Menuju konten utama

Akses Mudah, Jadi Jalan Pintas Masyarakat Ngutang di Pinjol

Sebagian masyarakat menilai pinjaman online memberikan kemudahan dalam proses pengajuan, serta pencairan lebih cepat dibandingkan bank konvensional.

Akses Mudah, Jadi Jalan Pintas Masyarakat Ngutang di Pinjol
Ilustrasi HL Pinjaman Online. tirto.id/Lugas

tirto.id - Kehadiran industri pinjaman online (pinjol) atau biasa dikenal dengan fintech peer-to-peer (P2P) lending seakan membuka pintu baru bagi masyarakat ingin mengajukan pinjaman. Terlebih produk keuangan digital memberikan kemudahan dalam proses pengajuan, serta pencairan lebih cepat dibandingkan bank konvensional.

Salah satu pengguna pinjol, Adnan (bukan nama sebenarnya) mengaku terbantu dengan kehadiran pinjol. Alasannya karena jika keadaan terdesak hanya dengan satu genggaman ponsel saja, seluruh proses persyaratan dan pengajuan pinjaman bisa dilakukan cepat.

"Dibilang sering menggunakan ya enggak, tapi pernah pakai pinjol buat nutup kebutuhan dalam keadaan darurat saja. Ini cukup membantu karena prosesnya tidak ribet," kata pria lulusan SMK itu, kepada Tirto, Selasa (20/9/2022).

Dia menjelaskan, persyaratan akses pinjol cukup mudah dengan hanya menunjukkan dokumen pribadi, seperti, KTP, KK, NPWP, dan slip gaji. Proses pengajuan bisa dilakukan. Bahkan, sejak awal diajukan hingga dana sampai ke tangan, hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 24 jam.

"Biasanya satu jam paling lama sih cairnya," imbuh dia.

Walaupun demikian, dia menyadari di balik kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan pinjol ada risiko yang besar tidak bisa dipungkiri. Pertama tingkat suku bunga yang cenderung lebih tinggi dan tenor cicilan yang lebih ringkas.

"Kalau bunga iya memang tinggi, tapi ya mau gimana lagi namanya butuh," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Ogi Prastomiyono menyampaikan, batas atas tingkat bunga fintech lending sebelumnya telah ditetapkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yaitu sebesar 0,4 persen per hari. Namun banyak pemahaman, tingkat bunga itu diperuntukan bagi seluruh jenis pinjaman.

Menurut dia, tingkat bunga maksimal 0,4 persen hanya diperuntukan untuk jenis pinjaman konsumtif dengan tenor jangka pendek, sehingga tidak sesuai jika dihitung untuk tenor jangka panjang. Tingkat bunga tersebut tidak diadopsi pinjaman-pinjaman produktif yang memiliki tingkat bunga antara 12 persen sampai dengan 24 persen per tahun.

"Nah bunga pinjaman produktif itu cukup kompetitif dibandingkan bunga bank umum, BPR, dan multifinance. Juga jauh lebih bagus kalau dibandingkan bunga dari rentenir. OJK belum mengeluarkan seperti itu (menentukan tingkat bunga). Kita lagi pikir-pikir mengenai penetapan pricing itu sebaiknya mekanisme pasar saja," jelas Ogi, baru-baru ini.

Sementara itu, Deputi Komisioner Pengawas IKNB 2 OJK Moch Ihsanuddin mengungkapkan bahwa penetapan bunga sebesar 0,4 persen oleh AFPI telah melalui berbagai pertimbangan. Salah satunya hasil riset AFPI dengan OJK yang menunjukkan bahwa pengenaan bunga kepada borrower di industri fintech lending adalah sekitar 0,3 persen sampai dengan 0,5 persen per hari.

"Jadi memang rata-rata sekitar 0,4 persen. Tapi cara membacanya jangan langsung dikalikan sepanjang tahun. Karena tingkat bunga ini untuk produk-produk multiguna atau konsumtif, yang rata-rata tenor pinjamannya 14 hari sampai dengan satu bulan," kata dia.

Ihsanuddin mengungkapkan, jika batas 0,4 persen diperuntukan untuk pinjaman tenor panjang memang bakal menghasilkan bunga yang cukup tinggi. Oleh karena itu, tingkat bunga maksimal tersebut hanya cocok diperuntukan untuk jenis pinjaman dengan tenor pendek-sangat pendek, misal untuk pinjaman selama 14 hari.

"OJK itu tidak serta merta menetapkan atau ketok (tingkat bunga). Ini akan didiskusikan dengan asosiasi. Kan di bawah asosiasi ini kan para pelaku, nanti dilakukan rule making rules process. Nanti didiskusikan bersama suku bunga yang pas itu berapa. Artinya jangan menekan para konsumen, tetapi p2p-nya sustain. Jangan p2p jadi rugi dan mati. Nah kalau itu bukan regulator tapi eksekutor. Nanti diambil jalan tengah yang terbaik," ujar Ihsanuddin.

Baca juga artikel terkait PINJOL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin