Menuju konten utama

Apa pun Agama Resminya, Orang Toraja Memegang Aluk Tadolo

Meski kerap dicap sekadar sistem kepercayaan atau animisme, Aluk Tadolo adalah agama asli orang Toraja.

Apa pun Agama Resminya, Orang Toraja Memegang Aluk Tadolo
Keluarga dan para tamu melakukan ritual ma'badong, tarian dengan membentuk lingkaran sambil melafalkan syair kadong berisi pesan keagungan untuk yang almarhum. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Banyak yang menuding secara keliru bahwa orang Toraja tak punya agama sebelum Kristen dan Islam masuk ke Nusantara. Pada masa itu orang Toraja disebut hanya penganut animisme. Sulit bagi banyak orang menyamakan Aluk Tadolo, sistem kepercayaan atau agama masyarakat Toraja, sebagai agama.

Aluk Tadolo, seperti dicatat Theodorus Kobong dalam Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstualisasi, Transformasi (2008: 121) sebagai “agama para leluhur atau cara hidup atau aturan hidup para leluhur.” Kepercayaan ini, sayangnya, tak mendapat tempat sebagai agama dalam negara Republik Indonesia—yang di masa Orde Baru hanya mengakui "lima agama resmi" dan setelah reformasi bertambah satu agama resmi: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Aluk Todolo diakui sebagai aliran Hindu-Bali atau Hindu Dharma Aluk Tadolo, yang dikenal sebagai Hindu Alukta, meski jauh kaitan dengan dewa-dewa Hindu seperti Brahma, Siwa, atau Wisnu. Namun, Menurut Zakaria J. Ngelow dalam Seberkas Cahaya di Ufuk Timur: Pemikiran Teologi dari Makassar (2000), “ajaran Aluk Todolo sama dengan ajaran Hindu.”

Aluk Tadolo percaya bahwa Puang Matua adalah pencipta langit dan bumi, dan secara otomatis, Puang Matua sebagai pemiliknya. Tapi, setelah penciptaan, Puang Matua tidak berperan. Puang Matua di Toraja tak ubahnya seperti Gusti Allah dalam masyarakat Jawa yang terpengaruh Islam.

Seperti tertuang dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bimas Hindu-Budha bernomor Dd/H/200-VII/69 tertanggal 15 November 1969, Aluk Tadolo digolongkan bagian dari Hindu. Menempel pada salah satu agama resmi tentu akan membuat penganut Aluk Tadolo tak kena cap ateis atau komunis. Tak memilih satu agama resmi memang bisa kena cap PKI di masa Orde Baru.

Setelah sebelumnya hanya diakui sebagai sistem kepercayaan animisme, para penganutnya kerap menyebut sebagai Alukta atau Aluk Kita atau "agama kita." Ajaran Aluk Tadolo memengaruhi awetnya ritual sohor orang Toraja yang dikenal sebagai rambu' solo. Kristenisasi membuat Alukta sekadar budaya. Nasib Alukta tak jauh beda dari kebanyakan agama lokal Indonesia, yang kalah dengan "agama-agama resmi negara".

Agama Kristen sudah menjadi agama paling besar di Tana Toraja. Menurut Kobong (2008), ada 75 persen Kristen, 15 persen Aluk Todolo, dan 10 persen Islam. Identitas asli Toraja, yang seharusnya berdasarkan Aluk Todolo, tidak dominan lagi. Meski begitu, Alukta tak bisa hilang begitu saja dalam kehidupan masyarakat Toraja yang semakin hari semakin modern.

Kehadiran Alukta tak kalah pentingnya dengan adat yang berlaku di Toraja. Menurut Institut Theologia Gereja Toraja (1984), seperti dikutip Theodorus Kobong, “Aluk dan adat merupakan satu kesatuan, keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Harus ditekankan Aluk adalah sumber bagi adat.” Aluk dan adat begitu berpengaruh dalam hubungan antar-keluarga di tongkonon atau rumah adat Toraja.

Pimpinan adat disebut sebagai to parenge’. Dalam bahasa Toraja, to berarti orang dan renge’ berarti “mengambil suatu beban dengan tali melalui kepala." Adapun pemuka Aluk Tadolo disebut to minaa, yang dalam bahasa Toraja bisa diartikan “orang yang pandai mendoakan."

Infografik HL Indepth Tana Toraja

Pengaruh Kristen di Tana Toraja

Besarnya penganut agama Kristen itu tak lepas dari kerja keras Zending. Sejak awal, Zending membangun banyak sekolah. Masuknya agama Kristen ke Tana Toraja punya sejarah yang tidak selalu mulus. Antonie Aris van De Loosdrecht, salah satu pendeta Kristen yang awal masuk ke Tana Toraja, jadi korban di sana.

H.M. Ghozi Badrie dalam Aluk Todolo dan Tradisi Simpan Mayat di Tana Toraja (1997) menulis pendeta Antonie Aris tiba di Tana Toraja pada 1913 dan masa pengabdiannya hanya empat tahun. Pada 26 Juli 1917 atau tepat seabad silam, sang pendeta tewas ditombak oleh sekelompok orang yang tidak sepaham dengannya.

Pendidikan menjadi faktor penentu berkembangnya agama Kristen di Tana Toraja. “Permintaan masyarakat kepada zending untuk membuka sekolah sangat menggembirakan Ketika GZB (Gereformeerde Zendingsbond) memperingati 25 tahun pekerjaannya di tanah Toraja. Pada 1938, terdapat 731 sekolah,” tulis YA Sarira dalam Aluk Rambu Solo dan Persepsi Orang Kristen terhadap Rambu Solo (1996).

Sekolah menjadi jalan Kristenisasi terbaik di Tana Toraja. Masyarakat Toraja, dibanding kebanyakan masyarakat etnis lain di Sulawesi Selatan, tergolong sadar soal pentingnya pendidikan modern.

"Sampai sekarang," tulis Kobong, "bagi orang Toraja, pendidikan sekolah merupakan sarana paling tepat untuk mencapai kemajuan.” Di Tana Toraja, sekolah yang terkenal termasuk Universitas Kristen Indonesia Toraja dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri.

Tak heran jika di luar daerah seperti Kalimantan Timur atau Papua, banyak orang Toraja tergolong sukses secara finansial dan terpandang.

Sebutlah Luther Kombong yang jadi politikus di Kalimantan Timur. Pria kelahiran Rantepao pada 1950 dan meninggal pada 2017 ini adalah seorang pengusaha. Upacara kematiannya baru diadakan pada 2018. Rambu solo untuknya tidak diadakan di Tana Toraja, melainkan di Samarinda dan disebut-sebut menjadi yang terbesar di luar Tana Toraja. Meski agama resmi Luther Kombong sebagai penganut Kristen, tetapi kepercayaan asli Toraja masih dipegangnya secara teguh, sebagai tradisi.

“Buat kami orang Toraja, kalau kami meninggal, kami harus selesaikan kami punya ritual,” kata Otto Mitting, seorang pemandu wisata sekaligus budayawan Toraja.

Apa pun "agama resmi" yang sudah dianut orang Toraja, Aluk Tadolo tak bisa lepas. Orang Toraja beragama Islam saja menjalankan standar rambu solo sendiri, dengan memotong kerbau setelah 40 hari atau 100 hari kematian. Orang Toraja yang beragama Kristen tentu saja mengikuti standar rambu solo pada umumnya di Toraja.

Baca juga artikel terkait TORAJA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam