tirto.id - “Tidak terasa, sudah sembilan tahun [berlalu],” buka Nadiem Makarim, pendiri Gojek, dalam konferensi pers perubahan logo perusahaan.
Nadiem menerangkan awal mula perusahaannya, bukan sebagai startup teknologi, melainkan call center ojek.“Waktu itu, kantornya sebesar stage ini, 5x7. Waktu itu pun kita belum punya teknologi, belum punya pendanaan."
Pada 2010, Nadiem Makarim, mantan pekerja McKinsey dan co-founder Zalora, mendirikan Gojek bersama Kevin Aluwi dan Michaelangelo Moran.
Nadiem berkisah, Gojek di 2010 sangat berbeda dibandingkan kini. “Sistemnya manual. Pesan ojek pake telepon, [dan pekerja Gojek] menelepon satu per satu [pengemudi ojek] hingga ada yang menerima order.” Lantas, hingga empat tahun berlalu sejak pendirian, tak ada yang mau mendanai Gojek.
“Saya pun harus kerja di tempat lain untuk menafkahi diri saya dan keluarga, juga untuk nombokin Gojek,” kenang Nadiem.
Kini, setelah meluncurkan aplikasi ponsel pintar pada 2015 dengan hanya menawarkan tiga layanan: GoRide, GoSend, dan GoMart, Gojek menggurita. Menurut hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia—yang didanai Gojek—pada 2018 lalu, Gojek menyumbang Rp44,2 triliun bagi perekonomian Indonesia. Lalu, kualitas mitra pengemudi, yang populer disebut driver, disebut meningkat hingga 100 persen.
Tak hanya sopir, melalui layanan GoFood, misalnya, Gojek sukses meningkatkan volume transaksi UMKM Indonesia hingga 93 persen.
“Gojek menjadi gerakan, bukan hanya perusahaan. [Gerakan yang menciptakan] revolusi di bidang kemanusiaan," Nadiem menegaskan dalam konferensi pers itu.
Gerakan itu, menurut Kevin Aluwi, yang juga pendiri Gojek, tercipta atas tiga aplikasi super yang ditenagai Gojek, yang menurutnya menggerakkan tiga hal. "Manusia, melalui para driver ojek, barang, melalui layanan seperti GoFood dan GoSend, dan uang, melalui dompet digital GoPay.”
Sayangnya, meskipun Gojek kini gemilang, Andre Soelistyo, Presiden Gojek Group, mengatakan bahwa terdapat beberapa layanan yang belum untung. “Dari beragam portfolio yang kami miliki itu, ada yang sudah BEP, ada yang masih tahap investasi, dan juga ada yang masih negatif.”
Keterangan ini senada dengan omongan Nadiem pada Agustus 2018 lalu. Kala itu, dalam pemberitaan yang dimuat Channel News Asia, Nadiem menyebut segala lini jasa yang dijalankan Gojek “sangat dekat” untuk memperoleh profit, kecuali lini transportasi mencakup GoRide dan GoCar.
Padahal, kala kabar tersebut dirilis, secara keseluruhan Gojek memproses lebih dari 100 juta transaksi dengan 20 hingga 25 juta pengguna aktif bulanan. Nadiem lalu melanjutkan, bisnis inti Gojek adalah GoFood, layanan pesan-antar yang menjadi nomor 1 di Indonesia hanya dalam waktu 6 jam semenjak dirilis pada 2015 lalu.
Mengubah Kehidupan
Sebagai pekerja kantoran sekaligus ibu rumah tangga, Nunik sibuk betul. Di pagi hari, selain menyiapkan keperluan rumah tangga, ia pun harus menyambi menyiapkan keperluan pekerjaannya. Namun, itu kisah lebih dari setahun lalu. Kini, menurutnya, ia terbantu oleh berbagai aplikasi, semisal GoJek, GoLife, hingga HappyFresh dari Grab.
“Kalo saya lagi tepar, padahal kerjaan numpuk, tinggal pake GoClean untuk beberes rumah,” katanya.
Aplikasi ponsel pintar juga membentuk rutinitas Rudi, seorang pekerja kreatif di Jakarta. Dalam penuturannya, ia kini jarang keluar kantor untuk makan siang. Memesan makanan via GoFood beberapa saat sebelum jam makan tiba, kini sudah menjadi kebiasaannya.
“Enggak repot dan enggak perlu susah lagi kalo cari makan,” tutur Rudi.
Perubahan perilaku atas kehadiran aplikasi on-demand memang mengemuka. Manuela Manueke dalam paper berjudul “Persepsi Masyarakat Tentang Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online Di Kota Manado (Studi Kasus Go-jek)" (2018), terdapat beberapa kesimpulan tentang kehadiran Gojek di Manado.
Pertama, Gojek, melalui layanan GoRide, mempermudah masyarakat memperoleh moda transportasi, yang dahulu harus dicari di pangkalan ojek ataupun angkot. Kedua, atas transparansi tarif yang ditampilkan di aplikasi, masyarakat Manado disebutnya merasa dapat berhemat dan tidak terjebak pada tarif yang tak sesuai.
Namun, kehadiran aplikasi seperti Gojek pun menghadirkan kritik. Dalam “Gojek dan Kerja Digital: Kerentanan dan Ilusi Kesejahteraan yang Dialami Oleh Mitra Pengemudi Dalam Kerja Berbasis Platform Digital” yang ditulis Anggalih Bayu Kamim (Jurnal Studi Pemuda, 2019), kerja aplikasi seperti Gojek berkonsep “gamifikasi.”
Konsep kerja ini menggunakan cara berpikir game dan mekanik game untuk memperkuat hubungan dengan pengguna dan menyelesaikan masalah. Dalam konsep ini, menurut Anggalih, perusahaan menciptakan seperangkat aturan yang terdiri dari misi-misi, poin, dan ketercapaian tertentu. Tujuannya agar pekerja menjadikan aturan perusahaan selayaknya misi dalam game, yang harus diselesaikan dengan sukacita. Akibatnya, tercipta hubungan kerja “abu-abu” dengan mitranya.
“Mitra pengemudi Gojek pada dasarnya memang sudah menjadi ‘tenaga kerja digital’ yang memang harus mau menanggung ‘kerja’ tanpa penjaminan akan upah dan asuransi yang jelas. Berbeda dengan ‘tenaga kerja digital’ seperti ‘pekerja informasi’ yang bertugas membuat dan mengkomodifikasi konten seperti para pekerja di Facebook, Twitter, dan lain-lain, mitra pengemudi Gojek pada dasarnya menjadi ‘kontraktor independen,’” tulis Anggalih dalam papernya.
Di sisi lain, pihak Gojek berpandangan bahwa opini negatif terjadi karena teknologi kini bersifat disruptif terhadap ekonomi konvensional. Meski demikian, mereka meyakini bahwa bisnis teknologi ini memberi terang bagi khalayak.
"Untuk pertama kalinya kita bangsa Indonesia melahirkan konsep teknologi yang memberdayakan," kata Presiden Gojek Group Andre Soelistyo.
Editor: Maulida Sri Handayani