tirto.id - Archa, band asal Maluku, merilis single baru berjudul "Ten" pada 10 Agustus 2024.
Mereka adalah Delon Imlabla (bass), Jemmi Radjabaycolle (flute, tahuri, sequencer), Eirene Marpay (kalabasa, marakas, bells), dan Ryan Suneth (djembe, tifa, darbuka) yang memilih untuk terus menjelajahi kekayaan bunyi dalam ruang-ruang hidup yang alami, mencari-cari bunyi baru pada instrumen-instrumen tradisi/modern, dan mengutamakan kekuatan vokal dengan lirik dalam bahasa-bahasa tanah di Maluku sebagai bahan garapan untuk memenuhi ruang dengar kita dengan bunyi-bunyi yang mereka sebut “musik spiritual”.
Tanpa ada irama yang rumit, hanya butuh penghayatan dalam mendengarkan lagu ini. Fungsi lagu sebagai medium spiritual bisa kita rasakan. Usai dibuai dengan petikan gitar dan musik latar dalam frekuensi spiritual yang inten, tetabuhan mulai masuk perlahan. Ritmis yang sederhana, bahkan mudah diikuti oleh bunyi “klak klok ” mulut dari seorang bocah 4 tahun yang ikut mendengarkan. Ia rapalkan ritmisnya berbarengan dengan lagu "Ten".
Lagu ini mengalun tanpa terasa hampir lima menit berlalu. Larik-larik pertama dari lima bait dalam lirik lagu "Ten" semuanya mengambil bentuk pertanyaan reflektif. Berangkat dari kesadaran kultural, lagu ini dengan sadar mengajak manusia untuk memandang jauh ke masa mendatang sambil mengatur dengan teliti langkah-langkahnya hari ini.
“Lagu Ten adalah refleksi terukur tentang tragedi sebagai sebuah kemungkinan. Mata air bisa saja berubah menjadi air mata, bila tanah habis terampas. Sejak semula, bumi adalah ibu yang melahirkan anak-anak manusia sebagai saudara. Akan tetapi persaudaraan itu pun dapat dengan mudahnya berubah menjadi perseteruan sia-sia, bila anak-anak manusia lupa pada ikatan sakral dan nilai-nilai luhur itu, lalu sibuk berlomba mengejar siapa paling besar di antara mereka,” jelas Jemmi.
Lirik lagu "Ten" ditulis dalam bahasa Teuwa, bahasa tua dari Yamahaipate, Negeri Ulahahan, di Pulau Seram. Chalvin Papilaya (1992-2023) menulis lirik lagu ini, lalu menggarap musiknya bersama Archa yang waktu itu masih berformat trio beranggotakan Delon Imlabla, Chalvin Papilaya, dan Art Waifitu.
“Dalam naskah terjemahan bahasa Indonesia yang ia tinggalkan, ada beberapa kata dan frasa-frasa kunci tetap disalinnya dalam bahasa Teuwa. Baru pada percakapan panjang dengan Art Waifitu, adik juga sahabat Chalvin, yang menemaninya selama di Negeri Ulahahan, Archa mendapat kejelasan tentang arti kata-kata, frasa, juga konteks kultural dan maknanya,” ungkap Jemmi.
Visi Archa, terutama perihal rambahan tema dan isu, sudah diletakkan oleh Chalvin Papilaya di dalam karya-karya awal yang digarapnya bersama Delon Imlabla. Archa sudah menggarap lagu-lagu dengan tema/isu yang penting/genting (manusia: material/spiritual, relasi-relasi manusia (konfliktual/harmonis), isu-isu kelautan dan kesejahteraan masyarakat pesisir).
“Chalvin telah tiada, tetapi keprihatinannya yang kuat pada sejarah Maluku, juga kegigihannya mengalami dari dekat situasi aktual manusia di negeri-negeri yang ia datangi, dan rasa hormatnya kepada sakralitas/keluhuran budaya telah menjelma napas bagi perjalanan bermusik Archa,” pungkas Delon.
"Ten" artinya menangis, dan itulah nyanyian pertama semua anak manusia. Lagu ini dipersembahkan kepada pendengar dan kepada kehidupan yang tak sekali dua kali harus kita tangisi, tetapi tetap kita cintai dan kita perjuangkan—seharusnya.
Editor: Siaran Pers