Menuju konten utama

Peran Indonesia dalam Perdamaian Dunia Via Organisasi Internasional

Berikut ini beberapa peran Indonesia dalam menciptakan perdamaian di dunia.

Peran Indonesia dalam Perdamaian Dunia Via Organisasi Internasional
Presiden Joko Widodo mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non-Blok (GNB) secara virtual di Kompleks Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (4/5/2020). ANTARA FOTO/Setpres-Kris/wpa/pras.

tirto.id - Dengan berlandaskan politik luar negeri, Indonesia telah bergabung dalam misi perdamaian dunia. Politik luar negeri Indonesia, memegang prinsip bebas aktif.

Terdapat tiga nilai yang dianut dalam politik luar negeri Indonesia. Pertama, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk mewujudkan kepentingan nasional khususnya, kepentingan pembangunan.

Kedua, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menegaskan kembali bahwa Indonesia memegang prinsip bebas aktif yang tidak berpihak pada imperialisme, maupun kolonialisme.

Ketiga, politik luar negeri merepresentasikan bahwa Indonesia turut ambil bagian dalam upaya ketertiban dunia.

Ketertiban dunia tersebut salah satunya adalah, stabilitas di wilayah Asia Tenggara sekaligus meningkatkan kemampuan dalam pembangunan nasional.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, politik luar negeri Indonesia memegang prinsip bebas aktif.

Menurut Mochtar Kusumaatmaja dalam materi berjudul Peranan Indonesia dalam Rangka Turut Menciptakan Perdamaian Dunia, bebas berarti, Indonesia tidak memihak pada nilai-nilai di luar nilai yang diajarkan dalam Pancasila, sebagai ideologi bangsa.

Sementara aktif berarti, Indonesia bersikap aktif dalam menjalankan kebijakan luar negerinya.

Konsep bebas aktif berlandaskan pada Pancasila yang juga tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan hubungan luar negeri Indonesia perlu berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut di antaranya, Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan.

Dalam pembukaan UUD 1945, dengan jelas mencantumkan beberapa ketentuan. Ketentuan tersebut dijadikan sebagai dasar pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang terbagi menjadi empat alinea.

Alinea pertama, Indonesia anti kolonialisme dan berupaya untuk menghapuskan setiap penjajahan.

Alinea kedua, perjuangan bangsa Indonesia ditujukan untuk mewujudkan kemerdekaan, persatuan, kedaulatan, dan keadilan.

Dengan mewujudkan hal-hal tersebut, maka Indonesia dapat mengembangkan hubungan antar bangsa.

Alinea ketiga, bangsa Indonesia meyakini bahwa saling tolong menolong antar bangsa mampu mewujudkan kemerdekaan bangsa.

Alinea keempat, terdapat dua tujuan yang sifatnya internal dan eksternal. Tujuan internal di antaranya, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.

Kemudian, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara tujuan eksternal yaitu, melaksanakan ketertiban dunia.

Apa Saja Peran Indonesia dalam Menciptakan Perdamaian Dunia?

Sebagai langkah dalam mewujudkan perdamaian dunia, maka Indonesia terlibat organisasi dunia yaitu:

1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Indonesia bergabung dengan PBB pada tanggal 28 September 1950. Seperti yang tercantum dalam Piagam PBB, tugas dari anggota PBB adalah memeliharan perdamaian dan keamanan internasional.

Sebagai bentuk kontribusi dalam PBB, maka bangsa Indonesia bergabung dalam sebuah Komite khusus.

Komite khusus tersebut ditujukan sebagai kepedulian bangsa terkait situasi sehubungan dengan implementasi Deklarasi.

Deklarasi tersebut berisi tentang upaya kemerdekaan bangsa yang terjajah. Sikap Indonesia berikutnya adalah, meminta kepada Komite 24 untuk membuat sebuah rekomendasi yang konkret pada tanggal 20 Desember 1971.

Sikap Indonesia tersebut, tercatat dalam Piagam PBB No. 2909. Rekomendasi tersebut mampu membantu Dewan Keamanan dalam upaya pertimbangan-pertimbangan yang tepat, sehubungan dengan wilayah penjajahan.

Tidak hanya itu, Indonesia juga terlibat dalam gerakan dekolonialisasi pada tanggal 20 November 1972. Sikap ini tercatat dalam Piagam PBB No. 2909.

Upaya lainnya yang menunjukkan bahwa Indonesia ingin sebuah lingkungan yang damai adalah dengan menerima Timor Timur menjadi bagian wilayah Indonesia.

Hal tersebut diputuskan sebagai tanda penyelamatan Indonesia kepada Timor Timur yang sedang terjajah.

Infografik Peran Indonesia

Infografik Peran Indonesia di Perdamaian Dunia. tirto.id/Fuad

2. Konferensi Colombo dan Konferensi Bogor

Konferensi Colombo diselenggarakan pada April 1954, sementara Konferensi Bogor diselenggarakan pada Desember 1954.

Pada konferensi Colombo, Indonesia mengusulkan untuk menyelanggarakan pertemuan antara negara-negara merdeka di Asia, dan Afrika.

Pertemuan tersebut mengusung tujuan ganda. Tujuan pertama, meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh perang dingin.

Tujuan kedua, meningkatkan perjuangan melawan penjajahan. Sementara itu, Konferensi Bogor menghasilkan beberapa keputusan di antaranya,

-Mengadakan KAA di Bandung pada bulan April 1955.

-Menetapkan kelima negara peserta Konferensi Bogor sebagai negara-negara sponsor.

-Menetapkan 25 negara-negara Asia Afrika yang akan diundang.

3. Konferensi Asia-Afrika (KAA)

KAA bermula dari Perang Dunia II yang telah berakhir. Berakhirnya Perang Dunia II, memunculkan dua kekuatan adidaya baru di antaranya Amerika Serikat, dan Uni Soviet.

Pada saat itu, Amerika Serikat memelopori berdirinya Blok Barat. Blok barat disebut juga dengan Blok Kapitalis atau liberal.

Sementara Uni Soviet mempelopori kemunculan Blok Timur. Blok Timur disebut juga dengan Blok Sosialis atau komunis.

Dilansir dari situs resmi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, sejak abad ke-15, kawasan Asia-Afrika mengalami masalah penjajahan yang krusial walaupun sejak tahun 1945 memperoleh kemerdekaannya.

Negara-negara yang memperoleh kemerdekaan di antaranya Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian, Republik Demokrasi Vietnam pada tanggal 2 September 1945. Lalu, Filipina pada tanggal 4 Juli 1946, serta negara-negara lainnya yang baru merdeka pada tahun 1945-an.

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon, Sir John Kotelawala, mengadakan suatu pertemuan informal dengan mengundang para perdana menteri dari Birma diwakili oleh U Nu, India diwakili oleh Jawaharlal Nehru, Pakistan diwakili oleh Mohammed Ali, serta Indonesia yang diwakili oleh Ali Sastroamidjojo.

Sebelum pertemuan itu berlangsung, Presiden Indonesia, Soekarno memandatkan agar Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo mengusulkan ide diadakannya KAA pada Konferensi Colombo.

Presiden Indonesia, Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, untuk menyampaikan ide diadakannya KAA pada pertemuan Konferensi Kolombo.

Ide tersebut ditujukan untuk membangun solidaritas negara-negara Asia Afrika, yang telah melalui pergerakan nasional dalam melawan penjajahan.

Pergerakan tersebut merupakan cita-cita bersama selama hampir 30 tahun. Konferensi Asia Afrika di Bandung berlangsung pada tanggal 18–24 April 1955, dan dihadiri oleh 29 negara dengan 5 negara sebagai sponsor KAA.

4. Misi Garuda

Pada 26 Juli 1956, Indonesia tergabung dalam United Nations Emergency Forces (UNEF) dengan menyumbang 550 militer.

Dikutip dari laman Ruang Guru, ide terbentuknya misi Garuda berawal dari adanya konflik di Timur Tengah. Saat itu, Inggris, Prancis, dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap Mesir.

Serangan tersebut menimbulkan perdebatan di antara negara-negara lainnya. Dalam Sidang Umum PBB, Menteri Luar Negeri Kanada, Lester B. Perason, mengusulkan agar dibentuk pemelihara perdamaian di Timur Tengah.

Usul ini disetujui dan pada tanggal 5 November 1956 Sekretaris Jenderal PBB membentuk UNEF. Indonesia telah mengirimkan Misi Garuda I sampai Misi Garuda XXVI-C2.

Menurut data Kementerian Luar Negeri pada Senin, 21 Maret 2016, Indonesia menjadi kontributor terbesar ke-10 pasukan pemeliharaan perdamaian PBB dari 124 negara.

Saat ini, pemerintah Indonesia telah menugaskan 2.843 personel TNI dan POLRI yang bertugas di 10 Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB.

Kontribusi pasukan Indonesia ke Misi Pemeliharaan PBB merupakan wujud pelaksanaan mandat Konstitusi yang mengamanatkan Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia”.

Selain itu, pengiriman pasukan ini adalah implementasi dari sarana peningkatan kapasitas dan profesionalisme personel TNI dan POLRI.

5. Deklarasi Djuanda

Deklarasi Djuanda dicetuskan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 13 Desember 1957. Terbentuknya Deklarasi ini, menentukan luas laut teritorial Indonesia.

Ide pembentukan Deklarasi Djuanda adalahtuntutan pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI tahun 1956 yang merasa hukum laut Indonesia saat itu yang berdasarkan Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie (Ordonasi Laut dan Daerah Maritim) tahun 1939 dari Belanda tidak menguntungkan kepentingan wilayah Indonesia.

Kerugian yang dibuat dari adanya kebijakan tersebut adalah kapal-kapal asing masuk ke wilayah Indonesia dan mengambil sumberdayanya dengan bebas.

Akhirnya, melalui Deklarasi Djuanda dinyatakan bahwa laut teritorial Indonesia berjarak 12 mil laut diukur dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik terluar dari pulau terluar.

Deklarasi Djuanda kemudian dikukuhkan melalui Perpu No. 4 Tahun 1960 dan melahirkan konsep “Wawasan Nusantara”.

Pengakuan keputusan Deklarasi Djuanda diperjuangkan melalui Konvensi Hukum Laut atau lebih dikenal dengan United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) yang diadakan oleh PBB.

Setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982, Deklarasi Djuanda baru dapat diterima di dunia internasional.

Berdasarkan hasil konvensi tersebut Indonesia diakui sebagai negara dengan asas Negara Kepulauan.

Setelah diperjuangkan sekitar 25 tahun, akhirnya pada 16 November 1994, disetujui oleh 60 negara, dan dengan demikian hukum laut Indonesia telah diakui oleh dunia internasional.

6. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)

Berawal dari perang dingin antara Blok Uni Soviet, dan Blok Amerika Serikat maka negara-negara yang baru saja merdeka seperti, India, Mesir, Yugoslavia, dan Ghana.

Kemudian, pada Sidang Majelis Umum PBB ke-25 negara-negara tersebut memprakarsai resolusi untuk mendesak Presiden Amerika Serikat, Jhon F Kennedy dan Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita S Kruschev.

Desakan tersebut bertujuan untuk meredakan ketegangan akibat perang dingin. Sebagai tindak lanjutnya, maka Mesir dan Yugoslavia meminta agar Indonesia mempelopori terbentuknya KTT.

Indonesia menerima permintaan itu. Kriteria-kriteria yang turut ikut dalam KTT yaitu, menjalankan politik bebas berdasarkan koeksistensi damai.

Kedua, mendukung gerakan-gerakan pembebasan kemerdekaan. Ketiga, mendukung gerakan-gerakan pembebasan dan kemerdekaan.

Keempat, tidak ikut dengan persekutuan militer multilateral seperti, Nato, dan sebagainya.Terakhir, tidak ikut dalam persekutuan militer bilateral dengan negara-negara besar yang tidak mempunyai pangkalan militer asing di wilayahnya.

7. Malaysia, Filipina, dan Indonesia (MAPHILINDO)

Tidak hanya kerja sama lintas benua, Indonesia juga mengembangkan kerja sama yang sifatnya regional.

Hal ini dibuktikan dengan bergabungnya tiga negara berkembang seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Atas keterlibatan tiga negara tersebut, maka terbentuklah MAPHILINDO. Akan tetapi, kerja sama ini rupanya tidak memberikan hasil yang signifikan.

8. Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara/Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)

Pada tahun 1957 terdapat sebanyak lima negara yang bergabung dalam ASEAN. Kelahiran ASEAN ditandai dengan tanda tangan negara-negara tersebut melalui Deklarasi Bangkok pada 1967.

Lima negara tersebut, di antaranya; Malaysia, Filipina, Indonesia, Muangthai, dan Singapura. Sering berjalannya waktu, 17 tahun kemudian Brunei bergabung menjadi anggota.

Pada awal pembentukannya, ASEAN bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi, sosial, dan budaya.

Empat tahun kemudian, di Kualalumpur pada tanggal 27 November 1971, ASEAN meningkatkan bentuk kerja samanya di bidang keamanan.

Bentuk kerja sama tersebut ditanda tangani melalui Declaration of Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN).

9. Jakarta Informal Meeting (JIM)

Dalam rangka upaya persengketaan Kamboja pada 1984, Menlu ASEAN berbicara dengan Menlu RI untuk berbicara dengan Vietnam.

Hasilnya, Vietnam bersedia untuk mengadakan pertemuan Informal dengan kelompok-kelompok yang bersengketa di Kamboja. Pertemuan tersebut akhirnya terselenggara di Jakarta, yang lebih dikenal dengan sebutan JIM.

Baca juga artikel terkait ILMU KEWARGANEGARAAN atau tulisan lainnya dari Ega Krisnawati

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ega Krisnawati
Penulis: Ega Krisnawati
Editor: Yandri Daniel Damaledo
Penyelaras: Ibnu Azis