tirto.id - Keputusan Fatma (diperankan Laudya Cynthia Bella) untuk mengejar cintanya sampai Jakarta ternyata berujung konflik besar dengan sang ibu, Misnah (Widyawati). Fatma, yang sejak kecil tumbuh dan besar dalam lingkungan Baduy luar, tak diperbolehkan meninggalkan rumah. Tapi, Fatma tak peduli. Ia ingin bahagia, sekalipun harus putus hubungan dengan sang ambu (ibu).
Keinginan Fatma pun akhirnya terwujud. Di Jakarta, Fatma membangun hidupnya: menikah, buka bisnis katering, serta punya satu anak. Sayang, perjalanannya tak berlangsung mulus. Pernikahannya berantakan, ia kehilangan rumah, dan hartanya terus dikuras si suami (Baim Wong). Untuk meredakan kecamuk dalam pikirannya, Fatma lalu mengajak Nona (Luthesha), anak perempuan satu-satunya, untuk “liburan dadakan” ke Baduy.
Cobaan rupanya tak berhenti sampai situ. Liburan—atau tepatnya pelarian—Fatma malah menajamkan konflik dengan ambu. Kedatangannya kian membuat konflik antar keduanya memburuk.
Widyawati Sang Primadona
Mengambil latar lokasi di lingkungan orang Baduy, Ambu merupakan film debut penyutradaraan Farid Dermawan, yang naskahnya ditulis Titien Wattimena (Mengejar Matahari, Love, Minggu Pagi di Victoria Park). Menurut pengakuan Farid, Baduy dipilih karena faktor keindahan alam.
Sejak awal, bangunan cerita Ambu solid. Plotnya sangat fokus, rapi, dan tak compang-camping. Apalagi permainan para pemerannya. Ambil contoh Widyawati yang memerankan Ambu Misnah. Kepiawaian Widyawati dalam memainkan peran tersebut tak ubahnya nyawa bagi Ambu.
Widyawati membuktikan reputasinya sebagai aktris dengan jam terbang tinggi. Di tangannya, Ambu Misnah berhasil direpresentasikan sebagai sosok seorang ibu yang kehilangan anaknya, memendam duka, menahan rasa getir, sekaligus keras kepala. Ambu Misnah berkali-kali mencoba untuk menerima kenyataan putri semata wayangnya telah “pergi”, namun berkali-kali pula ia mesti merelakan—bahwa semua tak lagi sama.
Segala duka dan amarah itu saban waktu menjalar lewat tatapan mata, tangis, teriakan, hingga sikap dingin sang ambu terhadap Fatma.
Ada banyak adegan yang dapat menggambarkannya secara paripurna. Saat Fatma tergeletak menahan rasa sakit akibat kanker payudara di tengah malam, misalnya. Alih-alih membantu putrinya berdiri, Ambu Misnah justru meminta Nona untuk mengurusnya. Ambu Misnah berusaha keras untuk (pura-pura) tak bersimpati dan menjaga jarak.
Pada kesempatan lain, Ambu Misnah terlibat pertengkaran hebat dengan cucunya, Nona. Emosinya yang sedang tak stabil, setelah mendengar kabar bahwa Fatma mengidap kanker, lalu dilampiaskan ke Nona, yang ia dapati sedang merokok di sebuah toko pernah-pernik khas Baduy. Tanpa pikir panjang, Ambu Misnah menyebut Nona sebagai “perempuan murahan” karena cuma memikirkan dirinya sendiri.
Pada momen ini, Widyawati tanpa cela memperlihatkan emosi seseorang ketika dilanda kekalutan parah.
Yang paling diingat tentu bagian tatkala Ambu Misnah memandikan Fatma menjelang film berakhir. Gerak tubuh Widyawati betul-betul menggambarkan sesakit apa pun perasaan ibu atas luka masa lalu, ia akan kembali lagi memeluk anaknya.
Widyawati berhasil bikin emosi saya campur aduk.
Keluarga dan Kompromi
Kendati dibangun dengan narasi keluarga, lebih tepatnya relasi ibu dan anak, isu yang diangkat Ambu sebetulnya menyasar pula pada isu perempuan dan kemerdekaannya.
Ada tiga representasi perempuan yang digambarkan lewat tiga karakter utama. Pertama, perempuan yang senantiasa teguh memegang nilai-nilai adat, yang dihadirkan oleh sosok Ambu Misnah.
Kedua, karakter Fatma menggambarkan perempuan yang mencoba kembali ke tradisi dan keluarga (orangtua). Terakhir, diwakili oleh karakter Nona, adalah perempuan yang kritis dan tak ragu menentang keyakinan orang lain yang dianggap tak sesuai prinsipnya.
Masing-masing karakter ini lantas bergelut dengan pikiran dan keadaan di sekitarnya yang penuh kontradiksi. Tak mudah jadi perempuan di Ambu. Ketika berbicara soal prinsip dan upaya mencari kebahagiaan hidup, mereka seringkali dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan.
Fatma, misalnya, mendapati perlawanan yang keras dari sang ibu saat ia hendak pindah ke Jakarta. Ia dikucilkan, bahkan tak lagi dianggap anak oleh sang ibu yang tak merestui pilihan hidup Fatma.
Sebuah pemandangan yang tak asing: mimpi akan kehidupan yang lebih baik kerap terbentur oleh adat, hubungan kekerabatan, hingga nilai-nilai dalam masyarakat yang masih menganggap perempuan sebaiknya di rumah saja dan melayani suami.
Lantas bagaimana solusinya? Dalam Ambu, ketiga karakter pada akhirnya mengambil jalan kompromi: menekan ego masing-masing agar dapat hidup (bahagia) dalam satu bahtera.
Barangkali memang Ambu masih terjebak pada narasi sosial khas masyarakat Indonesia bahwa "keluarga adalah segalanya" dan semua berpulang kepadanya.
Mungkin juga tidak seklise itu. Di balik narasi "kembali ke keluarga", ada satu yang subtil di sini: relasi keluarga yang ideal dan penuh belas kasih tidak akan muncul begitu saja: para anggotanya harus melalui konflik sepahit-pahitnya.
Editor: Windu Jusuf