tirto.id - 1 Maret merupakan Hari Kehakiman Nasional dan jatuh bertepatan dengan hari ini, Senin (1/3/2021).
Hari Kehakiman Nasional 1 Maret merupakan hari bagi hakim di seluruh nusantara di mana negara memberikan pengakuan kepada profesi Kehakiman dan mendesak agar keadilan dapat ditegakkan di ranah hukum negara Indonesia.
Tuntutan Hakim di Indonesia
Sebagai negara hukum, hakim dituntut untuk selalu independen dalam setiap putusan. Selain independen, prinsip akuntabilititas juga harus dapat berjalan sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim.
Penetapan tanggal 1 Maret sebagai peringatan Hari Kehakiman Nasional pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim.
Pernyataan Lucius Calpurnius, Negarawan Romawi yang mengucapkan: Fiat justitia ruat caelum, (artinya “hukum harus tegak sekalipun langit akan runtuh”) pada sekitar dua ribu tahun lalu hingga kini masih menjadi patron bagi para penegak hukum di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, para hakim umumnya berpedoman pada kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang menunjukkan bahwa seorang hakim menjadi “wakil Tuhan” di hadapan masyarakat.
Bagi negara yang menganut asas konstitusi yang berpijak di atas segalanya, tuntutan mesti bersikap adil dan independen, menjadi prioritas utama bagi seorang hakim.
Pada 8 April 2009, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 47/KMA/SKB/2009 dan Nomor 2/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Dalam keputusan tersebut, hakim dituntut untuk berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegrasi tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional.
Sejarah Pengadilan Indonesia dari Masa ke Masa
1. Masa sebelum pemerintahan Hindia-Belanda
Pada masa sebelum pemerintahan Hindia-belanda di Indonesia, tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat. Sistem peradilannya dibedakan antara perkara Pradata dan perkara Padu.
Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang diadili oleh raja sendiri, seperti perkara yang membahayakan mahkota, kemanan dan ketertiban negara, hukum Pradata bersumber dari hukum Hindu, yakni Raja adalah pusat kekuasaan.
Sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai kepentingan rakyat perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa.
2. Masa pemerintahan Hindia-Belanda
Pada tahun 1602, Belanda mendirikan suatu perserikatan dagang untuk Timur-jauh yang dinamakan VOC (De Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk tujuan berniaga, dan melalui VOC ini Belanda masuk ke Indonesia.
Sejak tahun 1684 VOC banyak mengalami kemunduran ditambah dengan adanya pergeseran politik Eropa yang mengakibatkan berubahnya situasi politik di Belanda.
Hal itu membuat VOC dihentikan dan pada tahun 1806 Belanda menjadi kerajaan di bawah Raja Lodewijk Napoleon yang kemudian mengangkat Mr. Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal.
Daendels menetapkan charter untuk daerah jajahan di Asia di mana dalam Pasal 86 charter tersebut berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap berdasarkan hukum serta adat mereka.
3. Masa pemerintahan Inggris
Setelah kekuasaan Hindia-Belanda pada 1811 dipatahkan oleh Inggris, maka Sir Thomass Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Jenderal untuk Pulau Jawa dan wilayah di bawahnya (Palembang, Banjarmasin, Makasar, Madura dan kepulauan Sunda-kecil).
Ia mengeluarkan maklumat tanggal 27 Januari 1812 yang berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang dan Surabaya) dan sekitarnya.
Ada perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia yang tinggal di kota-kota dan di pedalaman atau desa-desa.
4. Masa Kembalinya pemerintahan Hindia-Belanda
Pada masa ini Pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk mengadakan peraturan-peraturan di lapangan peradilan sampai pada akhirnya pada 1 Mei 1848 ditetapkan Reglement tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O).
Dalam R.O ada perbedaan keberlakuan pengadilan antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa, dan dalam Pasal 1 RO disebutkan ada 6 macam pengadilan:
1. Districtsgerecht
Mengadili perkara perdata dengan orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai harga di bawah f20-.
2. Regenschapgerecht
Mengadili perkara perdata untuk orang Indonesia asli dengan nilai harga f.20-f.50 dan sebagai pengadilan banding untuk keputusan-keputusan districtsgerecht.
3. Landraad
Merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari orang-orang Tionghoa, orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Indonesia
Landraad juga berfungsi sebagai pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan banding.
4. Rechtbank van omgang vjh
Diubah pada 1901 menjadi residentiegerecht dan pada 1914 menjadi landgerecht.
Mengadili dalam tingkat pertama dan terahir dengan tidak membedakan bangsa apa pun yang menjadi terdakwa.
5. Raad van justisie’
Terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk semua bangsa sesuai dengan ketentuan.
6. Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tingkat tertinggi dan berada di Jakarta untuk mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia.
5. Masa pemerintahan Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang yang dimulai sejak 8 Maret 1942, Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang.
Jepang menetapkan UU 1942 No. 14 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon, di mana dengan UU ini didirikan pengadilan-pengadilan yang sebenarnya merupakan lanjutan dari pengadilan–pengadilan yang sudah ada:
1. Gun Hoon
Pengadilan Kawedanan, merupakan lanjutan dari districtsgerecht.
2. Ken Hooin
Pengadilan kabupaten, merupakan lanjutan dari regenschapsgerecht.
3. Keizai Hooin
Pengadilan kepolisian, merupakan lanjutan dati Landgerecht.
4. Tihoo Hooin
Pengadilan Negeri, merupakan lanjutan dari Lanraad.
5. Kooto Hooin
Pengadilan Tinggi, merupakan lanjutan dari Raad van Justisie.
6. Saikoo Hooin
Mahkamah Agung, merupakan lanjutan dari Hooggerechtshof.
6. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
a. 1945-1949
Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD’45 yang menetapkan: "segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini."
Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan.
b. 1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi.
c. 1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d. 1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964).
Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu:
- Pengadilan Negeri
- Pengadilan Agama
- Pengadilan Militer
- Peradilan Tata Usaha Negara
Editor: Iswara N Raditya