tirto.id - Generasi milenial hipster mana yang tidak mengenal, atau setidaknya pernah mendengar serial televisi ternama berjudul "The Game of Thrones"? Serial tersebut begitu populer. Banyak kritikus melontarkan puji-pujian, jumlah penontonnya pun konsisten tinggi. Terakhir, pada September lalu serial tersebut berhasil menyabet 12 Emmy Awards dan sekaligus mencatatkan namanya sebagai serial televisi dengan perolehan Emmy Awards terbanyak hingga saat ini.
Serial besutan David Benioff dan D. B. Weiss tersebut tayang dalam salah satu saluran televisi hiburan berbayar terkemuka di dunia, HBO. Nama terakhir merupakan bagian dari gurita media raksasa Amerika Serikat, Time Warner Inc. yang juga memiliki sejumlah saluran televisi berbayar yang sangat terkenal seperti CNN dan TNT.
Baru-baru ini, nama Time Warner banyak didengung-dengungkan media. Bukan karena serial "The Game of Thrones" yang hits tersebut, tetapi lebih karena kemungkinan perusahaan tersebut akan bergabung dengan raksasa telekomunikasi AS, AT&T Inc. Pada Sabtu (22/10/2016) pekan lalu AT&T telah setuju untuk membeli Time Warner dengan harga yang sangat tinggi.
Dewan pimpinan kedua perusahaan dengan suara bulat, seperti dilaporkan oleh The Guardian, telah menyetujui bahwa AT&T akan membayar $107,50 per saham Time Warner, dalam kombinasi tunai dan saham, senilai $85,4 miliar secara keseluruhan. Kesepakatan itu diharapkan dapat selesai pada tahun 2017.
Jika kesepakatan tersebut berjalan mulus, maka dunia akan menyaksikan terciptanya salah satu perusahaan media, TV dan telekomunikasi terbesar di jagat ini. Bayangkan saja bagaimana konten jawara dari HBO, Cartoon Network, CNN, maupun film-film besutan The Warner Brothers, berpadu dengan kemampuan jaringan AT&T yang merupakan perusahaan telekomunikasi wireless terbesar kedua di Negeri Paman Sam tersebut.
Bagi sejumlah analis, keputusan AT&T tersebut merupakan langkah bisnis yang masuk akal, tapi tampak mustahil. Masuk akal jika mengingat dengan akuisisi Time Warner akan membuat bisnis AT&T semakin komprehensif, namun tampak mustahil apabila dilihat dari sisi besarnya nilai akuisisi dan masalah regulasi serta politik yang mungkin menghadang.
AT&T memang saat ini sedang berusaha untuk membuat sebuah layanan streaming video dalam model pengembangan bisnisnya. Chief Executive AT&T Randall Stephenson memprediksi jika di masa depan, bisnis televisi dan video dapat menjadi sumber baru pertumbuhan pertumbuhan perusahaan, dan akuisisi ini akan memberikan jaminan investasi akan biaya pembuatan program televisi yang terus naik dari tahun ke tahun.
Sebagai catatan, AT&T baru saja membeli DirecTV, penyedia layanan broadcasting satelit, sebesar $49 miliar pada tahun lalu sebagai bagian dari rencana perubahan besar perusahaan tersebut menuju bisnis video. Pascaakuisisi itu, analis telah memperkirakan bahwa AT&T mengincar akuisisi perusahaan media. Perlu diketahui, sebelum kesepakatan dengan Time Warner terjalin, AT&T mengincar Starz - penyedia layanan TV kabel dan satelit premium - meskipun akhirnya kalah dari Lions Gate Entertainment Corp., yang menandatangani kesepakatannya dengan Starz pada akhir Juni.
Sementara itu, menurut laporan Fortune, AT&T mengeluarkan setidaknya $9 miliar pada semester I-2016 hanya untuk penyiaran, pembuatan program, dan operasi. Di sisi lain, pemasukan perusahaan yang diperoleh melalui unit bisnis hiburan hanya sebesar $11,4 miliar. Sementara itu, penyedia layanan TV seperti Comcast, dan Charter Communications mencatat bahwa biaya pembuatan program selalu naik sebesar 8 hingga 10 persen setiap tahunnya. Jika tren tersebut terus berlanjut, studi yang dibuat oleh Bernstein Research pada April memprediksi bahwa seluruh margin profit industri TV berbayar akan lenyap pada tahun 2023.
Melalui akuisisi Time Warner yang memiliki konten yang populer dan tersebar di banyak layanan TV berbayar layaknya "The Game of Thrones," AT&T dapat mengamankan pemasukan dari sisi Time Warner kendati biaya pembuatan program mereka terus naik. "Konten premium selalu menang. Hal itu telah menjadi suatu keniscayaan di layar lebar, layar TV dan sekarang terbukti pula di layar ponsel," kata Stephenson, seperti dikutip dari The Wall Street Journal.
Seiring dengan makin ketatnya persaingan dengan media digital, maka langkah akuisisi Time Warner oleh AT&T yang mulai bergerak ke ranah video ini menjadi krusial untuk mengamankan masa depan perusahaan.
Time Warner dan AT&T mengatakan jika mereka bertujuan menjadi perusahaan nirkabel AS pertama yang bersaing secara nasional dengan perusahaan TV kabel dengan menyediakan bundel video online yang mirip dengan paket tradisional TV berbayar.
Kemungkinan Gagal
Meski demikian, proses akuisisi ini bukannya akan tanpa kendala. Selain harga beli yang tinggi, regulasi dinilai dapat membuat proses akuisisi ini batal.
Sebagai catatan, pasca pembelian DirecTV kemarin, AT&T memiliki utang jatuh tempo dalam satu tahun sebesar $10 miliar dan utang jangka panjang sebesar $117 miliar dan hanya memiliki kas sebesar $7 miliar. Dalam hitung-hitungan analis New Street Research Jonathan Chaplin, dengan sejumlah asumsi, seperti dikutip dari Fortune, kesepakatan merger AT&T dan Time Warner dapat meningkatkan pendapatan per saham AT&T sekitar 4 persen dalam tiga tahun. Namun demikian, AT&T diprediksi akan memiliki utang sekitar $180 miliar dari kesepakatan tersebut.
"Kami pikir kesepakatan tersebut merusak nilai bagi para pemegang saham AT&T," sebut Chaplin, sembari menambahkan bahwa dengan perhitungan demikian, rasionalisasi strategi bisnis perusahaan yang dijanjikan melalui akuisisi Time Warner menjadi kurang relevan.
Di sisi lain, para pengatur kebijakan di AS juga cenderung tidak membiarkan kesepakatan ini berjalan. Mereka menilai kesepakatan seperti halnya yang dilakukan oleh AT&T dan Time Warner akan membuat persaingan bisnis menjadi timpang. Selama pemerintahan Obama, misalnya, para pengatur kebijakan memblok langkah AT&T dan Sprint untuk mengakuisisi T-Mobile. Mereka juga memblok langkah Comcast untuk membeli Time Warner Cable, meskipun akhirnya mengizinkan mereka untuk membeli NBC Universal dan pada saat yang bersamaan mengijinkan Charter membeli Time Warner Cable.
Calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump sudah menyatakan sikap tidak setujunya terhadap akuisisi itu dan apabila terpilih akan melakukan blokir pada upaya bisnis itu. Di sisi lain, meskipun belum memberikan keterangan langsung mengenai hal ini, calon presiden AS dari Partai Demokrat Hillary Clinton sebelumnya sudah berjanji akan "memperkuat penegakan anti monopoli dan meneliti dengan cermat mengenai merger dan akuisisi [perusahaan-perusahaan], sehingga yang besar tidak terus semakin besar dan besar," demikian seperti dikutip dari The Guardian.
Seperti dilaporkan oleh BBC, sebuah subkomite Senat yang bertanggung jawab untuk kompetisi bisnis akan mengadakan sidang pada bulan November esok untuk mendengarkan keterangan pihak terkait.
Meski demikian, Stephenson percaya bahwa para regulator akan menyetujui kesepakatan tersebut.
Terlepas dari itu semua, jika merger ini terlaksana, maka kita akan dapat sedikit mengintip masa depan. Sebuah dunia di mana layanan streaming wireless akan mengungguli layanan TV berbayar yang saat ini masih eksis. Google sudah menunjukkan tren tersebut dengan Chromecastnya. AT&T dan Time Warner akan mempertegas fakta tersebut.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti