tirto.id - Real Madrid hanya butuh satu minggu untuk menjadi lelucon. Di Santiago Bernabéu, markas mereka, anak asuh Santiago Solari itu baru saja kalah tiga kali secara berurutan.
Lelucon dimulai pada 28 Februari lalu, saat mereka harus angkat koper dari Copa del Rey setelah kalah 0-3 dari Barcelona. Tiga hari berselang, giliran gelar La Liga yang hampir pasti melayang gara-gara mereka kembali kalah dari Barcelona.
Dan terakhir, Rabu (6/3/2019) dini hari tadi, Madrid juga dipastikan gagal mempertahankan gelar Liga Champions setelah kalah 1-4 dari Ajax Amsterdam pada pertandingan leg kedua babak 16 besar.
Mengomentari kekalahan Madrid dari Ajax, Sid Lowe, jurnalis Guardian, menulis: “ketika akhir pertandingan tiba, itu sangat brutal. Itu juga sangat brilian. Ajax datang ke Bernabéu dan mencabik-cabik Madrid, mencetak empat gol, dimana gol-gol Ajax selalu lebih bagus daripada gol mereka sebelumnya.”
Pujian Lowe terhadap penampilan Ajax itu tepat sasaran. Dibandingkan dengan pemain-pemain Madrid, 11 pejuang Ajax tampil lebih bagus, baik sebagai tim maupun individu.
Bermain dengan formasi 4-2-3-1, Ajax tampil dengan rencana yang amat matang. Saat menyerang, umpan-umpan mereka jelas ujung pangkalnya; sedangkan saat bertahan, mereka punya satu tujuan: melakukan pressing yang berorientasi man-to-man marking terhadap pemain-pemain tengah Madrid.
Donny van de Beek menjaga Casemiro, Lasse Schöne menekan Toni Kroos, dan Frankie de Jong diberi tugas untuk mengintimidasi Luka Modrić.
Dari sana, tanpa Sergio Ramos, Madrid kesulitan melakukan build-up serangan dari belakang. Karena Casemiro mati kutu di tangan van de Beek, Modrić dan Kross terpaksa sering turun jauh ke belakang untuk menjembatani serangan. Namun, pressing de Jong serta Schöne juga membuat kedua pemain tersebut kesulitan.
Maka, saat mereka tetap memaksa melakukan serangan dari lini belakang, yang terjadi selanjutnya adalah bencana.
Gol pertama Ajax dalam pertandingan itu bisa menjadi contoh. Kala itu, Schöne berhasil membuat Kroos kehilangan bola di sektor kiri pertahanan Madrid. Bola kemudian berhasil dikuasai oleh Dušan Tadić, penyerang Ajax, yang kemudian mengirimkan umpan cut-back ke arah Hakim Ziyech.
Selain itu, Ajax setidaknya juga mendapatkan tiga peluang karena pressing yang mereka lakukan.
Terutama pada babak pertama, pressing Ajax memang benar-benar membuat pemain tengah Madrid tak berkembang. Setidaknya statistik mampu memberi bukti. Menurut hitung-hitungan Musa Okwonga, Kross kehilangan bola sepuluh kali hanya di sepanjang babak pertama. Sementara itu, menurut catatan Whoscored, Casemiro hanya mampu menyentuh bola sebanyak 27 kali, kalah dari Thibaut Courtois, kiper Madrid, yang berhasil menyentuh bola sebanyak 28 kali.
Pertahanan Super Buruk
Yang menarik, masalah Madrid dalam menyerang juga dilengkapi dengan pertahanan yang super buruk. Transisi bertahan begitu lambat dan tidak terkoordinasi dengan baik. Dari sinilah Tadić bisa tampil semena-mena.
Bermain sebagai penyerang tunggal, Tadić mampu berperan apik sebagai false nine. Ia rajin turun ke belakang atau bergerak ke samping untuk membikin Nacho dan Raphaël Varane, duet bek tengah Madrid, kebingungan.
Dari sana, ditambah dengan sering telatnya Carvajal serta Casemiro mundur ke belakang, lini belakang Madrid seringkali kalah jumlah dibanding pemain depan Ajax. Pasalnya, saat Tadić menguasai bola, van de Beek, Ziyech, serta David Neres, tiga gelandang serang Ajax, sering bergerak serempak ke lini depan.
Karena itu, Tadić bisa memiliki banyak pilihan untuk memberikan umpan ke arah depan. Setidaknya dia berhasil menciptakan lima peluang lewat situasi seperti itu.
Gol kedua Ajax bisa menjadi contoh betapa buruknya koordinasi pertahanan Madrid. Saat itu, setelah berhasil melewati Casemiro, Tadić secara jeli mengirimkan umpan ke arah Neres yang berdiri tanpa kawalan di sisi kanan pertahanan Madrid. Modrić, yang berada di dekat Neres, telat menyadarinya.
Neres pun akhirnya bisa mencetak gol dengan mudah.
Di mana Carvajal saat itu? Tanpa sebab yang jelas, full-back kanan Madrid itu justru bergerak ke sisi kiri pertahanan Madrid.
Hebatnya, penampilan luar biasa Ajax disertai dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi dari para pemainnya. Karena ketenangannya saat menguasai bola, de Jong sempat membuat Modrić dan Vinicius Júnior tampak bodoh. Neres juga sempat mengeluarkan trik ajaib saat melewati Carvajal di sisi kanan pertahanan Madrid.
Dan Tadić, yang menjadi bintang kemenangan Ajax dalam pertandingan tersebut, benar-benar sangat sulit dihentikan dalam situasi satu lawan satu: ia melakukan empat kali percobaan dribel dan semuanya sukses.
Untuk semua itu, Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris, lantas mengambil kesimpulan: Ajax tidak hanya mengalahkan Madrid, tapi juga mempermalukan tim terbaik dalam sejarah Liga Champions.
Editor: Rio Apinino