tirto.id - Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, dituduh berbohong terkait putusan syarat usia capres-cawapres. Kini, dugaan yang dituduhkan kepada adik ipar Jokowi itu masih diselidiki Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie.
Jimly Asshiddiqie menyebutkan, ada temuan baru terkait sidang kode etik dan pedoman perilaku terhadap hakim konstitusi dalam memutus perkara syarat usia capres-cawapres.
Menurut Jimly, pihaknya mencium adanya dugaan kebohongan yang dilakukan Ketua MK, Anwar Usman karena disinyalir memberikan keterangan berbeda. Lantas, apa yang membuat Anwar Usman diduga melakukan kebohongan?
Apa Penyebab Ketua MK Anwar Usman Diduga Berbohong?
Pada Rabu (1/11/2023), MKMK telah memeriksa hakim konstitusi Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo. Sehari sebelumnya, mereka juga memeriksa Anwar Usman, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
Kemudian pada Kamis, (2/11), Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, M. Guntur Hamzah, dan Wahiduddin Adams juga menjalani pemeriksaan.
Jimly Asshiddiqie selaku Ketua MKMK menyampaikan persoalan dari sejumlah pelapor terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan para hakim konstitusi.
Pelapor mengatakan, Ketua MK, Anwar Usman, dinilai sudah berbohong perihal alasan tidak hadir dalam sidang putusan perkara nomor 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023.
Terkait dengan ketidakhadiran itu, Anwar Usman pun menyampaikan dua alasan dalam
RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) yang dilakukan tanggal 19 September 2023.
Pertama adalah karena adanya konflik kepentingan. Pasalnya, keputusan MK bisa memberikan peluang kepada sang keponakan, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju di Pilpres 2024.
RPH ini kemudian dipimpin Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dan dihadiri 8 hakim konstitusi. Hasilnya, MK menolak gugatan batas usia capres-cawapres karena menjadi wilayah DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang.
Alasan kedua Anwar Usman tidak hadir karena mengaku sedang sakit. Oleh sebab itu, Jimly meyakini salah satu alasan itu pasti ada yang benar dan ada yang salah.
MKMK kini sedang mendalami dugaan kebohongan yang dilakukan Anwar Usman mengenai alasannya tidak hadir dalam rapat putusan MK itu.
Untuk RPH berikutnya dengan nomor perkara yang berbeda namun masih terkait syarat usia capres-cawapres, Anwar Usman selalu hadir di sidang.
Pelaporan Terhadap Anwar Usman
MKMK sudah menggelar sidang perdana perihal laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang ditujukan untuk Ketua MK Anwar Usman dan para hakim konstitusi lainnya sejak Selasa (31/10).
Daftar pelapor di antaranya Denny Indrayana, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, LBH Yusuf, dan perwakilan 15 guru besar/akademisi CALS (Constitutional and Administrative Law Society).
Kemudian Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP), Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), hingga Tumpak Nainggolan.
Denny Indrayana menduga, putusan tersebut merupakan hasil kerja yang terencana dan terorganisir, planned and organized crime sehingga layak pelapor tasbihkan sebagai mega-skandal Mahkamah Keluarga.
Sedangkan LBH Yusuf meminta Ketua MK, Anwar Usman, diberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.
"Meminta MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat apabila terbukti adanya konflik kepentingan (conflict of interest) yang dilakukan oleh Anwar Usman dan/atau hakim konstitusi lainnya," ujar Direktur LBH Yusuf, Mirza Zulkarnaen, dikutip situs web MK.
Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP) juga menganggap Ketua MK, Anwar Usman, telah berbohong terkait alasan ketidakhadiran pada RPH atas perkara nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 yang tidak dikabulkan.
"Pada satu alasan disebutkan untuk menghindari pertentangan kepentingan. Namun pada alasan lainnya, karena alasan kesehatan. Ini jelas melanggar kode etik hakim dan melanggar prinsip integritas," beber Gugum Ridho Putra, yang mewakili TAPP.
"Intinya posisi Terlapor (Ketua MK) sebagai Paman dari Gibran. Maka ini sudah terang benderang ada pertentangan kepentingan. Sanksi yang Pelapor inginkan dijatuhi berupa sanksi etik berat yakni pemberhentian dengan tidak hormat," lanjutnya.
Penulis: Beni Jo
Editor: Alexander Haryanto