Menuju konten utama
Susi Pudjiastuti

"Kalau Enggak Terima, Silakan Gagalin Saya Jadi Menteri"

Susi Pudjiastuti blakblakan bicara tentang kartel garam, lobi-lobi pengusaha, hingga relasinya dengan Megawati.

Ilustrasi Susi Pudjiastuti. tirto.id/Sabit

tirto.id - Susi Pudjiastuti sangat menyukai laut. Menteri kelahiran 15 Januari 1965 ini sejak kecil memang sudah akrab dengan laut. Ia lahir di Pangandaran, kawasan yang terkenal dengan pantainya yang menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Barat. Sejak kecil pula ia sudah berinteraksi dengan laut, juga ikan dan para nelayan.

"Karena saya juga tinggalnya di desa nelayan. Ikut melaut, makan ikan," kenang Susi.

Kesibukannya sebagai pejabat tidak bisa membuatnya melupakan laut. Bukan semata karena jabatannya memang terkait dengan laut, tapi karena laut memang sudah menjadi bagian intim dalam kehidupannya. Jika sudah jengah dengan jadwal padat yang menyandera dirinya, ia akan pergi ke tengah laut.

"Being nobody. Being just no one, being ordinary people. [Perasaan itu] bukan lagi berkurang, saya tidak punya lagi. Kecuali di tengah laut, harus jauh dari orang, harus di tengah," ujarnya.

Redaksi Tirto berkesempatan mewawancarai Susi Pudjiastuti pada 13 Juli 2017. Ia menerima kami di rumah dinasnya pada pagi hari. Dengan pakaian olahraga, lengkap sepatu kets yang masih terpasang di sepasang kakinya, Susi menjawab pertanyaan Zen RS (editor at large), Arbi Sumandoyo (redaktur Indepth) dan Damianus Andreas (reporter ekonomi). Ia juga memanggil beberapa pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membantunya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teknis atau pemaparan data.

"Kalau Anda tanya soal kebijakan saya yang jawab, kalau detail data-data biar orang KKP yang jawab," katanya.

Sebagaimana kesan yang tertangkap oleh publik, Susi memang blak-blakan. Perempuan yang mengaku bisa mencium aroma laut dari jarak lima kilometer dari pantai ini tak segan menyebutkan nama-nama dalam situasi on the record.

Tujuh Samurai dan Krisis Garam

Kelangkaan garam terjadi dalam sebulan terakhir. Dampaknya cukup jelas: kenaikan harga garam. Yang ikut repot bukan hanya rumah tangga yang membutuhkan garam, melainkan juga industri. Sebab, kelangkaan garam dan kenaikan harga garam ini juga dirasakan oleh industri yang menggunakan garam industri untuk bahan baku, seperti produksi ikan asin dan kerajinan kulit (baca: Efek Domino Krisis Garam).

PT Garam, BUMN yang diberi hak untuk melakukan impor garam, juga terbelit masalah. Bareskrim Mabes Polri menetapkan Direktur Utama PT Garam, Achmad Boediono, sebagai tersangka dalam kasus korupsi tindak pidana penyimpangan impor dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.

Menurut pihak kepolisian, Achmad Boediono mengubah rencana importasi garam konsumsi menjadi garam industri untuk menghindari bea masuk 10 persen. “Dengan tidak dibayarnya bea masuk 10 persen saja, diperkirakan merugikan negara sedikitnya Rp3,5 miliar,” kata Brigjen (Pol) Agung Setya, direktur tindak pidana ekonomi khusus Bareskrim Polri.

Susi Pudjiastuti mengkritik penanganan kepolisian terhadap dugaan korupsi oleh petinggi PT Garam. Tidak hanya itu, ia mengatakan kartel garam sangat memengaruhi tak cuma dalam kasus yang melibatkan PT Garam tapi juga dalam tata kelola garam di Indonesia.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan PT Garam?

Mereka importir satu-satunya untuk garam konsumsi. Supaya [mudah] diatur kapan petani panen, kapan tidak. Rupanya PT Garam dikerjain sama mafia yang suka impor-impor itu, dilaporin ke polisi. Dengan dasar, katanya, yang diimpor garam industri. Sebetulnya, mau garam industri, mau garam konsumsi, garam ya sama saja.

Tidak ada spesifikasi bedanya?

Tidak ada. Itu blunder pejabat sebelumnya, dibodohin sama anak buahnya, [bahwa] garam industri tidak bisa dimakan.

Kartel itu soalnya dia untung banyak tiap tahun. Dia beli Rp600, jual Rp2000 at least. Terus dia beli garam petani, impornya pada saat petani panen, [dapatlah] harga petani cuma tinggal 200 perak [karena stok berlimpah, harga petani turun]. Dioploslah sama dia. Jualnya di pasar 2.000 perak. Kalau dia beli Rp200, [atau] taruhlah dia beli Rp400 garam petani, padahal petani kan HPS-nya (harga perkiraan sementara) Rp600. Rp400 tambah Rp600, kan, seribu. Bagi dua: 500 perak. Dia jual Rp2.000. [Untung] Rp1.500. 2 juta ton saja itu sudah Rp3 triliun. Itu, kan, kayak uang narkoba. Enggak usah kerja, lu tinggal modal DO dari perdagangan. Terus kita atur, cuma PT Garam saja [yang bisa impor]. Marahlah mereka. Jadi yang lapor mereka juga.

PT Garam sebenarnya sudah siap?

Oh, siap. Kalau cuma impor saja, ya. Impor itu enggak perlu apa-apa. Maksud saya, PT Garam impor itu biar untungnya dimakan PT Garam separuh. Dijual sama distributor 1200. PT Garam untung Rp600, toh? Rp600 ini bisa untuk subsidi petani, jadi beli garam petani Rp600. Supaya ada untung. Kalau enggak ada untung, dia enggak bisa mikul garam petani, toh? Mosok dimakan kartel semua? Pemerintah juga harus untung. Pemerintah untungnya buat petani, untuk subsidi petani. Kan, garam petani jelek, mesti diproses lagi. Kalau kita beli Rp600, harganya bisa Rp1.000 kalau [garamnya petani] dibersihin dulu. Maksudnya itu.

Tapi mereka [kartel] enggak terima untung Rp800 dari biasanya Rp1.500. Laporlah ke polisi. Polisi enggak tahu ceritanya. Karena polisi yang ngerjain dulu itu si Krisna, dia udah enggak ada. Yang pegang orang lain.

Kalau skema tadi berjalan, dalam beberapa tahun lagi terjadi peningkatan nilai garam ini?

Masalahnya lahan segitu-segitu saja. Impor akan ada terus, kecuali NTT bisa dibuka. NTT lahannya dikangkangin pejabat itu.

Jadi membutuhkan ekstensifikasi lahan dulu, ya?

Iya. Kalau Jawa tidak bisa. Curah hujannya terlalu banyak. Kalau NTT curah hujannya bagus, tapi tanah di sana dikuasai pejabat itu. Dikapling sudah. Pejabat itu harus ada bagian. Kalau enggak, ya enggak bisa.

(Catatan: Susi menyebut nama seorang pejabat, namun yang bersangkutan tidak memberikan konfirmasi)

Tapi isu garam ini enggak seheboh isu yang lain. Penenggelaman kapal misalnya. Kenapa?

Tapi mereka tahu. Kan sudah sejak awal. Kami rapat, sampai akhirnya KKP diharuskan kasih rekomendasi [impor garam konsumsi], kan, karena ribut sayanya. Baru kali ini, tuh, kartel takut. Karena ada influence kita. Biasanya seenaknya sendiri. Sudah dibilang jangan impor saat petani panen, juga tetep aja. [Sengaja] supaya jatuh harga petani garam.

Tidak ada pressure [dari kartel garam]?

Ya enggak bisa pressure. Kemarin, kan, seolah-olah [karena] PT Garam atas rekomendasi KKP, berarti Susi bagian dari mafia garam. Itu, kan, absurd sekali. PT Garam baru pertama kali impor garam. KKP baru pertama kali kasih rekomendasi. Malah kita yang disebut mafia garam. Yang jadi mafia garam berpuluh tahun malah free. Free away.

Siapa pemainnya?

Samurai. Tujuh Samurai.

Polemik Cantrang dan Politisasi Alat Tangkap

Salah satu tekanan kepada Susi Pudjiastuti yang datang berulang adalah dari mereka yang menolak larangan cantrang (alat tangkap ikan). Rangkaian demonstrasi menyerang kebijakan Susi. Kendati bersikeras atas kebijakannya, tak urung larangan cantrang ini sempat ditunda beberapa kali.

Bagi Susi, serangan terhadap dirinya dalam polemik cantrang ini sudah terlalu membosankan. Dalam wawancara, ia berkali-kali mengaku bosan dan sudah tak sudi lagi bicara cantrang. Politisasinya sudah terlalu kasar, kata Susi.

Bukankah ada juga nelayan yang terbiasa dengan cantrang yang kecil?

Lho, tapi mereka sudah akan kami ganti alat tangkapnya. Tidak ada masalah.

Tapi belum diganti?

Sudah mulai. Sudah pada berpindah. Lagi pula, kalau nelayan kecil itu juga punya alat tangkap lain. Sekarang ini [yang protes], pemilik 700 kapal [cantrang] milik 48 orang. Mereka punya pabrik [pengolahan], ada beberapa pemiliknya.

Tapi ada kritik kalau kebijakan cantrang ini tidak cukup memberikan soft landing pada masa transisi. Tanggapan Anda?

Sudah dua tahun setengah. Gimana mau soft landing?

Sudah berapa persen [peralihan alat tangkap]?

Dulu kita tidak ada penggantian sebetulnya. Kita sudah kasih dua tahun tanpa penggantian. Penggantian ini sebetulnya moral hazard. Apa bedanya dengan nelayan tradisional kecil lainnya? Kenapa orang cantrang harus [kita] ganti?

Awalnya semua harus ganti dalam tempo dua tahun. Dua tahun diperpanjang, [jadi] dua tahun setengah. Sekarang [diperpanjang] setengah tahun lagi, berarti tiga tahun perpanjangan. Cukup waktu. Dan ikan sudah banyak sekarang ini. Dari 2005, Jawa Tengah itu sudah melarang kapal cantrang.

Polemik cantrang ini, kan, polemik lama. Sudah mengemuka bahkan sejak era Soeharto.

Makanya harus diselesaikan. Kalau tidak, Laut Jawa habis. Simping, uscalop, bawal putih sudah enggak ada. Udang sudah tidak ada di pantai utara. Mau apa? Ikan rucah (ikan kecil/ ikan teri) isinya. Padahal bawal putih satu kilo Rp800 ribu sampai satu juta. Jadi dulu karena illegal fishing, ikan susah, cantrang diperbolehkan untuk kapal di bawah 5 GT (gross tonage), itu kapal besar.

Anda sering banget bilang politisasi cantrang. Siapa sih yang mempolitisasi?

Kan, udah tahu, PKB. Aku enggak mau wawancara cantrang. It is absurd. Dibikin-bikin. (Baca: Ketua Umum PKB Kritik Larangan Menteri Susi soal Cantrang)

Itu kemudian banyak juga nelayan di Cilacap…

[Pertanyaan dipotong] Kalau Cilacap tidak pernah ada cantrang. Cantrang masuk selatan dibakar sama masyarakat, dari zaman dulu.

Sudah bersih pesisir selatan dari cantrang?

Enggak ada dari zaman dulu. [Tahun] 1974 sudah tidak ada. Pantura [masih] banyak.

Kemarin Budi Gunawan (Kepala BIN) tiba-tiba bikin pernyataan soal polemik cantrang untuk menjatuhkan Anda.

Ya, barangkali benar. Karena [kapal] cantrang sudah banyak yang pindah ke Arafuru. Dari 700 kapal, 150 sudah geser ke timur, ada yang ke barat, ada yang ke Natuna. Yang 600 ini punya 40 orang saja.

Kemarin Pak Jokowi meminta Anda untuk tidak membuang energi untuk kasus cantrang.

Makanya saya sudah tidak mau lagi wawancara soal cantrang. Final. Desember sudah selesai.

Jadi sudah tidak ada negosiasi lagi?

Tidak ada. Kalau kita mau argumen sama orang bohong, mau gimana [argumentasinya]? Dan mereka tidak mau tahu situasi the whole itu. Sekarang tangkapan ikan di seluruh dunia turun. Sekarang ini, yang naik stok ikannya cuma Indonesia. Penurunan stok ikan dunia itu tiga kali lebih cepat dari yang diperkirakan. Jadi mereka pikir, kan, akan turun 20 persen-30 persen, sekarang ini [turunnya] 90 persen. Kofi Annan saja sudah bicara.

Stok ikan kita meningkat berapa persen?

100 persen.

Sudah tidak ada lagi transhipment (pemindahan muatan kapal ikan) di wilayah Indonesia?

Tapi [kapal yang lolos] transhipment-nya di laut lepas, bukan lagi di wilayah perairan Indonesia. Jadi, kapal Indonesia yang keluar dulu.

Itu mengarahnya ke Filipina, General Santos?

Kalau kita lihat WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan), di WPP juga diterbitkan stok ikan. Kelihatan sekali yang sudah kuning wilayah atas. Lucu. Di situ, kan, enggak ada nelayan. Berarti nelayan-nelayan Bitung nangkapnya di situ. Filipina juga di situ. Jadi mereka masuk-keluar, masuk-keluar, gitu aja. Terus kapal kita, seperti yang di Benoa itu, sepuluh kapal yang balik [bawa ikan] cuma satu. Mereka menghindari pajak supaya hasilnya [terlihat] sedikit.

Tapi belum ada pabrik olahan yang relokasi dari utara ke Bitung?

Kalau masih bisa transhipment kayak gini, ya enggak akan relokasi. Mereka punya lima [pabrik olahan] di Bitung. Ini seperti otot-ototan. Mereka pikir, "Ah, dua tahun [lagi] Susi diganti." Sama kayak orang cantrang juga. Kapal eks asing saya suruh pulang, kan, masih ada yang di sini. Enggak mau pulang. Dia pikir, paling sebentar lagi [Susi] diganti.

General Santos itu ada di level sampai 90an persen bergantung pada ikan kita?

Itu ada di National Geographic. Ada liputan National Geographic. (Baca salah satu liputan NG terkait: Salah Satu Industri Penangkapan Ikan Terbesar di Dunia di Ambang Kolaps)

Rencana Lanjutan Penenggelaman Kapal

Harus diakui, nama Susi mencuat—salah satunya atau bahkan terutama—karena citra ketegasan yang menguar dari kebijakan penenggelaman kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah Indonesia. Citra ketegasan itu "diabadikan" dalam ungkapan "saya tenggelamkan" yang kerap dijumpai dalam, bahkan, pelbagai meme.

Kendati kadang ada kritik bahwa praktik penenggelaman kapal asing itu pencitraan semata, tetapi Susi jalan terus. Ia bahkan berkata tindakan penenggelaman itu akan dilanjutkan.

Namun, tak banyak terekspos betapa kebijakan penenggelaman ikan itu sempat terhambat dalam eksekusi di awal. Susi menceritakan bagaimana kebijakan penenggelaman kapal bahkan harus dipicu oleh pergeseran beberapa pejabat terlebih dulu.

Masih ada berapa lagi kapal yang mau ditenggelamkan?

Banyak.

Kapal yang besar-besar?

Nanti ada tanggal-tanggalnya. Itu kapal yang kita tangkap 70 GT ke atas.

Dari awal menjadi menteri memang sudah merencanakan hukuman berupa penenggelaman?

Seminggu saya di KKP, saya kumpulin duta besar, pengusaha satu-satu, terus terbitkan moratorium, pelarangan transhipment.

Kebijakan penenggelaman kapan di-endorse dari Anda kemudian disetujui presiden, atau presiden dari awal sudah punya gagasan itu?

Saya kasih tahu Pak Presiden ada persoalan illegal fishing. Kita eksekusi UU Kapal, karena kalau tidak, kita semua sudah jadi bagian. KKP, Polri, Angkatan Laut, Polisi Air, karena itu, kan, praktik. Zalim tapi lazim, karena berpuluh-puluh tahun. Kalau sudah begitu, berhentinya gimana? Ya harus ada konsensus nasional. Jadi pesta selesai, kita bersih-bersih, lihat ke depan.

Karyawan kita (pegawai KKP) tidak ada yang ditindak, polisi enggak ada, Angkatan Laut juga enggak ada. Pokoknya ke depan saja yang kita lihat [non-retroaktif]. Abolisi tidak secara resmi. Tapi setiap ada kapal bergerak [untuk illegal fishing], setelah aturan ini keluar, ya disikat. Dan Pak Presiden menyetujui, dia yang memimpin kemudian.

Pak Presiden menyetujui. Tapi Presiden bilang tiga kali, belum ada yang mau nenggelamin kapal. Pak Presiden ngomel-ngomel, kan? Pidato: “Saya sampai tiga kali perintahkan.” Kita rapat pagi, siang, malam, dengan panglima, polisi, semua. Saya sampai bilang kepada presiden saat itu: “Belum dilaksanakan, Pak.” Maka, presiden sampai jengkel, kan. Beliau orang Solo, tidak bisa panggil satu-satu. Curhat di pidato-pidato.

Sampai akhirnya penenggelaman pertama, bagaimana prosesnya?

Ya ditenggelamkan.

Maksudnya prosesnya?

(Presiden) mulai geser-geser orang. Waktu itu reshuffle pertama. Belum reshuffle, tapi penggantian kepala staf, penggantian lain-lain. Diikuti reshuffle. Baru bisa penenggelaman.

Jadi Anda merasa pemberantasan illegal fishing ini cukup signifikan?

Signifikan mendeteksi teroris, senjata, penyelundupan lain, drugs. Saya, tuh, kenceng, semata-mata bukan karena ikan. Tapi kalau saya omong begitu dalam press conference, nanti orang bilang, “Kamu tuh mau berlagak jadi Menhan? Apa Polhukam? Atau apa?” Jadi saya bilang soal ikan. Ikan berenang di kawasan saya, saya punya (kewenangannya). Tapi di belakang kepala saya bukan ikan. More than anything itu sovereignty.

Waktu pertama ketemu Pak Jokowi, langsung ditawari posisi Menteri Kelautan dan Perikanan?

Waktu pertama, saya tidak ditawari. Penawaran pekerjaan itu dipanggil setelah ketemu. Tapi waktu ketemu, tidak ada pembicaraan itu.

Tinggal dua tahun lagi menjabat, apa yang masih ingin Anda lakukan?

Menyelesaikan sovereignity, sustainability, prosperity. Ikan stoknya naik, masyarakat semua bisa nangkap, pabrik pengolahan hidup, sudah. Lalu meninggalkan legacy, Indonesia lautnya baik—selama saya pegang. Negara ini, kan, bukan milik saya pribadi, tapi punya rakyat semua.

Kalau tidak lagi menjabat menteri di KKP, apa harapan untuk KKP?

Ya meneruskan kebijakan yang sudah ada, yang sudah bagus. Menjaganya. Itu saja. I’ve done my best. Saya mungkin akan tetap di LSM kelautan, continue fight for the health of the ocean, for the existence of the fish, for the people to catch and to business. Berjuang, kan, tidak harus di dalam kabinet.

Rencananya setelah periode ini beres, apa yang bakal Anda kerjakan?

Kembali ke kehidupan semula. Mau ke mana lagi? Sudah pesan sapi sama Pak Amran (Menteri Pertanian). Mau ternak.

Lobi-lobi Pengusaha

Susi Pudjiastuti memulai kariernya sebagai pedagang ikan. Menikahi seorang pekerja di bidang perikanan, Susi merintis usaha hingga akhirnya menjadi pemain penting, dimulai dari kampung halamannya di Pangandaran. Seiring waktu, usaha Susi semakin membesar. Ia bahkan melebarkan sayap bisnis hingga ke penerbangan melalui Susi Air.

Rekam jejak dan pengalaman sebagai pengusaha di bidang perikanan ini pula yang jadi andalan Susi saat didapuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Rekam jejak sebagai pengusaha ini pula yang membuatnya kenal dengan pengusaha-pengusaha lain yang, tidak jarang, mencoba mendekati Susi untuk memengaruhi kebijakan-kebijakannya sebagai menteri.

Apa ada tekanan saat menerapkan kebijakan-kebijakan awal Anda menjabat menteri?

Banyaklah. Kalau enggak, presiden enggak akan kasih saya pengawalan seperti ini, kan? Kamu lihat beda saya sama menteri lain? Beda mobil. Ada mobil belakang, senjatanya juga beda. Kalau menteri yang ngawal cuma satu, saya depan dan belakang. Orang KKP juga dimonitor.

Ketika kebijakan-kebijakan dikeluarkan, apa tanggapan dari teman-teman Anda yang pengusaha?

Mereka saya panggilin.

Artinya secara personal, dengan beberapa “pemain” itu memang kenal, ya?

Ya, kenal baik. Minum bareng, pengusaha-pengusaha saya undang. Makan. (Saya bilang:) “Eh, lo illegal fishing berhenti. Pesta selesai. Kalau kalian enggak terima, silakan gagalin saya jadi menteri.”

Kalau dengan pengusaha besar yang itu?

Dengan dia kenal sudah lama.

Kemarin Anda sempat dilaporkan ke Mabes Polri. Yang sampai pihak Cina datang ke Indonesia, kemudian minta bantuan pengusaha tersebut untuk melepaskan kapal (yang ditangkap)?

Tapi enggak dilepasin, kok. Kalau sudah ketangkep, ya tetep dieksekusi. Saya sudah bilang, kalau aturan sudah keluar, ya, harus berhenti. Masih coba-coba, ya saya sikat. Saya bilang begitu sama dia.

Jadi pengusaha itu benar-benar menghubungi Anda?

Pemerintah Cina enggak cuma minta bantuan dia. Banyak orang. Dari kapal-kapal Cina maupun Thailand, mereka minta bantuan banyak orang. Lewat berbagai jalur. Lewat wartawan juga ada, lewat macam-macam juga ada. Semua orang. Lewat Bu Mega juga ada. Tapi kalau ke Bu Mega, dia bilang masukin saja ke tempat sampah. Kalau ada surat ke dia (Bu Mega), pasti masuk tempat sampah, enggak dikasihin ke saya.

(Catatan: Susi menyebutkan pengusaha yang namanya relatif terkenal dalam situasi on the record. Hingga naskah ini tayang, usaha redaksi Tirto untuk mendapatkan konfirmasi tak membuahkan hasil. Kami memutuskan akhirnya tidak mencantumkan nama pengusaha tersebut)

Relasi dengan Bu Mega sejak kapan?

Kenal Bu Mega sejak 1998. Saat itu Bu Mega berkunjung ke Pangandaran.

Baca juga artikel terkait SUSI PUDJIASTUTI atau tulisan lainnya dari Zen RS

tirto.id - Mild report
Reporter: Arbi Sumandoyo & Damianus Andreas
Penulis: Zen RS
Editor: Zen RS