tirto.id - Bias sejarah adalah peristiwa sejarah yang dituliskan berdasarkan subjektifitas atau dengan memihak ke pihak yang terlibat di dalamnya.
Berdasarkan catatan Sari Oktafiana dkk. dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2021, hlm. 55), bias sejarah paling banyak terjadi pada peristiwa-peristiwa kontroversional.
Bias sejarah dapat dicirikan dengan narasi yang ditulis secara tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada. Lalu, dicirikan juga dengan penggunaan sumber tunggal yang belum tentu valid.
Terkadang, ada saja orang yang menulis sejarah dengan referensi satu sumber atau beberapa sumber yang semuanya berpihak ke satu sisi.
Hal ini menyebabkan tidak objektifnya sejarah yang ditulis. Dengan begitu, harus ada sumber lain yang digunakan demi menjaga kebenaran sejarah agar sesuai dengan fakta kejadiannya.
Seperti yang diungkap Hansiswany (2017) dalam situs Program Studi Pendidikan Sejarah UPI, sejarah tidak boleh ditulis berdasarkan penyelewengan (kebiasan) atau subjektifitas penulis.
Jika itu terjadi, maka hakikat sejarah yang memfokuskan objektifitas telah dilanggar.
Contoh Bias Sejarah
Untuk bentuk contoh bias sejarah, kita dapat menemukannya lewat peristiwa masa lalu yang hingga saat ini masih menimbulkan pertanyaan (kontroversional). Sebut saja peristiwa Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Dalam penulisan sejarah, pencantuman terkait latar waktu dan lokasi menjadi pokok penting dalam penggambaran masa lalu.
Masih dilansir tulisan Hansiswany (2017), ada beberapa keterangan saksi Supersemar dari pihak Angkatan Darat.
Pendapat tersebut dikeluarkan oleh M Jusuf bahwa penandatanganan Supersemar terjadi pada pukul 20.55. Namun, ada lagi keterangan bahwa naskahnya sudah mendarat di Markas Kostrad pada 21.00.
Dua keterangan waktu ini memang tak tampak bias jika kita tidak menelitinya lebih lanjut. Jika dipikirkan, kondisi penandatanganan dan sampainya surat yang hanya lima menit tentu terkesan tidak masuk akal.
Dengan kata lain, harus ada kajian lebih lanjut mengenai hal ini lantaran tidak masuk akal. Entah dari keduanya mana yang benar, yang pasti ada kebiasan di antaranya.
Hubungan antara Historiografi dan Bias Sejarah
Historiografi dapat dianggap sebagai penulisan sejarah. Melalui historiografi, biasanya sejarawan mempublikasi karya ilmiahnya lengkap dengan sumber-sumber valid yang bisa menunjang kebenarannya.
Terkait hubungan bias dan historiografi, tentu titik fokusnya terdapat pada sumber yang dipakai dan keobjektifannya.
Sudah disebut bahwa historiografi harus dilengkapi sumber valid. Sedangkan bias, tak boleh ada sama sekali lantaran kevalidannya belum dapat dipastikan.
Selain itu, historiografi punya peran penting dalam menekankan objektivitas. Dengan begitu historiografi tak semena-mena mencantumkan hal yang berbau subjektif.
Berbeda dengan bias yang terkadang subjektif, historiografi yang prinsipnya menyatakan kebenaran tidak boleh diisi oleh bias-bias berperasaan.
Kendati dituliskan melalui bahasa netral, sejarah yang bias serta subjektif tetap dapat dilihat.
Misalnya dalam penulisan frasa “pergerakan nasional” dalam sejarah Indonesia. Jika penulisnya orang Belanda, maka terdapat kemungkinan juga mereka menulis “pemberontakan Indonesia”.
Ketika unsur-unsur subjektif ini hadir, perlu ada acuan sumber lain dalam penulisan historiografi agar tak terjadi kesalahpahaman. Misalnya menggunakan data PBB, organisasi internasional yang mengatur perserikatan negara dunia.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Dhita Koesno