Menuju konten utama
27 Oktober 1945

ANIEM: Menyetrum Hindia Belanda, Menyalakan Indonesia

Banyak yang menyebut "aniem" untuk listrik dan "cagak aniem" untuk tiang listrik.

ANIEM: Menyetrum Hindia Belanda, Menyalakan Indonesia
Ilustrasi pekerja PLN. tirto.id/Gery

tirto.id - Di Kota Yogyakarta, masih tertinggal sisa gardu listrik yang disebut Babon Aniem. Bahkan, sampai akhir abad 20, menurut Suryadi AP dalam Malioboro: Djokdja Itoe Loetjoe (2002), banyak priayi Yogya yang menyebut "aniem" untuk listrik dan "cagak aniem" untuk tiang listrik. Aniem terngiang di kepala banyak orang kota zaman dulu, khususnya di kota yang sudah dialiri jaringan listrik.

Padahal Aniem adalah akronim untuk nama perusahaan listrik zaman kolonial, Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij, yang berdiri sejak 1909. Meski namanya cukup diingat orang, ANIEM bukan perusahaan listrik pertama di Hindia Belanda. Ia anak perusahaan gas Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij (NIGM), yang berdiri sejak 1864. Sebelum ada listrik, sumber lampu-lampu kota adalah gas, dan NIGM adalah salah satu pemasok utamanya.

“Pada 19 November 1859, konsesi pertama oleh menteri jajahan Belanda diberikan untuk memasang sistem lampu gas umum di Batavia dan sekitarnya,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineer of Happy Land (2006). Pada 1883, ada 1.270 meteran gas di Batavia dan 384 meteran gas di Surabaya. Listrik mulai menyala di Batavia pada 1897.

“Kehadiran listrik dianggap menyaingi usaha gas di Hindia Belanda,” catat Negeri Kaya Gas Bumi (2005).

Baca juga: Balada Listrik dari Kedondong

Menurut Mrazek, perusahaan listrik di Batavia untuk menjawab kebutuhan masyarakat atas lebih banyak cahaya. Perusahaan penyedianya adalah NIEM alias Perusahaan Listrik Hindia Belanda.

Menurut Purnawan Basundoro, sejarawan Universitas Airlangga, dalam Dua Kota Tiga Zaman (2009), jika NIEM untuk Kota Batavia, maka ANIEM untuk memasok kebutuhan listrik Kota Surabaya. Menurut Basundoro, ANIEM punya relasi dengan jawatan listrik Jawa Timur (OJEM); Solo (SEM); Banyumas (EMB); Rembang (EMR); Sumatra (EMS); Bali dan Lombok (EBALOM), serta lainnya.

Pada zaman Jepang, banyak aset negara diambil alih oleh pemerintahan pendudukan, termasuk perusahaan listrik di Hindia Belanda. Semua listrik di Jawa pun jadi urusan Djawa Denki Djigjo Kosja.

Setelah Indonesia merdeka, menurut catatan Negeri Kaya Gas Bumi, “Pada 27 Oktober 1945, pemerintah sebenarnya telah menetapkan Perusahaan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dengan nama Djawatan Listrik dan Gas melalui Penetapan Pemerintah No.1/SD/1945.”

Kepala jawatan pertama dipegang oleh Ir. R. Soedoro Mangoenkoesoemo, yang ditetapkan pada 27 Oktober 1945. Peristiwa inilah yang kelak menjadikan 27 Oktober sebagai Hari Listrik Nasional.

Masa Revolusi

Pekerja-pekerja listrik terlibat pada masa revolusi. Banuarti Mangkoesoejatno dan R.P. Parwoto menjadi pemrakarsa pengambilalihan pabrik gas Surabaya dan memimpin pembentukan Angkatan Muda Listrik dan Gas Indonesia. Banyak anggotanya bergabung dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), laskar pejuang penting di masa revolusi. Laskar ini berperan dalam Pertempuran 10 November 1945.

Baca Juga: Usaha Mempertahankan Surabaya Tanpa Komandan Terlatih

Masa awal revolusi jelas masa sulit. Menurut Purnawan, “Sebagian besar pembangkit rusak parah karena salah urus di masa pendudukan Jepang.”

Selain itu, juru teknik kelistrikan masih jadi kendala. Orang-orang yang paham soal listrik teramat langka. Pembangunan listrik sempat terhambat oleh kedatangan tentara Belanda (NICA) yang berambisi mengembalikan tatanan kolonial. Pada 1947, setelah tentara Belanda menduduki banyak kota, listrik-listrik di beberapa kota diperbaiki, termasuk di Malang dan Surabaya.

Purnawan mencatat, “ANIEM dihidupkan kembali pada 1947. Upaya pertamanya merehabilitasi besar-besaran pembangkit-pembangkit yang rusak akibat salah urus pada zaman Jepang.”

Djawatan Listrik dan Gas nyaris tak melakukan apa pun. Alasannya: perusahaan dan jaringan listrik Belanda menguasai kota.

infografik mozaik perusahaan listrik indonesia

Setelah pengembalian kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (1949), yang disusul pemulangan tentara Belanda (1950), ANIEM masih juga beroperasi. Operasi ANIEM terus berlanjut dan bikin nama ini dikenal banyak orang. Tak heran ANIEM, yang notabene nama perusahaan tapi diasosiasikan untuk listrik, serupa dengan merek macam Odol untuk menyebut pasta gigi, Sanyo untuk mesin pompa air, Honda untuk motor, dan lain-lain.

Baca juga:

Seperti PLN yang sering naik tarif pada masa sekarang, tarif listrik ANIEM juga naik hingga 115 persen pada Agustus 1950. Sama seperti sekarang, saat itu pun masyarakat memprotesnya.

Buku Seabad Kebangkitan Pers (2007) menyinggung pemberitaan Suara Masjarakat edisi Juli 1950 soal penaikan tarif listrik di Kota Malang. Judul beritanya: “Tiada Segolongan Indonesia pun jang Tak Hendaki Nasionalisasi Perusahaan2 Listrik Setjepat2nja.”

Pemerintah tak tinggal diam dan bernegosiasi dengan ANIEM agar bersedia menurunkan tarif. Pemerintah hanya bisa menekan ANIEM untuk menaikkan tarif listrik paling tinggi hanya 58 persen.

Soal pegawai, ANIEM pun bermasalah, termasuk praktik diskriminasi.

“Dalam rapat Serikat Buruh Listrik dan Gas Bumi (SBLGB) Kota Malang, pada 19 April 1952, yang dihadiri anggota serikat buruh, terungkap gaji pegawai ANIEM pribumi ternyata hanya pokoknya saja,” tulis Purnawan.

Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), kondisi buruh pada 1950-an memang sangat sulit.

Baca Juga: Sejarah Gerakan Buruh di Balik Kewajiban THR

ANIEM akhirnya jadi target nasionalisasi. Menurut Purnawan, sebuah tim dari Kementerian Pekerjaan Umum yang dipimpin Putuhena pada 1953 menyiapkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik swasta. Pada tahun yang sama, Presiden Sukarno mengeluarkan SK Presiden nomor 163 tentang nasionalisasi semua perusahaan listrik di seluruh Indonesia.

Pada 1 November 1954, barulah ANIEM dikelola negara. Djawatan Listrik dan Gas menjadi satu-satunya "pemain" setrum di Indonesia. Jawatan itu belakangan berkembang menjadi perusahaan. Pada 1 Januari 1961, Djawatan Listrik dan Gas diubah menjadi Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara yang bergerak dalam bidang listrik, gas, dan kokas.

Lembaga ini bubar pada 1 Januari 1965, lalu dipecah menjadi Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Perusahaan Listrik Negara. Bekas gedung NIGM di Gambir belakangan menjadi kantor pusat PLN.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS