tirto.id - Sekitar di penghujung 1970-an, Hayao Miyazaki menggambar sejumlah sketsa, tentang seorang putri yang tinggal di hutan dengan sesosok makhluk buas. Tapi, ide itu baru ditumpahkannya pada storyboard film setelah menunggu sekitar 20 tahun lebih, tepatnya pada Agustus 1994.
Kendalanya adalah perkembangan zaman. Alat gambar dan tentu saja cara menggambar animasi sudah berubah sejak My Neighbor Totoro (1988), salah satu film Miyazaki yang tersohor dan ramai menangguk penghargaan. Ia kesulitan menerjemahkan gagasan dan visualisasi yang diinginkannya.
Film itu akhirnya baru kelar sebulan sebelum tanggal rilisnya, pada Juli 1997. Ada 144 ribu gambar seluloid yang dipantau sendiri oleh Miyazaki dalam film tersebut. Ia bahkan menggambar ulang sendiri sekitar 80 ribu di antaranya, menunjukkan sifat perfeksionis khas Hayao Miyazaki. Film animasi itu kemudian diberi judul Mononoke Him di Jepang, dan Princess Mononoke di Amerika Serikat.
Latarnya masa Muromachi di Jepang, sekitar 1336 sampai 1573. Tepatnya di sebuah desa legenda bernama Emishi. Pangeran terakhir Emishi, Ashitaka terkena kutukan di lengan kanannya ketika desa itu diserang Setan Hutan berwujud babi raksasa, bernama Nago. Kutukan itu memberinya kekuatan super, tapi Ashitaka diramalkan akan mati karenanya. Satu-satunya kemungkinan menyelamatkan nyawanya adalah pergi ke wilayah barat, tempat asal Nago. Penawar kutukan itu mungkin ada di sana.
Dalam perjalanan, Ashitaka bertemu keganasan para samurai, dan biksu pengelana bernama Jiko-bo. Sang biksu memberitahu sang pangeran tentang roh penjaga hutan yang mungkin bisa menolongnya sembuh dari kutukan. Roh itu disebut Dewa Rusa, karena perawakannya yang menyerupai rusa. Singkat cerita, Ashitaka melanjutkan perjalan ke sana.
Di tengah jalan ia menemukan dua orang sekarat di tepi sungai. Keduanya adalah pengembala dari Desa Besi, yang letaknya di pinggir hutan milik Dewa Rusa. Ashitaka menolong mereka. Di saat yang sama ia juga bertemu dengan Putri Mononoke, seorang manusia yang sejak kecil tinggal di hutan dan dirawat seekor serigala. Mononoke sendiri bukan namanya, hanya julukan yang diberikan warga desa. Ia dipanggil San oleh ibu serigalanya. Dalam bahasa Jepang, Mononoke berarti roh atau raksasa.
Setelah berhasil membawa dua penggembala kembali ke desanya, Ashitaka disambut bak pahlawan di sana. Ia bertemu dengan Madam Eboshi, pimpinan desa tersebut. Rupanya, perempuan itu adalah dari kematian Nago yang sempat mengamuk hingga Emishi. Demi menjalankan roda kehidupan di Desa Besi, Eboshi menggiring warganya untuk mengeruk bijih besi dari sungai dan alam sekitar. Hal ini yang kemudian menggerus hutan, dan membuat para roh binatang di dalamnya marah.
Meski demikian, Eboshi bukan tokoh antagonis di sini. Ada San, sang Putri Mononoke yang juga jadi musuh warga desa. Ia mewakili para binatang di hutan yang membenci manusia karena merusak rumahnya—dibenci warga kampung karena selalu berusaha membunuh Eboshi.
Ashitaka muncul sebagai penengah konflik. Ia tak membela hewan, begitu juga warga desa. Ia melihat sendiri betapa Eboshi membela mati-matian kampungnya. Orang-orang di desa itu sebagian terkena kusta, tapi diperlakukan Eboshi dengan bijak, tak seperti di desa lain. Perempuan dan laki-laki juga diperlakukan sama di sana. Bahkan para perempuan diajari berperang untuk membentengi diri, sesuatu yang belum jamak di masa itu. Namun di saat bersamaan, Ashitaka juga melihat penderitaan hewan yang rumahnya digerogoti manusia.
Tema anime ini dianggap unik dan segar, 20 tahun lalu. Interpretasi Miyazaki pada isu lingkungan dalam film ini menuai pujian skala internasional. Kritikus Roger Ebert menempatkan film ini di nomor enam dari daftar 10 film terbaik pada 1999. “Ini bukan cerita sederhana tentang kebaikan atau kejahatan, tapi tentang bagaimana manusia, hewan hutan, dan alam memperjuangkan bagian mereka masing-masing dalam sebuah tatanan hidup baru yang muncul,” kata Ebert dalam ulasannya.
Ada pertentangan pandangan yang disampaikan Miyazaki dengan apik. Eboshi mewakili modernist, sementara San mewakili environmentalist. Dua kelompok yang hingga hari ini terus berselisih membawa pahamnya masing-masing.
Selain isu lingkungan, ada isu seksualitas dan disabilitas yang dibawa Miyazaki dalam animenya kali ini. Kepemimpinan Eboshi, yang seorang perempuan tentu mendobrak banyak hal dalam tradisi orang Jepang yang—seperti kebanyakan penduduk lain di dunia—memelihara budaya patriarkat. Ia berusaha menyeimbangkan peran perempuan dan pria, sehingga tidak lagi membuat kesenjangan yang bisa menindas para perempuan. Salah satu adegan pamungkas yang menunjukkan hal ini adalah ketika para pria dibawa Eboshi ke hutan untuk memenggal kepala Dewa Rusa, dan keamanan kampung dipercayakan pada para wanita, yang akhirnya bertarung dengan para samurai.
Diangkatnya penyakit kusta juga menunjukkan kesensitifan Miyazaki pada isu disabilitas. Penyakit tersebut sempat jadi momok dan dapat stigmasasi berlebihan yang menyebabkan penderitanya makin menderita. Kusta pada masa itu adalah salah satu penyakit yang dijauhi masyarakat karena menular, dan pengidapnya dikucilkan. Kepedulian Eboshi pada para warga pengidap kusta juga menampilkan sisi terang sang tokoh.
Poin-poin di atas yang kemudian membuat kita tak heran, ketika Princess Mononoke meraih banyak penghargaan. Ia jadi film dengan pendapatan tertinggi di Jepang pada tahun tersebut, sebelum digeser sebulan kemudian oleh Titanic. Pendapatan bersihnya di Jepang mencapai 14,5 miliar Yen. Hal itu membawa nama Miyazaki dan Princess Mononoke sampai ke Amerika Serikat. Pada 1999, anime ini ditayangkan di sana dan juga menjadi box office. Pendapatan seluruh dunia sekitar 159 juta dolar AS.
Ia juga masuk dalam daftar 500 film terbaik sepanjang masa Empire, dan daftar 50 film animasi terbaik Time Out. Princess Mononoke juga jadi film anime pertama yang bisa menang Film Terbaik pada Japan Academy Prize—semacam Oscar-nya orang Jepang.
Film ini kemudian kembali diputar di pekan awal Agustus ini di Indonesia. Setelah 20 tahun sejak pertama kali penayangannya, Princess Mononoke masih sangat relevan untuk jadi tontonan hari ini.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra