Menuju konten utama

Alasan Warga Pulau Pari Gugat PT Holcim ke Pengadilan Swiss

Warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, menggugat PT Holcim karena berkontribusi besar terhadap dampak krisis iklim.

Alasan Warga Pulau Pari Gugat PT Holcim ke Pengadilan Swiss
Warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu melakukan aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Senin (26/3/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyebutkan alasan perusahaan semen PT Holcim digugat ke Pengadilan Swiss oleh warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, karena berkontribusi besar terhadap dampak krisis iklim.

Terdapat empat warga Pulau Pari yang menggugat, yakni Bobby, Arif, Edi dan Asmania. Mereka menggugat karena saat ini Pulau Pari dilanda banjir rob akibat krisis iklim.

"Warga Pulau Pari menggugat PT Holcim atas kontribusinya terhadap dampak krisis iklim yang mengancam pulau dan penghidupannya," kata Kepala Divisi Kajian Hukum Lingkungan Walhi Nasional, Puspa Dewy di Kantor Walhi, Rabu (12/9/2022).

Dewy menjelaskan PT Holcim merupakan perusahaan industri semen yang komponen utama dari produksi beton yang memiliki implikasi signifikan terhadap iklim.

Saat ini, kata Dewy, Holcim mengoperasikan 266 pabrik semen dan stasiun penggilingan di seluruh dunia. Perusahaan tersebut merupakan pemimpin pasar global untuk industri semen.

Merujuk dari penelitian yang dilakukan oleh HEKS/EPER, menunjukan bahwa antara tahun 1950 hingga 2020, Holcim telah memproduksi lebih dari 7 miliar ton semen. Pada 2021, perusahaan ini memproduksi 200 juta ton semen.

Produksi semen untuk bahan pembuatan beton ini setidaknya telah melepaskan karbondioksida dalam kuantitas yang cukup besar. Menurut Dewy, industri ini bertanggung jawab atas sekitar 8 persen emisi global CO2 tahunan.

Dwey mengatakan hal tersebut sebagai bahan paling destruktif di bumi, sejajar dengan perusahaan-perusahaan industri batu bara, minyak bumi, dan gas sebagai kontributor emisi utama di dunia. Oleh karena itu, mereka dijuluki sebagai carbon major.

Merujuk hasil studi yang dilakukan oleh Institut Akuntabilitas Iklim, 70 persen dari keseluruhan sejarah emisi CO2 industri dapat ditelusuri kembali ke aktivitas 108 perusahaan penyumbang emisi dunia. Oleh karena itu, Dewy menilai mereka memikul tanggung jawab besar atas pemanasan global dan konsekuensinya.

"Grup Holcim Swiss termasuk dalam daftar carbon major, karena dengan penjualan hampir 27 miliar franc per tahun 2021 dan merupakan produsen bahan bangunan terbesar di dunia," ucap Dewy.

Dewy menyatakan dengan terjadinya perubahan iklim tersebut, telah menuntun tingginya permukaan air laut, badai, gelombang tinggi atau gelombang pasang, serta menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim yang mengakibatkan banjir.

Menurut Dewy, semakin tinggi suhu global, semakin sering dan ekstrim banjir yang terjadi. Ini mengancam eksistensial bagi pulau-pulau kecil dan daerah-daerah dengan pesisir dataran rendah, termasuk banjir rob di Pulau Pari.

"Kejadian inilah yang nyata sedang dialami oleh warga Pulau Pari. Seberapa tingginya kenaikan permukaan air laut sangat bergantung pada emisi gas di masa depan," tuturnya.

Dewy menjelaskan laporan Panel Perubahan Iklim Antar Pemerintahan (IPCC) memperkirakan peningkatan emisi gas rumah kaca dapat menyebabkan naiknya permukaan air laut setinggi satu meter pada tahun 2.100.

Lebih dari 4 juta orang di Indonesia akan mengalami banjir tahunan. Dewy mengatakan kondisi ini menjadi jauh lebih buruk jika terjadi runtuhnya lapisan es di Antartika.

Akibat naiknya permukaan air laut, saat ini sudah 11 persen pulau telah menghilang ke laut. Bahkan, sebagian besar pulau dapat terendam pada awal tahun 2.050.

"Hal ini menimbulkan ancaman berat bagi hak asasi manusia bagi warga Pulau Pari, mata pencahariannya akan hancur, pantai-pantai yang indah akan hilang, begitupun pariwisata lokalnya," jelas Dewy.

Selain pariwisata, lanjut Dewy, perikanan juga akan mengalami dampak yang sama. Keanekaragaman hayati adalah korban lain dari perubahan iklim. Tidak hanya itu, air sumur warga juga telah terkontaminasi air asin akibat kenaikan permukaan air laut.

Dewy mengatakan gugatan warga Pulau Pari ini mempertanyakan sejauh mana tanggung jawab dari Holcim sebagai pemimpin pasar industri semen di dunia yang berkontribusi signifikan terhadap perubahn iklim.

Sebab, IPPC merekomendasikan pengurangan emisi keseluruhan sebanyak 43 persen pada 2030. Dewy berharap dengan cara ini target yang dimuat dalam Perjanjian Iklim Paris, yaitu membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat dapat tercapai.

Alih-alih turut mengupayakan hal itu, Dewy menilai Holcim justru menetapkan target pengurangan relatif dalam net zero 2021 dengan memangkas emisi per tonnase dari semen yang diproduksi Holcim.

"Hal ini menjadi tidak masuk akal, jika Holcim meningkatkan produksi semennya, maka emisi secara keseluruhan kemungkinan besar akan turut meningkat," imbuhnya.

Lebih lanjut, Dewy menyatakan rencana pengurangan emisi Holcim sesungguhnya jauh tertinggal dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat.

Oleh karena itu, Dewy menilai perusahaan Swiss ini tidak hanya memikul tanggung jawab historis atas krisis iklim yang terjadi saat ini, tetapi juga pemanasan global di masa depan, termasuk di Pulau Pari.

Dalam gugatan ini, PT Holcim dituntut untuk bertanggung jawab atas ancaman keselamatan warga Pulau Pari dan mengganti kerugian material. Warga juga menuntut PT Holcim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen pada 2030 dan 69 persen pada 2040.

"Holcim juga dituntut wajib menanggung biaya tindakan mitigasi perubahan iklim yang diperlukan di Pulau Pari. Ini termasuk penanaman bakau atau pertahanan banjir," kata Dewy.

Baca juga artikel terkait BANJIR ROB PULAU PARI atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan