidak tahu,” tutur Sarri.
Periode buruk Chelsea dimulai saat mereka kalah 2-0 dari Arsenal di Emirates pada awal Januari 2019. Setelah itu Bounermouth menghajar mereka 4-0, dan pada awal hingga pertengahan Februari 2019, duo Manchester bergantian menjadikan mereka Chelsea samsak: Manchester City membantai mereka dengan skor 6-0 di liga, sementara United menang 2-0 di pertandingan Piala FA.
Namun pada akhir Februari 2019, peruntungan Chelsea mulai membaik setelah mereka kalah adu penalti dari Manchester City dalam final Carabao Cup 2019. Penyebnya: Sarri tak lagi keras kepala.
Dalam laga tersebut, Chelsea, yang tetap bermain dengan formasi 4-3-3, tak mau bermain seterbuka sebelumnya. Saat bertahan, formasi Chelsea berubah menjadi 4-5-1. Sementara Hazard ditinggal di depan sendirian, Pedro dan Willian, dua penyerang sayap Chelsea, seringkali turun ke lini tengah untuk berdiri sejajar dengan trio gelandang Chelsea, Jorginho, Ross Barkley, serta N’golo Kanté.
Dalam menyerang, Chelsea juga tak selalu memaksa melakukan umpan-umpan pendek. Build-up serangan memang dimulai dari lini belakang, tetapi setelah pemain Manchester City terpancing untuk melakukan counter-pressing, mereka akan mengirimkan umpan direct ke lini depan.
Pendekatan Chelsea tersebut ternyata manjur. Gaya bertahan Chelsea membuat City mengalami kebuntuan: hanya mencatatkan tiga kali tembakan tepat sasaran di sepanjang pertandingan. Sementara itu, Hazard, target-man Chelsea, beberapa kali berhasil membuat huru-hara di daerah pertahanan City.
Pendekatan Chelsea tersebut besar kemungkinan akan kembali diterapkan saat menghadapi Arsenal. Namun, terutama di lini depan, Sarri barangkali akan melakukan sedikit perubahan: Hazard akan dimainkan di sisi kiri, dan Olivier Giroud, bekas pemain Arsenal, akan dimainkan sebagai penyerang tengah.
Menyoal peluang Giroud bermain sebagai starter, Sarri setidaknya sudah memberikan tanda.
“Aku jelas perlu mempertimbangkannya. Dia sudah bermain sangat baik di Liga Europa dan mencetak banyak gol untuk kami,” tutur Sarri.
Editor: Rio Apinino