tirto.id - Ketika wabah Covid-19 sampai di Indonesia, awal Maret 2021, pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran banyak orang—di samping “kapan pandemi ini akan berakhir?”—adalah: sanggupkah bangsa dengan populasi 250 juta jiwa ini memproduksi vaksin sendiri?
Pertanyaan di atas menjadi penting bukan semata karena dampak ekonominya lebih menguntungkan ketimbang membeli vaksin dari luar negeri, tapi juga dapat menjadi tolak ukur berkembang-tidaknya tradisi ilmiah di Indonesia—perkara yang kelak dapat mendongkrak kepercayaan diri dan rasa bangga orang Indonesia.
Setidaknya, kebanggaan semacam itu tecermin dari pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin saat menyaksikan penyerahan seed Vaksin Merah Putih dari Rektor Universitas Airlangga (Unair) Mohammad Nasih kepada Direktur PT. Biotis Pharmaceuticals Indonesia, FX Sudirman, Selasa (9/11).
“Saya ucapkan rasa bangga yang sangat tinggi terhadap rekan-rekan di Unair karena menjadi yang pertama dalam menciptakan produksi vaksin dalam negeri. Saya juga ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada PT. Biotis Pharmaceuticals Indonesia. Saya doakan mudah-mudahan UNAIR saat ini menjadi lebih baik dari sebelumnya dan akan menjadi lebih baik ke depan dari pada kondisi sekarang,” ungkap Budi.
Vaksin Merah Putih disiapkan sejak Maret 2020, seiring munculnya kasus pertama Covid-19 yang ditangani sejumlah rumah sakit rujukan di Jawa Timur, salah satunya RS Unair. Selain punya rumah sakit, di lingkungan UNAIR ada pula Lembaga Penyakit Tropis (LPT) yang berdiri sejak 1996. Lokasi keduanya yang berdekatan membuat para peneliti bisa dengan segera menganalisis genetika material virus.
Vaksin Merah Putih sudah terdaftar di WHO dan telah menyelesaikan uji pre-klinik pada November lalu. Kini, tim peneliti Vaksin Merah Putih tengah menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melaksanakan uji klinik pada manusia. Kelak, jika semua prosedur sudah rampung dan Vaksin Merah Putih dinyatakan aman untuk digunakan, vaksin buatan anak bangsa itu bisa dimanfaatkan sebagai booster.
“Jika dalam proses ke depan, Vaksin Merah Putih dapat digunakan sebagai booster maka saya siap menjadi relawan pertama, tetapi jika kemudian syarat uji klinik adalah yang pertama kali mendapat vaksin atau belum divaksin maka membutuhkan relawan yang lain,” ucap Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Pawaransa.
Sebagai alumni—saat ini Khofifah adalah Ketua Ikatan Alumni Unair—lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR itu terang-terangan menyampaikan kebanggaannya terhadap almamater.
“Saya bangga dengan UNAIR yang telah memberikan persembahan terbaik bagi negeri ini untuk memberikan perlindungan dan keselamatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Saya tegaskan kembali bahwa saya akan menjadi orang yang berdiri di depan untuk mendorong suksesnya uji klinik vaksin tahap pertama, kedua, dan ketiga.”
Prestasi yang Melebihi Ekspektasi
Lepas dari soal Vaksin Merah Putih, UNAIR juga punya segudang prestasi di berbagai bidang, terutama di bidang riset teknologi. Setidaknya, hal demikian tampak pada pidato Mohammad Nasih dalam Dies Natalis Unair ke-67 pada 9 November silam.
“Prof. Dr. Suryani Dyah Astuti, S.Si., M.Si. mengembangkan Dentolaser sebagai alat kesehatan berbasis fotonik untuk akselerator respon penyembuhan penyakit gigi dan mulut yang bersifat non invasif, efektif, aman dan murah. Sedangkan grup riset Sensor dan Teknologi Lingkungan yang dipimpin oleh Dr. rer. nat. Ganden Supriyanto, M.Sc., telah mengembangkan sensor fotometrik berbasis nanopartikel logam untuk mendeteksi penyakit degeneratif seperti kanker dan diabetes,” papar Nasih.
Terkait itu, Nasih menjelaskan bahwa kini pihaknya juga mendapat banyak tawaran kerjasama dari universitas lain, khususnya di bidang riset. “Tawaran kolaborasi dan publikasi bersama dari kampus-kampus lain, U to U, adalah sesuatu yang luar biasa.”
Di bidang penulisan karya akademik, UNAIR juga mencatatkan prestasi mentereng lewat Asian Journal of Accounting Research (AJAR). Jurnal yang dikelola oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair itu berhasil menjadi jurnal akuntansi pertama di Indonesia yang terindeks Scopus. Selain terindeks Scopus, AJAR juga terindeks oleh Australian Business Deans Council (ABDC).
Dengan capaian demikian, tak mengherankan jika Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta memberikan hibah untuk membangun Academic Writing Center (AWC) di lingkungan Unair. Sedikitnya bakal ada tiga program di lembaga tersebut, yakni Writing Clinic, Writing Consultation, dan Staff Training.
Jika biasanya prestasi sebuah universitas dilihat dari peringkat lembaga tersebut di lingkup global maupun nasional, capaian UNAIR juga tak kalah menggembirakan. Kampus yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1954 ini—tepat 9 tahun setelah Pertempuran Surabaya—per Juni 2021 menduduki peringat ke-4 universitas terbaik di Indonesia dan masuk 500 besar kampus terbaik dunia (urutan ke-465) versi QS Word University Ranking).
Sedangkan survey QS Asia University Rankings (AUR) 2022 menyatakan, per November 2021 UNAIR berada di peringkat ke-4 kampus terbaik dalam negeri dan ke-110 di level Asia, naik 29 persen dari capaian tahun sebelumnya.
“Yang membanggakan bukan perkara ranking semata, tapi indikator-indikator yang digunakan yang menunjukkan bahwa UNAIR mengalami peningkatan luar biasa, misalnya jumlah publikasi karya ilmiah,” sambung Nasih.
Pada Oktober 2021, Unair juga keluar sebagai juara pertama Liga PTN-BH Dalam Pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) 2020. UNAIR mendapat nilai tertinggi se Indonesia untuk kategori: Jumlah Mahasiswa MBKM dan Berprestasi (IKU 2) serta Dosen Praktisi, Bekerjasama QS Subject 100, dan Membina Mahasiswa (IKU 3).
Selain itu, UNAIR juga mendapat anugerah Peringkat 1 Kategori Informatif untuk Perguruan Tinggi Negeri dari Komisi Informasi Pusat (KIP). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah lembaga pendidikan UNAIR juga terbukti transparan dan informatif, dalam arti bisa diakses publik.
Lantas, apa kunci di balik kesuksesan universitas yang berlokasi di Jalan Mayjen. Prof. Dr. Moestopo No. 47 (Kampus A) dan Jalan Airlangga No. 4-6 (Kampus B) Surabaya itu? Jawabannya, pertama: internasionalisasi kampus melalui kemitraan global—UNAIR berkolaborasi dengan universitas dan lembaga internasional; kedua: dukungan untuk riset yang kuat; dan ketiga: UNAIR punya pengajar yang kompeten, baik dari kalangan dosen maupun praktisi.
Mengingat semua itu berlangsung di tengah situasi yang tidak mudah seperti pandemi, semua capaian itu dianggap Nasih melebihi ekspektasi. Terakhir, profesor di bidang Akuntansi itu memberikan apresiasi bagi semua pihak yang telah berjuang bersama mewujudkan UNAIR yang lebih baik.
“Ini bukan kerja rektor semata, tapi kerja keras semua komponen, baik civitas akademi maupun para stakeholder, di lingkungan UNAIR.”
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis