Menuju konten utama

Agar Pengusaha UKM Perempuan Tak Lagi Sulit Mengakses Kredit

Pengusaha UKM Perempuan masih termarginalkan dari jasa finansial bank konvensional. Kemunculan fintech memberikan secercah harapan bagi mereka.

Agar Pengusaha UKM Perempuan Tak Lagi Sulit Mengakses Kredit
Ilustrasi toko online. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Setiap pagi di jalan sempit menuju Stasiun Universitas Indonesia (UI), Ibu Narni telah siap menjajakan dagangannya. Sudah empat tahun dia menjadi penjual roti, lumpia, dan nasi goreng. Ia mengawali usahanya dari modal pribadi. "Pakai duit dompet sendiri,” jelasnya kepada Tirto.

Ia sebenarnya ingin membesarkan usahanya dan pindah ke tempat yang lebih strategis. Menurutnya, area di sekitar Stasiun UI saat ini sudah mulai sepi. Rencana pengembangan bisnis ini juga tertahan karena rumitnya prosedur untuk mendapatkan modal tambahan. “Kalau pinjam ke bank nggak mau risikonya. Risikonya kan suka beban pikiran. Kalau lagi rame ya mungkin enak ya, kalua lagi sepi gimana untuk bayarnya,” tutur Ibu Narni.

15 meter dari lokasi jualan Ibu Narni, ada pengusaha perempuan lain, Ibu Tarti, yang telah memulai usahanya dari tahun 1998. Ia sudah dua kali meminjam uang dari bank, dan keduanya masuk kategori lancar hingga lunas. Proses kredit pertama dan kedua sangat berbeda. Proses kredit kedua nyaris tanpa persoalan yang berarti. Itu sangat berbeda dibandingkan pada kredit pertama, Ibu Tita harus mencari bantuan untuk melengkapi persyaratan berupa jaminan kredit. “Waktu pertama saya minjem tidak ada sertifikat rumah, jadi harus pinjam sertifikat tanah sama mertua untuk jaminan” tuturnya kepada Tirto.

Kisah Ibu Narni dan Ibu Tarti tentu dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kendala yang pengusaha perempuan alami dalam mengakses layanan finansial untuk dana memulai dan mengembangkan usaha. Situasi ini tentu disayangkan, karena menurut data Bank Dunia, UKM yang dimiliki perempuan Indonesia berkontribusi hingga 9,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Selain itu, menurut kajian Bank Dunia pada Juni 2017, ketika ingin melakukan peminjaman untuk modal memulai atau ekspansi usaha ke bank, pengusaha perempuan di negara berkembang dihadapkan dengan persyaratan yang menyulitkan. Sebagai contoh, untuk bisa mendapatkan kredit mereka harus memiliki surat aset tidak bergerak (sertifikat rumah/tanah) yang dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian dengan bank. Persyaratan ini tentu saja menyulitkan, karena biasanya perempuan tidak menjadi nama pemilik dalam sertifikat aset bernilai tinggi tidak bergerak seperti tanah/rumah.

Tidak hanya itu, persyaratan seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau slip gaji juga dianggap tidak realistis. Ini karena dari awal pengusaha perempuan ini tidak bekerja dalam sektor formal sehingga sulit untuk mendapatkan informasi yang menunjukkan rekam jejak keuangan mereka.

Ada juga permasalahan terkait infrastruktur dalam aspek sulitnya akses ke kantor-kantor bank untuk mereka yang tinggal di daerah terpencil. Walaupun di Indonesia sudah ada inisiatif Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akan tetapi layanan ini masih menggunakan bank konvensional sebagai agen dan terbatas pada pemberian rujukan kredit untuk akhirnya meminjam ke bank.

Terbatasnya layanan finansial dari sektor finansial konvensional terhadap pengusaha UKM perempuan menjadi salah satu urgensi dibentuknya perusahaan teknologi finansial (fintech) yang bergerak khusus dalam memberikan akses finansial, pendidikan, dan pemberdayaan terhadap para (calon) pengusaha.

Salah satu perusahaan yang memberikan jasa kredit ke perusahaan UKM perempuan adalah Amartha Mikro Fintech. Perusahaan ini melakukan analisis kelayakan kredit berdasarkan analisis data calon peminjam yang dihimpun dan kemudian dianalisis secara digital melalui aplikasi mereka. “Kita melayani 100 persen pengusaha perempuan. Terus, petugas lapangan kita juga 90 persen perempuan,” tutur Aria Widyanto, Vice President Amartha, kepada Tirto di hari Kamis (2/10/17).

Baca juga: Mendamaikan Dunia Online dan Offline di Layanan Bank

Infografik potensi UKM perempuan

Akan tetapi, sistem peminjaman modal untuk pengusaha prasejahtera sebagai solusi untuk menurunkan angka kemiskinan tidaklah imun dari kritik. Sistem ini dianggap gagal dalam mengurangi kemiskinan karena mayoritas dari para pemberi dana hanya fokus dalam aspek konsumsi dan investasi terhadap usaha kecil-menengah. Mereka dinilai tidak membuahkan hasil yang nyata karena kesuksesan diukur hanya berdasarkan standar kuantitatif keuntungan bukan dampak sosial secara menyeluruh. Akibatnya, pemberdayaan dalam aspek edukasi bisnis dan literasi finansial tidak menjadi terpinggirkan.

Baca juga: Pelajaran Transaksi Non Tunai dari India

Sebagai sebuah jawaban tak sengaja terhadap kritikan ini, fintech seperti Amartha melakukan beberapa inovasi dalam praktik bisnisnya. Salah satunya, Amartha berpartisipasi aktif dalam peningkatan pendidikan literasi finansial dan pelatihan pengelolaan bisnis untuk para calon penerima pinjaman. Pengusaha perempuan dilatih untuk mengelola keuangan agar dapat menjalankan bisnisnya dan menyejahterakan keluarga mereka. Amartha juga tidak memberikan pinjaman untuk aktivitas konsumsi melainkan hanya modal usaha.

Selain itu, pembiayaan tidak ditargetkan kepada individu melainkan pada level kelompok (15-20 orang) sehingga jika ada kredit macet akan dilakukan sistem tanggung renteng yang memprioritaskan pengambilan keputusan secara musyawarah. Hingga saat ini, setidaknya 99,52 persen pembayaran di Amartha dilakukan tepat waktu.

“Kita tidak hanya berbisnis pinjaman. Ada dua pilar utama. Pertama, pemberdayaan. Kedua, fasilitas pembiayaan. Di sini, pemberdayaan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Karena kita ingin satu komunitas ini bisa sustainable. Kita tidak hanya kasih pinjaman terus minta dibalikin plus profit sharing-nya, tapi kita ingin pinjaman kita bisa bermanfaat untuk perekonomian keluarganya,” jelas Aria.

Mengapa Hanya Pengusaha Perempuan?

Berdasarkan hasilfocus group discussion (FGD) yang dilakukan oleh Internasional Finance Corporations bekerja sama dengan USAID mengenai persepsi terhadap pengusaha perempuan Indonesia, pengusaha perempuan dianggap memiliki banyak keuntungan sebagai pebisnis antara lain: kemampuan komunikasi yang baik, fokus dan detail, dan juga lebih disiplin dalam mengatur keuangan. Hasil studi ini senada dengan alasan Amartha untuk berinvestasi secara penuh kepada pengusaha perempuan, “Tingkat gagal bayar perempuan itu lebih rendah dibandingkan laki-laki. Jadi minjemin ke pengusaha perempuan itu jauh lebih aman,” kata Aria.

Amartha memiliki setidaknya 90 persen pekerja lapangan perempuan. Mereka merupakan masyarakat lokal yang tinggal di lokasi proyek Amartha. Alasan di balik komposisi pekerja lapangan yang didominasi perempuan ini adalah untuk memperluas upaya pemberdayaan perempuan. Melalui strategi ini, mereka dapat ikut belajar berbagai keahlian seperti manajemen proyek, komunikasi kelompok, dan industri finansial. Pekerja lapangan ini juga bertanggung jawab dalam menghubungkan para pengusaha perempuan yang belum melek teknologi sehingga efek ketimpangan literasi digital bisa diminimalisir.

Tentu saja, solusi terhadap peningkatan finansial tidak terbatas hanya pada jasa kredit dari fintech. Pengembangan sistem pembayaran berbasis telepon genggam seperti M-PESA di Kenya juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan akses finansial di daerah terpencil.

Peran teknologi finansial dalam industri finansial saat ini tidak terbatas pada teknologi pembayaran yang dinikmati oleh masyarakat perkotaan melalui konsumsi. Fintech memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam usaha pemberdayaan kelompok termaginalkan yang masih dirugikan oleh kompleksnya sistem perbankan konvensional. Jika berkaca dari riset Kantar TNS Australia bekerja sama dengan Google, saat ini masih ada setidaknya 39 persen perempuan yang ingin berwirausaha. Untuk itu, usaha meningkatkan inklusifitas sistem finansial harus dilakukan dengan kolaborasi antara sektor privat dan publik dalam mencapai kelompok-kelompok yang masih termarginalkan. Pemerintah harus sigap dalam menghadapi dan mengadaptasi arus perkembangan teknologi di industri finansial.

Baca juga artikel terkait FINTECH atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Bisnis
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti